Rabu, 31 Desember 2008

Tubuh yang Berkata-kata

Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/

Judul Buku: Antonin Artaud Ledakan dan Bom
Judul Asli: Blows and Bombs
Penulis: Stephen Barber
Penerjemah: Max Arifin
Penerbit: Dewan Kesenian Jakarta
Tahun Terbit I, Agustus 2006
Tebal, 200 + xxiv halaman

Antonin Artaud lahir dengan nama Antoine Marie Joseph Artaud, pada 4 September 1896, di dekakat kebun binatang Marseilles, Perancis. Artaud sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengganti dan merusak namanya. Ia pernah mengganti namanya menjadi Eno Dailor untuk beberapa naskah awal Surrealisnya. Bahkan dalam satu periode ia mengumumkan ‘My name must disappear’ (namaku harus lenyap). Bahkan ia tak bernama sama sekali awal penahanannya di azilum. Usai pembebasannya di azilum ia memakai nama samaran ‘le Momo’ (bahasa slang Marseilles yang berarti si idiot, bodoh, atau ndeso).

Kehidupan Artaud merupakan tragedy besar, kegagalan dahsat datang silih berganti, dan tekanan demi tekanan. Tetapi ia memiliki semacam kekuatan magis dan kemapuan monumental untuk bangkit aktif dan merekontruksi kembali kegelisahannya. Karya Surrealisnya pada tahun 1920-an mencoba bereksperimen tentang kesadaran lewat atau melalui karya sinematik dan puitik. Setelah projek-projek Surrealismenya berantakan pekerjaannya terlibat dalam ruang teatrikal.

Bahasa yang dipaki Artaud dalam tulisa-tulisannya bercampur aduk bagai terikan atau jeritan-jeritan yang menuju ke kecabulan yang ekstrim dan murni. Menulis bagi Artaud adalah suatu penumpahan atau pengeluaran semua substansi yang berisfat fisikal, baik yang berdampak liar maupun yang bersifat interogratif. Tulisannya merupakan luapan ekspresi yang kasar dan berterus terang dari reflek-reflek yang bersifat indrawi, menentang control social.
***

Buku Blows and Bombs karya Stephen Barber ( Faber and Faber Limited London 1994) yang diterjemahkan oleh oleh Max Arifin menjadi Ledakan dan Bom (DKJ Agustus 2006 ) ini banyak mengisahkan proses perjalanan Antonin Artaud. Buku ini membeberkan kisah Artaud mulai dari gerakannya di seni sastra Surrealisnya sampai pada konsepsi teater kejamnya (The Theatre of Cruelty).

Artaud dikenal sebagai seorang penulis yang karya-karyanya sangat provokatif dan mendatangkan banyak malapetaka. Gerakannya yang provokatif dan bahkan ekstrim itu membuatnya ditolak dalam lingkungannya sendiri terutama oleh teman-temannya sendiri para Surrealis, di Paris. Penolakannya itu bahkan justru membuahkan hasil yang sangat produktif setelah ia juga mengalami serententan perjalanan dan perawatannya di rumah sakit jiwa.

Karya-karyanya menggali isu-isu tentang kebebasan, pengurungan, dan kreatifitas, dengan menghasilkan imaji-imaji yang begitu krusial tentang penyadaran bahasa dan kehidupan. Dalam jejak-jejak karyanya, kita akan menemukan serpihan-serpihan kemauan yang keras kepala dan garang.

Ia meninggalkan Prancis –ia mengembara ke Mexico dan Irlandia- setelah mengalami kegagalan besar dalam meluncurkan mimpinya tentang Theatre of Cruelty, suatu proyek artistic yang didesain untuk menumbangkan kebudayaan dan membakarnya untuk dikembalikan pada kehidupan ini, sebagai suatu laku yang langsung menentang masyarakat.

Theatre of Cruelty, menawarkan tiga konsepsi dasar teater, tari, rupa, dan film. Theatre of Cruelty merupakan pertemuan dari setumpuk kegelisahan dan penderitaannya dengan pertunjukan teater tari Bali tahun 1931. Bagi Artaud teater Bali berisi semua unsur yang telah ia masukan pada Alfred Jarry Theatre, sebagai satu strategi perlawanan terhadap tekstual yang begitu berkuasa dan teater psikologikal Eropa. Titik pusat utamanya adalah gesture dan tekstual merupakan suatu yang berbeda di bahwahnya; teaternya memiliki disiplin dan magis.

Peristiwa kedua yang memberikan inspirasi dan memberikan kontribusi pada theatre of cruelty terjadi pada bulan September 1931, ketika Artaud menyaksikan lukisan Leyden dari abad 15 berjudul The Daughters of Lot di museum Louvre. Artaud merasakan adanya kesamaan antara lukisan itu -yang menggambarkan bencana dan seksualitas- dengan teater Bali. Artaud mempergunakan arsitektur keruangan yang menyimpang dari lukisan tersebut dan perhatiannya terhadap incest dan bencana sebagai pusat perhatiaannya dalam bentuk dan material yang ia inginkan dalam teater barunya.

Artaud memandang lukisan tersebut sebagai hasil dari arah kreatif yang diuraikan secara indah, seperti layaknya penguasaan atas suatu tontonan yang teatrikal yang digubah, disusun di atas pentas, diwujudkan di atas pentas, tanpa dialog atau teks. Artaud juga melihat lukisan itu sebagai suatu paduan, assembling dan penyampaian eksplosi-eksplosi (ledakan-ledakan) suara untuk memperjelas pengaruh visualnya (its visual impact).

Artaud juga memasukan tanggapannya terhadap film Marx Brothers yang berjudul Monkey Business dalam teks ‘Direction an Methaphysics.’ Dari film itu Artaud menambahan pemahaman tentang humor yang sebenarnya dan tentang kekuatan yang bersifat fisikal dan dissosiasi yang anarkis dalam gelak tawa. Film itu menurut Artaud memiliki pembebasan yang lengkap dan perobekan (penghancuran) terhadap realitas. Peristyiwa itu menurut Artaud memiliki potensi untuk menimbulkan ledakan yang merusak. Artaud memandang dengan kagum terhadap kekuatan gelak tawa (the power of laughter) yang bisa menimbulkan transformasi secara tiba-tiba. Ia menekankan kualitas pemberontak yang terdapat pada ledakan, keributan, dan gerakan (movement) dalam film-film Marx Brothers.

Respon Artaud terhadap film tersebut memang menambahkan suatu unsur pembertontakan yang vital terhadap kemunculan kegelisahan-kegelisahan teatrikal. Dan keberhasilan dari semua itu terletak pada apa yang disebut kegembiraan yang meluap-luap, yang visual dan nyaring (merdu secara serempak).

Theatre of Cruelty melalui perjalanan yang sangat panjang. Selama 30 tahun, teater ini dianggap mustahil untuk diwujudkan. Bahkan teatrawan Polandia Jerzy Grotowski menganggapnya, tanpa memahami konsepsi Artaud secara baik dan benar, hanya akan menurunkan derajat teaternya dan tidak punya arti apa-apa selain hanya gaya (action) belaka. Dan memang, selama itu pula Artaud (sendiri) menemui kegagalan demi kegagalan, sampai menjelang akhir hayatnya (4 Maret 1948) sebagai seniman yang keras kepala dan miskin.

Periode akhir kemunculan Artaud merupakan intensifikasi sekaligus kristalisasi terhadap karya-karya sebelumnya. Karya-karya terakhirnya memiliki kejelasan yang final, yaitu terkontrol dan liar atau brutal. Inilah projek teater kejamnya (Theatre of Cruelty) Artaud. Gema atau gaung pengaruh Artaud terhadap seni inovatif dan eksperimental berkembang ke berbagai arah dan luas. Pengaruh itu membentang dari seni visual sampai ke seni vocal dan yang bersifat teoritik.
***

Hadirnya buku Artaud ini menambah perbendaharaan buku-buku terjemahan yang membahas tentang konsepsi-konsepsi besar teater dunia yang selama ini terasa amat kurang, meski Max Arifin sendiri telah menerbitkan (menerjemahkan) karya-karya Bertolh Breach, Konstantin Stanislavsky, dan Jerzy Grotowsky. Seandainya buku Artaud ini terbit akhir tahun 1980-an, maka akan menemukan konteksnya dengan perkembangan teater kontemporer di Indonesia.

Seperti kita ketahui konsep Artaud telah menjadi pemicu dalam pertunjukan-pertunjukan teater di Indonesia menjelang akhir tahun 1980-an. Teatrawan yang biasa disebut memiliki kegelisahan sama dengan Artaud adalah Budi S Otong dengan teater SAE, kemudian juga teater Kubur, Dindon WS. Pada pertengahan tahun 1990-an teater ini ‘mewabah’ sampai Jawa Timur, Bali, dan Makasar. Tetapi meski begitu buku ini tetap menarik disimak sebagai bahan telaah teoritik maupun kesejarahan, bagi para peminat teater. ***

*) Pekerja teater tinggal di Sidoarjo

Jumat, 26 Desember 2008

Kekejaman Orde Baru di Mata Mochtar Lubis

Judul: Nirbaya, catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru
Penulis: Mochtar Lubis
Penerbit: LSPP dan Obor
Tebal: xi +142 halaman
Tahun: April, 2008
Peresensi: A.J. Susmana*
http://www.lampungpost.com/

Dalam situasi yang sepi dan seakan tak ada yang dapat dikerjakan lagi, sering menulis catatan harian yang sering dianggap sepele justru suatu saat akan menjadi catatan yang penting dan berguna.

Sudah banyak contoh, terlebih catatan-catatan dari penjara. Misalnya catatan harian Anne Frank di saat sembunyi dari kejaran Nazi dan catatan harian Antonio Gramsci di dalam penjara fascis Mussolini. Di Indonesia pun kita kenal "catatan harian" Ahmad Wahib dan "catatan harian" Soe Hok Gie.

Kini setelah hampir 30 tahun beredar di luar negeri dan dalam Bahasa Belanda: Kampdagboek, rakyat Indonesia pun dapat membaca catatan harian Mochtar Lubis di dalam Penjara Orde Baru yang kini juga memasuki dunia perbukuan di Indonesia. Kali ini Mochtar Lubis menulis catatan hariannya dalam dua bahasa yang berselang-seling yaitu Indonesia dan Inggris.

Dengan hadirnya buku ini: NIRBAYA, Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru, rezim Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto semakin tak bisa mengelak dari berbagai tuduhan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Mochtar Lubis dengan teliti dan cermat mencatat berbagai perlakuan keji aparatur Orde Baru selama menjadi tahanan Orde Baru di Nirbaya yang tak lebih dari dua bulan.

Mochtar Lubis sendiri bukan orang yang asing dengan penjara. Di bawah pemerintahan Soekarno, ia pun masuk penjara.

Tak tanggung-tanggung, sembilan tahun. Dan baru bebas pada tahun 1966, setelah Soekarno tak lagi berkuasa. Catatan harian Moctar Lubis selama dalam penjara pemerintahan Soekarno pun sudah dibukukan dengan judul Catatan Subversif, yang pertama kali diterbitkan tahun 1980 oleh Pustaka Sinar Harapan.

Dengan menjadi tahanan Orde Baru, mau tidak mau Mochtar Lubis pun bertemu dengan para tahanan Orde Baru lainnya yang berseberangan dengan Mochtar Lubis, terutama dalam hal pandangan ideologi dan politik. Seperti diketahui umum, Mochtar Lubis dikenal anti-Soekarno dan antikomunisme. Karenanya, catatan harian Mochtar Lubis ini layak dibaca oleh generasi kini untuk mengetahui pergulatan batin Mochtar Lubis sebagai seorang demokrat. Selama menjadi tahanan Orde Baru satu kamp dengan tahanan-tahanan Gestapu/PKI, seperti Omar Dani, Subandrio, Pranoto Reksosamudra dan lain-lain.

Dalam Kamp Nirbaya ini, ada juga Hariman Siregar yang dipenjarakan karena kasus Malari. Mochtar Lubis pun dimasukkan ke kamp tahanan Nirbaya atas tuduhan terlibat kasus Malari 1974. Dengan demikian, Kamp Nirbaya pun menjadi pertemuan lintas generasi dan lintas aliran politik dan ideologi. Karena itu, catatan harian Mochtar Lubis di dalam penjara Orde Baru menjadi semakin penting untuk dibaca. Ia memberikan data-data baru bagaimana sebenarnya situasi politik di bawah Orde Baru.

Nirbaya kini sudah tak ada. Lokasi Nirbaya ini dulunya terletak di samping Taman Mini Indonesia Indah. Karena itu, buku ini di samping menjadi salah satu saksi kekejaman Orde Baru, juga salah satu "onumen" kekejaman Orde Baru. Mochtar Lubis pun mengakui betapa Orde Baru berlaku semena-mena terhadap tahanan melebihi rejim Soekarno, terutama terhadap tahanan Gestapu/PKI seperti penahanan tanpa pengadilan, penyiksaan dalam berbagai bentuk dan pemberian jatah makanan yang sedikit dan tak bergizi.

Buku ini pun semakin meyakinkan: betapa jalan demokrasi yang menurunkan Orde Baru adalah benar. Dan betapa tak bermoralnya bila ada kehendak-kehendak atau keinginan untuk mengembalikan kembali "kejayaan" rezim Orde Baru.

*)Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

MANUSIA KELELAWAR RESEP KEPENULISAN YATI SETIAWAN

Sutejo
Ponorogo Pos

Masih ada yang tersisa di balik pelepasan Budi Darma sebagai guru besar Unesa tanggal 8 Desember 2007 lalu. Di balik cerita para penulis macam Lang Fang, Yati Setiawan, Mashuri, Audex, Kurnia Fabiola, dan Budi Darma sendiri. Yati Setiawan, seorang ibu rumah tangga yang berkarya banyak bercerita tentang pengalaman kepenulisannya. Sebuah perjalanan yang menarik untuk dipelajari. Yati Setiawan sendiri adalah isteri dosen Unesa yang juga menulis: Wawan Setiawan.

De Winst, Kesaksian Novel Poskolonial

A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Sebagai salah satu novel sejarah, De Winst merupakan salah satu karya sastra yang laik diziarahi. Novel setebal 336 halaman ini, menenun kisahnya ihwal jama’ah pelajar Indonesia di negeri Belanda, Indonesische Vereniging (IV), atau di Hindia lebih familiar dengan sebutan Perhimpunan Indonesia (PI).

Afifah Afra, novelis muda jebolan jurusan biologi kampus negeri di Solo, yang juga merupakan anggota dari forum komunitas penulis FLP yang memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia tersebut, senang bergelut dengan cerita berlatar sejarah. Di tengah gemerlap hajatan sastra Islami yang digeluti komunitasnya, ia kadang setia bertahan dengan sajian cerita-cerita sejarahnya yang kental, menggugah inspirasi. Terlebih, dengan bubuhan gambar di setiap lekuk badan novel ini, membuat pembaca makin termanjakan.

Sedikit beda dengan karya jamak penulis FLP lainnya. Karya ini mengingatkan kita pada sebuah jejak-rekam kesengsaraan inlander oleh sistem tanam paksa yang dinarasikan oleh H. Moekti dalam roman klasik, “Hikajat Siti Mariah”. Roman ini juga menyibak tuntas ihwal kesengsaraan inlander; praktik penindasan masyarakat gula di Jawa Tengah oleh rezim kapitalis Belanda.

Dalam Prelude to Revolution, George D. Larson pernah mengungkap, perkembangan politik bumi putra pada era kolonial di daerah seperti Surakarta (Solo), banyak didominasi kaum pedagang dari pada golongan priyayi. Kemajuan ekonomi itu bertumpu pada sektor perdagangan seperti batik, tekstil dan sejenisnya. Perkumpulan kaum pedagang ini menurut Larson, mula-mula punya andil menandingi hegemoni perdagangan kawasan Hindia oleh etnis China dan golongan Eropa, termasuk Belanda. Namun perkumpulan ini lambat laun tidak sebatas mengurusi soal perdagangan, melainkan (dengan perlahan juga) menjadi ajang bagi tumbuh kembangnya rasa kebangsaan & semangat pergerakan. Perkumpulan semacam ini semisal Sarikat Dagang Islam (SDI) yang dipimpin oleh H. Samanhudi dari daerah laweyan. Fenomena inilah (kalau boleh saya tebak) yang mengilhami Afifah Afra untuk mengangkatnya dalam sebuah novel, yang diyakini penulis, mampu membangunkan jiwa idealisme kita yang saat ini lagi kendur.

Konflik novel ini bermula dari krisis ekonomi yang menyerang dunia awal abad 20, menghantam dunia Timur dan merambat ke wilayah Hindia Belanda. Kita mafhum, bahwa negeri kita yang beratus-ratus tahun menjadi tempat bercokolnya kolonial Belanda, adalah ladang surga bagi suplai tumbuh-kembangnya perekonomian negeri tersebut. Namun semakmur-makmurnya Hindia, tak ketinggalan ikut terkena imbas krisis dunia saat itu. Novel ini menggambarkan kekelaman penduduk pribumi atas arogansi penduduk golongan kelas satu penumpuk modal (Belanda), yang gemar mengeruk kekayaan negeri Hindia yang melimpah. Namun ironis, di tengah kemewahan negeri pecahan surga nan elok, bumi putra sebatas menjadi jongos di negeri sendiri. Mereka menjadi penduduk kelas tiga yang selalu ditindas dan diperbudak oleh syahwat kapitalisme.

Akibat dari krisis tersebut, berpuluh-puluh industri komoditas utama negeri ini banyak yang gulung tikar. Salah satunya adalah industri gula. Industri yang bahan bakunya disuplai dari perkebunan tebu ini, terancam bangkrut. Harga gula di pasaran terus melorot. Imbasnya, harga sewa tanah dan gaji pekerja buruh, yang mayoritas ditekuni inlander turun pada level yang mencekik. Tragedi ini menjadi pemantik semakin menguatnya gairah revolusi kaum pribumi menuju tata perekonomian yang lebih kondusif. Seperti yang dikoar-koarkan oleh kaum pergerakan, perihal rencana & cita-cita agung memerdekakan negerinya.

Salah seorang priyayi mantan asisten administratur De Winst (nama sebuah perusahaan gula swasta milik Belanda), bangsawan aristokrat keturunan raja mataram, lulusan Leiden University, Rangga Paruhita, ingin melepaskan bangsanya dari belenggu & penindasan antek-antek kolonial. Ia membidani lahirnya sebuah gerakan. Gerakan ini berusaha memonopoli perusahaan-perusahaan swasta yang nota bene dikelola kaum penjajah. Gerakan dalam sektor ekonomi tersebut ia namai gerakan ekonomi kerakyatan. Usaha ini bertumpu pada pengembangan sektor industri tekstil, di mana kapas menjadi komoditas utamanya. Namun tak beberapa lama, sebuah tragedi mencuat. Geger dan eksodus besar-besaran buruh De Winst ke pabrik tekstil yang dikelolanya, menyeret R.M Rangga Paruhita ke muka pengadilan dengan tuduhan memberontak pada pemerintah. Tak ayal, serangkaian fitnah dan konspirasi keji yang dilimpahkan pengadilan, menyeretnya dalam internering ke Endeh.

De Winst begitu memesona. Tak berbeda jauh dari novelnya terdahulu, “Bulan Mati di Javasche Orange”, Afifah Afra menyelipkan kisah asmara tragis tapi menarik. Cerita percintaan ini terajut dari pertemuan Rangga yang studi ekonomi di Leiden sepulangnya dari negeri Belanda dengan Everdine Kareen Spinoza yang sarjana hukum Universitas Rotterdam di geladak kapal menuju Hindia. Kelebihan novel ini adalah ketangkasan penulisnya mempertemukan tradisi lokal keraton Jawa yang kental aroma feodalismenya dengan gaya hidup Eropa yang aristokratik dalam nampan cerita yang memikat. Ia menyembulkan cerita yang mengetengahkan geger kebudayaan antara harus melanggengkan sistem feodalisme Jawa atau mentradisikan sistem demokrasi ala cendekiawan Bumi Putera. Seperti yang telah dijalankan Soekarno, Shahrir, Hatta maupun Cipto Mangunkusomo.

Novel ini ingin menegaskan kembali, bahwa dengan terbenamnya sejarah oleh waktu, apa yang diusung kolonialis, yaitu misi penjajahan itu sendiri, belumlah benar-benar hengkang. Praktik kapitalis dengan wujud imperialisme yang mendera bangsa kita sekitar 3,5 abad itu walau sekarat, tetapi belum benar-benar mati. Zaman sekarang pemilik modallah (baca: investasi asing) yang berkuasa & menguasai sektor-sektor penting di negeri ini. Bahkan, pemerintah dibuat seakan tak berkutik. Praktik kapitalisme itu, kendati pengaruhnya secara umum seringkali laten, namun tetaplah harus diwaspadai. Novel ini menjadi senjata ampuh untuk menyentil kesadaran kita akan bahaya praktik kapitalisme yang kini dengan amat terselubung dan ditunggangi berbagai kepentingan aktif menyemburkan praktik-praktik kapitalisme gaya baru.

Data Buku:
Judul buku : De Winst: Sebuah Novel Pembangkit Idealisme
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Afra Publishing, Surakarta
Cetakan : I, 2008
Tebal : 336 halaman

TKW di Antara Dua Hati

Judul: Sumi; Jejak Cinta Perempuan Gila
Penulis: Maria Bo Niok
Penerbit: Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Tahun: 2008
Tebal: 200 halaman
Peresensi: MG. Sungatno *
cawanaksara.blogspot.com

Selasa, 23 Desember 2008

SASTRAWAN INDONESIA PASCA-ANGKATAN 66

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

BAGIAN I

Masalah angkatan dalam pelajaran kesusastraan Indonesia di sekolah-sekolah sering kali merepotkan para guru. Apakah setelah Angkatan 66, tidak ada lagi angkatan yang lahir kemudian? Jika ada, angkatan apakah namanya? Siapa pula yang termasuk angkatan ini dan apa saja karya yang telah dihasilkannya? Apa pula ciri-ciri yang menonjol yang diperlihatkan Angkatan pasca-66, sehingga ia berbeda dengan Angkatan 66?

Begitulah, sejumlah pertanyaan itu --yang diajukan siswa-- kerap membuat para guru sastra “gelagapan”. Persoalannya bukan karena ketidakmampuan para guru untuk menjawab pertanyaan itu, melainkan lebih disebabkan oleh kekhawatiran mereka jika jawabannya salah. Lebih jauh lagi, kekhawatairan, bagaimana jika kemudian pertanyaan sejenis itu, muncul dalam soal-soal Ebtanas (Evaluasi Belajar Tingkat Nasional/Ujian). Lalu, bagaimanakah para guru harus bersikap atau mencoba menerangkan duduk persoalannya?

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, guru sebaiknya tidak memberi pertanyaan pilihan, tetapi memberi pertanyaan esai. Dalam soal pertanyaan seperti, jawabannya bukanlah terletak pada benar atau salah, melainkan pada logis atau tidak, argumentatif atau tidak. Tujuannya, agar siswa belajar memahami pengetahuan yang didapat dari guru dan buku yang dibacanya. Siswa sekaligus juga belajar mengungkapkan sendiri lewat keterampilannya memahami bacaan dan merumuskan pikiran atau gagasannya dengan bahasanya sendiri.
***

Harus diakui, setelah Angkatan 66 dengan salah seorang tokoh kuncinya, Taufiq Ismail, baru Pamusuk Eneste dalam bukunya Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (Djambatan, 1988), yang membakukan Angkatan 70-an dalam buku pelajaran sastra untuk SLTA. Jadi, setelah Angkatan 66, sebenarnya telah muncul Angkatan 70-an dan mereka telah menghasilkan karya-karya penting. Justru setelah Angkatan 66 itulah, khazanah kesusastraan Indonesia memperlihatkan kesemarakannya yang luar biasa.

Secara kuantitatif dan kualitatif, karya-karya yang muncul kemudian jauh lebih beragam dan lebih berani menampilkan berbagai eksperimentasinya. Dan yang lebih penting lagi, karya-karya mereka sudah makin memperlihatkan kematangannya. Jika demikian, atas dasar pemikiran apa sehingga karya-karya mereka tidak dimasukkan ke dalam Angkatan 66? Untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut, perlu kiranya kita menyimak dahulu dasar pemikiran H.B. Jassin dalam penyebutan Angkatan 66.

Dasar pemikiran Jassin mengenai penamaan Angkatan 66, bertumpu pada peristiwa tahun 1966 ketika mahasiswa, pelajar dan para pemuda kita mendobrak kebobrokan dan penyelewengan negara. “... kita pun menyaksikan satu ledakan pemberontakan dari penyair, pengarang dan cendekiawan, yang telah sekian lama dijajah jiwanya dengan slogan-slogan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.” Selanjutnya Jassin mengatakan: “Siapakah pengarang-pengarang yang termasuk Angkatan 66 ini? Ialah mereka yang tatkala tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan ... tahun 1966 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka ... telah giat menulis dalam majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 55-an, seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Tjerita, Prosa, Basis....”

Dengan dasar pemikiran tersebut, maka H.B. Jassin memasukkan nama Motinggo Boesje, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Arifin C. Noer, Ramadhan KH, Bur Rasuanto, Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardojo, Titie Said, Slamet Sukirnanto, Satyagraha Hoerip, N.H. Dini, dan beberapa nama lain. Sebagian besar dari nama-nama itu, memang terlibat aktif dalam pergolakan politik yang terjadi tahun 1960-an. Beberapa dari mereka, terutama Taufiq Ismail, Abdul Wahid Situmeang, Slamet Sukirnanto, Bur Rasuanto, juga menghasilkan karya yang memperlihatkan perlawanannya atas kebrengsekan yang dilakukan pemerintah waktu itu. Jadi, pemikiran Jassin lebih didasarkan pada usia pengarang dan kiprahnya pada pertengahan tahun 1950-an sampai tahun 1966, serta pada karya-karya yang menggambarkan perlawanan atau kritik sosial.

Setelah gerakan mahasiswa tahun 1966 berhasil menumbangkan rezim pemerintahan Orde Lama, kehidupan sosial budaya, terutama sastra, seolah-olah telah memperoleh saluran kebebasan berkreasi. Sejak akhir tahun 1967, dan terutama di awal tahun 1970-an, bermunculanlah karya sastra yang memperlihatkan semangat kebebasan itu. Maka, di antara karya-karya yang konvensional yang terbit tahun 1970-an, tidak sedikit pula yang memperlihatkan semangat kebebasan itu yang diejawantahkan dalam bentuk karya-karya eksperimental. Sementara itu, nama-nama yang oleh H.B. Jassin dimasukkan ke dalam Angkatan 66, dalam tahun 1970-an itu, justru makin memperlihatkan kematangannya.

Jika disederhanakan, sastrawan tahun 1970-an atau sebut saja Angkatan 70-an, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, dapat dibagi ke dalam tiga kelompok.

Pertama, mereka yang termasuk Angkatan 66 atau yang telah berkarya pada da-sawarsa tahun 1960-an, tetapi mulai makin matang pada tahun 1970-an.Yang termasuk kelompok sastrawan dari golongan ini antara lain, Rendra, Nasyah Djamin, Umar Kayam, N,H. Dini, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Titis Basino, Abdul Hadi WM, Slamet Sukirnanto, Sori Siregar, Gerson Poyk, Wing Kardjo, D. Zawawi Imron, M. Poppy Hutagalung, Husni Djamaludin, Muhammad Fudoli, Leon Agusta, dan Satyagraha Hoerip.

Kedua, mereka yang karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an. Yang termasuk sastrawan golongan ini, antara lain, Korrie Layun Rampan, Emha Ainun Nadjib, Rayani Sriwidodo, Sri Rahayu Prihatmi, Wildam Yatim, Marianne Katoppo, Toeti Herati, Abrar Yusra, Aspar Paturisi, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, Putu Arya Tirtawirya, Linus Suryadi, Arswendo Atmowiloto, Marianne Katoppo, dan Seno Gumira Ajidarma

Ketiga, mereka yang menghasilkan karya-karya dengan kecenderungan melakukan bentuk-bentuk eksperimentasi. Di antara mereka ada pula yang sudah berkarya sejak tahun 1960-an. Yang termasuk ke dalam golongan ini, antara lain, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Ikranegara, Budi Darma, Ibrahim Sattah, Leon Agusta, Adri Darmadji Woko, Darmanto Jatman, dan Yudhistira Ardi Noegraha.

Dari kelompok ketiga yang memperlihatkan bentuk eksperimentasi itu, pernyataan sikap penyair Sutardji Calzoum Bachri, dapatlah dianggap mewakili usaha pembaruan yang dilakukan mereka. Pada tanggal 30 Maret 1973, Sutardji Calzoum Bachri menyatakan pendirian kepenyairannya dalam sebuah pernyataan yang disebutnya “Kredo Puisi.” Berikut ini akan dikutip beberapa bagian dari Kredo Puisi tersebut.
“Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, ....
Sebagai penyair saya hanya menjaga --sepanjang tidak mengganggu kebebasan-nya-- agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa men-dapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya--adalah Kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”

Ciri-ciri yang menonjol dari eksperimentasi yang diperlihatkan karya-karya yang muncul dasawarsa 1970-an itu, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya. Untuk novel dapat diwakili oleh karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya dan Kuntowijoyo. Ciri khas yang menonjol dari karya mereka pada tema yang mengangkat masalah keterasingan manusia dan kehidupan yang absurd. Identitas tokoh menjadi tidak penting. Latar tempat dan latar waktu, dapat berlaku di mana dan kapan saja. Alur tidak lagi menekankan hubungan sebab-akibat (kausalitas). Peristiwa yang dihasilkan oleh lakuan dan pikiran, disajikan secara tumpang-tindih. Akibatnya, peristiwa itu seolah-olah tidak jelas lagi juntrungannya.

Untuk cerpen, dapat diwakili oleh karya-karya Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo. Lebih khusus lagi pada cerpen-cerpen Danarto, tokoh-tokoh yang muncul bisa apa saja. Air, batu, khewan, tanaman, atau benda dan binatang apapun, bisa saja menjadi tokoh yang juga dapat berdialog dengan tokoh utama. Kumpulan cerpen Godlob, dapatlah kiranya mewakili bentuk eksperimentasi cerpen Indonesia dasawarsa tahhun 1970-an itu.

Untuk bidang drama, dapat diwakili oleh karya-karya Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Rendra, dan Ikranegara. Ciri khas yang menonjol dari karya mereka adalah terbukanya peluang bagi para pemain untuk melakukan improvisasi. Dalam hal ini, identitas tokoh yang tidak jelas, juga memungkinkan seorang pemain, dapat memainkan peran dua tokoh atau lebih. Ciri khas yang lainnya lagi adalah lepasnya keterikatan pada panggung. Jika dalam naskah-naskah drama sebelumnya, latar tempat dengan materialnya yang serba jelas dan konkret, maka dalam sebagian naskah drama yang muncul tahun 1970-an itu, panggung tidak lagi menjadi penting. Artinya, pementasan itu dapat dilangsungkan di mana saja. Bahkan, Rendra tampil pula dengan drama mini kata, yaitu drama yang sengaja lebih mementingkan lakuan daripada dialog.

Untuk bidang puisi, ikatan pada bait dan larik, sama sekali diabaikan. Puisi tahun 1970-an cenderung lebih mementingkan ekspresi untuk mendukung tema yang hendak disampaikan. Karena itu, ada puisi naratif yang panjang menyerupai bentuk prosa, ada pula yang sengaja disusun pendek-pendek. Selain itu, gencar pula kecenderungan untuk mengali akar tradisi kultural tempat penyair itu lahir dan dibesarkan. Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Adji Darmadji Woko, Darmadji Woko adalah beberapa nama yang menonjol mengangkat tradisi kulturalnya.
***


BAGIAN II

Kesemarakan sastra Indonesia tahun 1970-an, kemudian berlanjut pada tahun 1980-an. Pada dasawarsa tahun 1980-an ini, mereka yang sudah berkarya pada periode sebelumnya, juga masih terus berkarya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sastrawan tahun 1980-an itu adalah mereka yang karya-karyanya baru muncul pada dasawarsa itu. Sekadar menyebut beberapa nama penting, mereka adalah: Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Eka Budianta, Y.B. Mangunwijaya, N. Riantiarno, F. Rahardi, Afrizal Malna, Darman Moenir, Pamusuk Eneste, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Diah Hadaning, Ahmadun Y. Herfanda, Adhi M. Massardi, dan Noorca M. Massardi.

Lalu bagaimanakah semangat yang diperlihatkan sastrawan tahun 1980-an ini? Secara keseluruhan, dibandingkan dengan periode sebelumnya, semangat eksperimentasi sastrawan tahun 1980-an, mulai mengendor, kecuali tampak pada diri Afrizal Malna (puisi), Darman Moenir (novel), Pamusuk Eneste (cerpen) dan N. Riantiarno (drama). Meskipun begitu, bukan berarti karya-karya mereka tidak penting. Novel Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk) dan Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar) merupakan karya penting dalam perjalanan novel Indonesia modern. Demikian pula cerpen Hamsad Rangkuti (Lukisan Perkawinan) merupakan karya yang matang, meski tidak mengangkat tema-tema yang besar.

Dalam tahun 1990-an ini, karya sastra yang muncul lebih banyak lagi. Dalam dasawarsa ini, terjadi inflasi puisi. Begitu banyak penulis puisi, tetapi sangat sedikit yang dapat dimasukkan sebagai penyair. Mereka banyak yang menerbitkan sendiri karyanya dengan biaya swadaya dan format seadanya. Sebagian besar, harus diakui, memperlihatkan talenta yang menjanjikan. Tetapi, untuk menjadi sastrawan besar, tentu saja bakat yang penuh harapan itu, harus pula dibarengi dengan wawasan dan penge-tahuan yang luas. Tanpa itu, sangat mungkin mereka akan kehabisan ide, dan tinggal menunggu namanya tenggelam.

Ciri yang menonjol yang terjadi dalam tahun 1990-an ini adalah adanya gerakan sastrawan daerah. Kondisi itu dimungkinkan oleh adanya majalah dan koran-koran daerah. Jadi, di antara mereka itu, ada yang hanya mempublikasikan karyanya di media massa lokal, tetapi ada juga yang dimuat di media massa ibukota. Dengan demikian, peta kesusastraan Indonesia tahun 1990-an ini, lebih beraneka ragam. Taufiq Ismail, Rendra, Sapardi Djoko Damono (Angkatan 66) masih terus berkarya. Abdul Hadi, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Kuntowijoyo, Umar Kayam, Hamid Jabbar, Seno Gumira Ajidarma dan beberapa nama dari Angkatan 70-an, juga masih tetap aktif dan berkarya. Hal yang sama juga dilakukan oleh sastrawan tahun 80-an. Lihatlah Ahmad Tohari dan Hamsad Rangkuti masih menghasilkan sejumlah cerpen, Afrizal Malna, Ahmadun, Soni Farid Maulana atau Acep Zamzam Noor, juga masih menghasilkan antologi puisi.

Demikianlah, dasawarsa tahun 1990-an ini, dipenuhi oleh karya sastra dari beberapa angkatan. Bahwa karya-karya sastrawan Angkatan 66 dan sastrawan tahun 70-an dan 80-an, turut menyemarakkan peta kesusastraan Indonesia tahun 1990-an, masalahnya bahwa karya-karya mereka tidak hanya memperlihatkan kematangannya sebagai sastrawan senior, tetapi juga memang masih sangat menonjol, dibandingkan sastrawan yang muncul tahun 1990-an. Dalam hal ini, terbukti bahwa wawasan dan pengetahuan yang luas, telah memberi kekayaan luar biasa, sehingga mereka tidak kehabisan gagasan dan terus bertahan sampai enah kapan.

Sekadar menyebut beberapa nama penting atau yang potensial menghasilkan karya-karya yang memberi kontribusi bagi pemerkayaan khazanah kesusastraan Indonesia, di antaranya adalah: Gus tf (Padang), Taufik Ikram Jamil (Riau), Agus R. Sarjono, Cecep Samsul Hari, Oka Rusmini, Ahmad Syubbanudin Alwy, Saeful Badar, Karno Kartadibrata, Doddi Achmad Fawzy, Juniarso Ridwan, Beni Setia, Atasi Amin, Ahda Imran (Bandung), Naim Prahana, Hasanuddin Z. Arifin, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Panji Utama (Lampung), Toto St Radik (Banten), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang), Anil Hukma (Ujung Pandang), Dorothe Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Mathoti A. Elwa, Amin Wangsitalaja (Yogyakarta), Tomy Tamara (Makasar), dan Aspur Azhar (Jakarta). Selain itu, sejumlah nama lulusan FSUI, agaknya tidak mau ketinggalan. Asep Sambodja, Ihsan Abdul Salam, Purwadi Djunaedi, Rizal, dan belakangan Zeffry J. Alkatiri, memberi warna lain dalam peta puisi Indonesia tahun 1990-an. Antologi puisi yang telah dihasilkan nama-nama tersebut di atas memperlihatkan karya yang menjanjikan dan penuh pengharapan.

Sementara itu, para cerpenis yang muncul tahun 1990-an --yang juga bertebaran di pelosok tanah air ini-- beberapa di antaranya niscaya akan menjadi sastrawan penting. Jujur Prananto, Yanusa Nugroho, Kurnia Jaya Raya (Jakarta), M. Shoim Anwar, Sirikit Syah, Kusprihyanto Namma, Aria Kamandaka, Sony Karsono (Surabaya), Kazzaini Ks (Riau). Dari Yogyakarta, dua nama Agus Noor dan Joni Aridinata, juga mulai memperlihatkan kematangannya; di antara penulis wanita, Helvy Tiana Rosa dan Lea Pamungkas, patut pula kita perhitungkan. Karya-karya mereka memperlihatkan kualitas yang mumpuni dan memberi banyak harapan bagi karya-karya selanjutnya.

Bagaimanakah pula dengan prosa Indonesia tahun 1990-an? Dua nama, yaitu Ayu Utami (Saman, Jakarta: KPG, 1998) dan Taufik Ikram Jamil (Hempasan Gelombang, Jakarta: Grasindo, 1998) merupakan dua novel penting yang terbit tahun 1990-an ini. Kedua novel itu memperlihatkan usaha eksperimentasi yag serius. Memasuki tahun 2000, Gus tf Sakai, lewat novelnya, Tambo: Sebuah Pertemuan (Jakarta: Grasinso, 2000), juga sengaja menamp[ilkan bentuk eksperimentasi dengan memasukkan bentuk esai dan pola penceritaan yang gonta-ganti. Pada tahun berikutnya, seorang novelis --pendatang baru-- Dewi Lestari (Dee) juga membuat kejutan yang benar-benar mengagumkan lewat sebuah novel science, berjudul Supernova (Bandung: Truedee Books, 2001).

Jika keempat nama itu ditempatkan dalam kotak yang mewakili novelis Indonesia mutakhir, maka tampak jelas bahwa akar tradisi yang melatarbelakangi kepengarangan mereka sangat mempengaruhi unsur intrinsik karya yang ditampilkannya. Ayu Utami dan Dewi Lestari adalah produk manusia kosmopolitan yang tak jelas akar tradisinya. Keduanya telah tercerabut dari masa lalu yang menjadi latar sejarah oetnis orang tua yang melahirkan dan membesarkannya. Akibatnya, mereka telah kehilangan identitas masing-masing dari kultur etnis. Itulah sebabnya, novel yang diangkatnya memperlihatkan kegelisahan manusia kosmopolitan. Bahkan, dalam novel Supernova, Dewi Lestari tidak hanya mencoba memanfaatkan deskripsi science sebagai bagian tak terpisahkan dari unsur intrinsik novel bersangkutan (tokoh, latar, dan tema), tetapi juga menyodorkan kontroversi tokoh gay (homoseksual) yang dalam sejarah novel Indonesia, belum pernah diungkapkan novelis lain.

Hal tersebut sangat berbeda dengan sosok Taufik Ikram Jamil dan Gus tf Sakai. Keduanya lahir dan dibesarkan di dalam lingkuran kultur etnis. Oleh karena itu, mereka mencoba menggali kekayaan, sekaligus kegelisahan kultur masyakaratnya. Itulah yang terjadi pada dua novel Hempasan Gelombang dan Tambo: Sebuah Pertemuan. Novel Hempasan Gelombang mencoba mengangkat sejarah Melayu (Riau) dalam konteks masa kini. Dengan begitu, tokoh-tokoh di sana, dalam beberapa peristiwa dapat ulang-alik, bolak-balik dari masa lalu ke masa sekarang. Latar waktu menjadi simbol yang mengisyaratkan tema. Dengan penyajian yang berbeda, Gus tf Sakai mencoba mengangkat tradisi kultural masyarakatnya (tambo), juga dalam konteks masa kini. Seperti juga masyarakat masa kini yang diplintir dan dieksploitasi oleh hegemoni atas nama ilmu pengetahuan, maka kultur, masyarakat atau apa pun, juga sering kali tidak dapat menghindar dari dominasi hegemoni itu. Itulah sebabnya, dalam beberapa bagian novel itu, Gus tf Sakai menyajikan semacam etnografi-sosiologis.
***

Bahwa Korrie Layun Rampan memasukkan nama-nama itu ke dalam Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, hal tersebut mesti kita perlakukan sebagai usaha pemberian label saja. Masalahnya, nama angkatan, apalagi dikaitkan dengan latar waktu atau tarikh, secara logis lahir dari berbagai peristiwa yang sudah terjadi, dan bukan mengambil waktu yang peristiwanya sendiri belum terjadi. Penamaan Angkatan 2000, telah diproklamasikan Korrie tahun 1998, dua tahun sebelum memasuki tahun 2000 itu sendiri. Dari sudut penamaan angka tahun, jelas Korrie sekadar mengambil label. Dan momentum yang menurutnya tampak pas adalah angka tahun 2000 itu.

Meskipun demikian, usaha Korrie yang mencoba memberi landasan estetik terhadap sejumlah karya yang dimasukkannya ke dalam kotak Angkatan 2000, dengan sejumlah ciri yang membedakannya dengan angkatan sebelumnya, tentu saja patut kita hargai. Masalahnya tinggal, apakah kita setuju dengan penamaan Angkatan 2000 itu atau tidak. Jika setuju, kita harus menghargai sikap persetujuannya, jika pun tidak setuju, kita juga harus menghargai sikap ketidaksetujuannya. Sama halnya dengan sikap kita --setuju atau tidak setuju-- terhadap penamaan Angkatan 66, Sastrawan 70-an, Sastrawan 80-an, atau penamaan-penamaan lainnya. Yang penting dicermati adalah bahwa penamaan itu sekadar label. Dan kita harus terbuka pada gagasan siapa pun yang mencoba menyodorkan label-label itu.

Demikianlah, gambaran umum mengenai sastrawan-sastrawan pasca-Angkatan 66. Dalam perkembangannya nanti, kita akan menyaksikan, apakah nama-nama itu akan tengge-lam atau terus berkarya, sebagaimana yang diperlihatkan beberapa sastrawan Angkatan 66. Melihat sebagian besar dari nama-nama itu lebih banyak mengandalkan bakat alam, maka besar kemungkinan, di antara sederetan nama itu, hanya beberapa saja yang menonjol dan akan terus bertahan sampai tahun 2000 sekian.

Persoalannya tinggal, apakah mereka mampu mengeksploitasi dan mengeksplo-rasi berbagai problem sosio-kultural kita dengan dukungan intelektualitasnya. Tanpa usaha pen-dayagunaan, penjelajahan, dan perluasan wawasan, tanpa usaha penggalian dan pendalaman keberagaman kekayaan kultur kita, niscaya karya-karya yang akan dihasilkannya hanya sebagai karya yang baik, tetapi tidak cukup monumental. Jika begitu, ia hanya sekadar meramaikan belaka dan tidak cukup penting untuk melengkapi catatan sejarah kesusastraan Indonesia.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok)

Sabtu, 20 Desember 2008

Pahlawan Sejati

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Seperti kerlip bintang di tengah lautan bagi nelayan, yang kita perlukan hanya cahaya kecil di dalam gelap. Tetap setia menyala dalam badai dan hujan, membentuk jiwa manusia supaya berjuang mengalahkan nasib, membawa seluruh cita-citanya menjadi kenyataan.

Bahkan ketika tidak seorang pelaut pun memandang ke langit, ketika tidak seorang pun manusia bimbang kehilangan peta, cahaya itu harus terus berkobar untuk dirinya sendiri

Pahlawan sejati adalah cahaya yang menuntun rakyat ke tujuan. Menemani langkah setiap orang menembus kemelut hidup menuju terang. Membisikkan pesan agar selalu memenangkan kebenaran. Dia jadikan hidup sebuah pertempuran panjang dengan pengabdian, pengorbanan demi kebahagiaan bersama.

Direbutnya kemerdekaan, dituntunnya perbedaan menjadi kelebihan, hingga negeri puluhan ribu pulau, ratusan bahasa, berbagai suku bangsa- dan panutan hidup, serta keyakinan ini, damai berdampingan dalam keragaman.

Pahlawan sejati adalah sebuah peta, orang tua, guru, teman bermain dan lawan bertengkar. Tak jarang ia menjadi musuh manakala kita khinati nurani, hilang akal, lalu brutal, melupakan diri sebagai bagian keutuhan.

Padahal di dalam kemerdekaan, kita selalu akan berhadapan dengan orang lain yang persis sama merdekanya seperti kita, hingga arti kemerdekaan adalah tidak merdeka.

Pahlawanlah yang meyakinkan kita untuk memaknakan ketidakmerdekaan dalam kemerdekaan, sesungguhnya sebuah keindahan yang dahsyat.

***

Kita hidup dalam rimba-raya kesulitan, tempat matahari dan bulan hadir berbareng, hingga tak kenal malam tak ada siang, semua luluh dalam kerja yang tak pernah putus.

Kita dikepung oleh berbagai ketakberdayaan yang membuat kita terjerat lingkaran setan. Udara beracun, ledakan penduduk, kemacatan, banjir, letusan gunung, tsunami, kemiskinan, korupsi, judi, narkoba, bentrokan, kebakaran, hantu flue burung serta momok demam berdarah.

Belum lagi di antara gedung jangkung, hotel, mal dan mobil mewah, puluhan ribu anak jalanan tak pernah makan sekolahan.

Tak hanya dalam revolusi, pada saat mengisi kemerdekaan pun kita memerlukan pahlawan sejati, tangan kuat, hati baja, pengorbanan tulus dan tindakan-tindakan cepat-tepat-ketat yang dahsyat berpihak kepada rakyat tak berdaya.

Maka pada Hari Pahlawan ini, dari lubuk hati terdalam, perkenankan kami bangsa pasang tabik, haturkan hormat padamu Kusuma Bangsa. Sampai akhir hayatmu engkau menjadi cahaya yang tak henti-hentinya berpedar menerangi persada Nusantara hingga jiwa kami bergelora.

Tak hanya lorong gelap, seluruh wilayah Tanah Air yang terang mendambakan sinar yang memancar dari seluruh gebrakanmu untuk membangun, membetot dan mencintai. Apimu mendorong langkah kami ke depan agar semakin berlimpah pencapain.

Di tanganmu yang perkasalah, bangsa dan negara akan menjadi keren, nyaman dan asyik. Di gebrakanmu yang pantang menyerah, kami semua diingatkan bahwa kerja adalah ibadah.

Nasib bangsa ini ditentukan oleh dengus nafas kita sendiri dalam merebut kehidupan yang lebih sempurna. Kita semua pengisi kemerdekaan, berkewajiban bertindak berani tapi terkendali, cepat tetapi tepat, total tetapi tidak brutal, agar menjadi teladan, hingga terpahat di dinding hati para penerus kita di masa depan nanti, sebagai pahlawan sejati.

Psychedelic Campur Sari

Theresia Purbandini
http://jurnalnasional.com/

Seni musik ternyata tidak harus dimengerti untuk bisa dinikmati. Begitupula dengan aliran psychedelic yang mencuatkan sejumlah band legendaris seperti Pink Flyod dan Coldplay.

Di Indonesia, aliran ini diikuti oleh sebuah band baru asal kota gudeg yang beranggotakan Mohammad Risky Sasono (vocal, gitar), Erwin Subiyantoro (jazz, blues gitar), Nadya Octaria Hatta (keyboard/piano), Sevri Hadi (rock n roll Drum), Dony Kurniawan (Bas). Band yang menamakan dirinya Risky Summerbee dan The Honeythief ini menawarkan musik yang tak lazim seperti mainstream musik Indonesia lainnya.

Dua tahun yang lalu, Mohammad Risky Sasono yang aktif menciptakan musik di balik sekian banyak pertunjukan kelompok Teater Garasi, memiliki pandangan berbeda tentang musik. Pengalamannya sebagai musisi mengantarkannya bertemu anak muda lainnya yang memiliki visi dan musik yang sejenis. Mereka pun sepakat membentuk Risky Summerbee dan The Honeythief.

Bermodalkan niat mengekspresikan dirinya melalui musik, ternyata Risky dan kawan-kawan mendapat sejumlah apresiasi terutama dari sutradara Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin. Dipercaya menjadi latar musik dari pementasan Teater Garasi menjadikan pengalaman dan visualisasi musiknya bertambah luas. “Pak Yudi menyukai segala sesuatu yang serba terstruktur. Begitu pula dengan sebuah musik eksperimental yang kami mainkan disambut dengan respon yang positif,” kata Risky.

Pengalaman pertama ikut sebagai pengisi musik dalam pertunjukan Camar yang disutradarai Corrina Manara, sutradara dari Theatre Embassy (Belanda) yang dipentaskan di Studio Tari Banjarmili, Yogyakarta pada 29-30 April 2008 dan di Erasmus Huis, Jakarta, 6-7 Mei 2008. Dan yang kedua dalam pementasan Jejalan di Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Taman Budaya Yogja pada Mei lalu. Ia bahkan ikut memainkan musik secara live dalam pementasan Jejalan.

Jejalan merupakan seni pertunjukan yang menceritakan relasi sosial kaum urban kota. Di dalamnya melibatkan pertempuran antara kaum bermodal dan yang tak bermodal, yang modern dan yang tradisional. “Dan jalan, sebagaimana kota adalah bagian yang tak terpisahkan dari berlangsungnya modernitas di Indonesia. Juga merupakan representasi atas kenyataan-kenyataan sosial-politik-ekonomi-budaya Indonesia,” kata Risky yang akan segera meluncurkan album perdananya pada awal tahun depan.

Disinggung mengenai keunikan nama, Risky sebagai lead vocal mengungkapkan bahwa nama tersebut tidak direncanakan secara khusus. “Nama ini ibarat jatuh dari langit saja, terasa begitu enak didengar dan tidak memiliki arti khusus, tapi kami sepakat untuk menggunakan nama ini sebagai nama band kami,” kata Risky dengan logat Jawanya yang kental.

Aliran psychedelic yang diusungnya kemudian berbaur dengan unsur blues, folk, pop, hingga menghasilkan musik eksperimental yang tidak bisa disebut dalam genre musik manapun. “Kini kami merasa lebih progresif dibanding sebelumnya. Kami hanya ingin berkarya dan mencoba sesuatu yang baru yang belum pernah kami lakukan,“ ujar pria yang hingga kini masih aktif dalam teater Garasi.

Bertempat di Emax, Kemang, Kamis (19/12) malam, Risky Summerbee dan The Honeythief menggelar konser mininya yang dihadiri oleh beberapa kerabat dan penikmat musik yang sepaham. Pertunjukan yang tepat dimulai pukul delapan malam menggulirkan lagu demi lagu hingga pukul 10 malam.

Menjawab keingintahuan bagi para penikmat musik yang masih awam dengan aliran jenis baru ini, penampilan 11 lagu cukup membuat telinga nikmat sesaat hingga di lagu terakhir. Lagu dangdut dipilih mereka untuk menutup malam itu setelah sebelumnya sempat dibuka dengan beberapa tema eksperimental yang juga menjadi pengisi latar musik beberapa pertunjukan teater Garasi.

Dua tembang beraroma lawas, Fireflies dan Slap & Kiss”yang sedikit rock n roll mampu mereka terjemahkan menjadi format lain sesuai citarasa progresif mereka. Fireflies mengisahkan kesepian di kota besar yang haus akan kebutuhan cinta. Sedangkan Slap & Kiss merupakan sebuah metafora tentang lingkaran cinta yang tak pernah putus, antara percintaan dan kebencian, tamparan dan ciuman, perang dan perdamaian.

Keberanian mereka mencampuradukkan semua jenis aliran menjadi satu mulai dari psychedelic, blues, folk, pop, rock, dangdut memang pantas jika disebut musik kontemporer yang tak terkotak-kotak oleh suatu genre tertentu.

Menulis Tak Sekadar Mencari Juara

Musdalifah Fachri
http://jurnalnasional.com/
Tak lepas dari bimbingan teman-temannya, Reza mengukir prestasi membuat karya tulis.

BERBEKAL semangat untuk melakukan perubahan yang positif, Reza Taufiq, 21 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) giat menorehkan ide dan gagasannya pada sejumlah tulisan. Hasil analisa dalam bentuk tulisan tersebut kemudian diperlombakan pada sejumlah kompetisi tingkat perguruan tinggi dan nasional.

Pemuda berkaca mata minus ini pernah menjuarai Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) bidang ekonomi, sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Lomba itu digelar Fakultas Ekonomi (FE) UNJ tahun 2006.

Setahun kemudian, ia jadi juara 3 pada lomba karya tulis ilmiah bidang ekonomi syariah di Universitas Lampung (Unila), Lampung. Pada tahun yang sama dalam lomba karya tulis bidang sanitasi lingkungan tingkat DKI Jakarta, ia mengantongi juara 2.

Dan dua tahun berturut-turut (2007-2008), Reza, panggilan akrabnya, berhasil merebut juara 1 pada lomba karya tulis bidang IPS yang digelar Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dan UNJ. Hasil kerja kerasnya menuai respon dari dewan juri.

Reza tidak semata menulis dan mengikuti lomba untuk mengincar juara, namun yang lebih penting ia ingin berbagi informasi yang bermanfaat kepada masyarakat. “Saya menulis karena ada semangat mengubah ke arah yang lebih positif,” tutur Reza saat ditemui di kampusnya, Kamis (18/12).

Semangat untuk mengusung perubahan kearah yang lebih positif itu lahir dari pengamatannya terhadap lingkungan dan budaya berdiskusi yang dikembangkan di keluarganya. “Orangtua dan saudara sejak kecil selalu mengajak berdiskusi, baik masalah ekonomi dan agama.”

Putra bungsu pasangan Ucu Sulyadi dan Atun Yuliatun ini menuturkan bahwa dia melakukan beragam riset dan persiapan sebelum mempresentasikan karya yang akan dipertahankan di depan juri. Meski ketersediaan dana seringkali kurang, namun itu tak jadi kendala Reza untuk tetap menyediakan data yang akurat.

“Karya ilmiah harus memasukkan data terbaru. Data lima tahun terakhir kemudian semua diolah dan dianalisa sehingga didapat kesimpulan dan masukan konkrit,” terangnya.

Reza menuturkan, prosesnya menulis karya ilmiah tidak lepas dari bimbingan seniornya yang tergabung dalam Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM) UNJ yang dia ikuti sejak tahun pertama duduk di bangku kuliah. Dalam LKM, Reza dan temannya aktif melakukan diskusi hingga akhirnya memilih tema yang akan dibahas.

“LKM telah membantu menyalurkan kreativitas saya dalam menulis ilmiah. Saya juga mendapat bimbingan dari teman-teman yang telah punya pengalaman,” katanya.

Dari sejumlah kompetisi yang pernah diikuti, pengalaman yang tak bisa Reza lupakan adalah ketika mengikuti LKTM di Lampung, tahun 2006. Kurangnya koordinasi dengan pihak panitia dan tidak menyiapkan dana yang cukup, menyebabkan ia dan kawan-kawan terpaksa menumpang di rumah kawan karena tidak ada akomodasi bagi peserta. “Dengan dana minim dan semangat yang besar, kami berhasil menjadi juara 3,” katanya.

Remaja yang mengidolakan penulis Helvy Tiana Rosa, Emha Ainun Nadjib, dan Eric Fromm menjelaskan bahwa kebiasaan mengasah pikiran telah terbentuk sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). “Saya dari dulu gemar menghafal dan membaca buku-buku sejarah dan pendidikan,” katanya.

Bahkan pernah suatu kali, ia mampu menghafal dengan baik alur dan isi sebuah buku sejarah yang kemudian minta diujikan oleh ibundanya. Hobi positif itu mengantarnya menjadi langganan juara kelas hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Remaja yang lahir di Kuningan, 12 Januari 1987 ini mengaku menyimpan impian untuk menjadi guru. Dia juga ingin bisa menghasilkan sebuah buku yang bisa dinikmati masyarakat luas sebagai referensi.

Tidak kalah penting, ia ingin sejumlah tulisannya yang berbentuk esai atau opini dapat terpublikasi secara luas di media lokal dan nasional di Tanah Air. Sayangnya, Reza belum mampu mewujudkan hal itu, sebab setelah tujuh kali mengirim tulisan, hasilnya nihil.

Tapi, Reza tentunya tidak patah semangat. Ia akan terus mencoba hingga tulisannya layak untuk diterbitkan secara luas agar semangat perubahan yang diusungnya bisa sampai tepat sasaran. Semua ikut berdoa kok, Reza.

Dari Tubuh Menuju Teks

Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/

Seorang perempuan menelungkupkan kepala di atas meja. Dari mulutnya terlontar igauan-igauan keras mengenai grafik pemeliharaan, grafik penghancuran, rencana regional, rencana tata ruang, konstruksi pembangunan negara-negara miskin.

Perempuan bernama Fitri itu seolah menjadi potret kegilaan kehidupan kota besar. Tekanan hidup membuat dia dan sebagian besar manusia urban lainnya merasa teralienasi bahkan oleh masa lalunya sendiri.

Untuk mengisi ceruk hati yang kosong mereka membentuk sebuah percintaan banyak segi. Meski tahu itu bukan bentuk ideal, namun mereka yang tercerabut dari akar tak sanggup untuk menolaknya.

Fenomena sosial seperti kegamangan sikap dan situasi psikologis masyarakat modern itu menggelitik naluri kreatif Teater Kami untuk mengangkatnya ke atas panggung. Kemudian dari tangan dingin seorang Harris Priadie Bah lahirlah sebuah pertunjukan teater yang mengharmonisasikan antara tubuh dan teks.

Lahir di Jakarta 20 tahun silam, Teater Kami memberikan sebuah warna yang berbeda di awal kemunculannya. Pengalaman bergabung dengan Teater Sae disebut-sebut sebagai salah satu latar eksplorasi tubuh yang dilakukan Harris.

"Berani tampil beda menjadi salah satu nilai lebih bagi Teater Kami. Di saat kelompok lain tenggelam dalam hiruk pikuk kecerewetan teks, mereka hadir dengan konsep minimalis, detail serta eksplorasi yang kuat terhadap tubuh," kata Afrizal Malna, Minggu (14/12).

Teater Kami kemudian berangkat menjadi kelompok yang mengejar substansi. Bagi mereka, teater bukan sekadar narasi yang bertele-tele. Dengan detail tubuh yang sederhana pun mereka mampu menghipnotis penonton.

Afrizal mengatakan, dalam lingkungan teater di Jakarta, langkah yang diambih oleh Harris dan teman-teman terbilang istimewa. Maklum, ketika itu banyak kelompok teater yang disibukan dengan dialog yang berlarat-larat sehingga tidak mempunyai ruang untuk menggarap detail di tingkat tubuh aktor.

Kelebihan lain dari kelompok ini adalah tidak berlebihan dalam setting. Budaya visual yang tengah marak belakangan ini seringkali membuat para pekerja teater berlomba untuk mencipta setting yang gegap gempita, sementara teaternya sendiri menjadi terkubur.

Konsep setting minimalis yang diusung Teater Kami juga mendapat acungan jempol dari Halim HD. Ia mengakui kelebihan kelompok ini dari segi adaptasi ruang dan pemanfaatannya. "Ketika diundang ke Palu. Mereka mampu menggunakan ruang tamu sebagai tempat pertunjukan," kata Halim.

Harris menuturkan bahwa konsep minimalis tersebut sebenarnya tercipta secara tidak sengaja. Sulitnya mendapatkan dana untuk pertunjukan membuatnya harus memutar otak, bagaimana membuat karya yang maksimal dengan modal kecil. "Maka terciptalah konsep pemanfaatan ruang dan penggunaan aktor yang minimalis," ujar Harris.

Bahasa Simbol

Afrizal mengatakan, dengan gaya yang imajinatif Teater Kami mengusung ikon-ikon ke atas panggung. Bukan sebagai representasi sosial melainkan sebagai interpretasi mereka. "Mereka membawa pesan realis yang dikemas dalam pertunjukan imajinatif," ujar penulis kumpulan puisi Teman-teman dari Atap Bahasa ini.

Contohnya dalam lakon Telur Matahari yang bercerita tentang wajah Indonesia setelah lima tahun reformasi. Taburan metafor sangat terasa pada pementasan yang naskahnya ditulis oleh Afrizal.

Misalnya saja pada adegan ketika dua orang sedang memperebutkan kursi (dalam makna sesungguhnya). Kemudian muncul orang ketiga yang ketika berhasil menguasai kursi, alih-alih diduduki kursi tersebut malah dibanting hingga berantakan.

Beragam makna bisa muncul dari adegan semacam itu. Tetapi, jika mengacu kepada bingkai besar pementasan sebagai upaya melakukan dekonstruksi terhadap berbagai ketidakpantasan di negeri ini, maka "kursi" (mungkin jabatan) telah membuat sebagian orang geram.

Pementasan tersebut ditutup secara tidak biasa dengan membanting semangka yang menyerupai bola dunia tepat di hadapan penonton. Suara bantingan yang menghentak menyadarkan bahwa bangsa ini tengah mengalami kesemrawutan.

Dalam tradisi Tionghoa, buah semangka yang dibanting merupakan bagian dari tata cara pada upacara kematian. Harris ingin menuturkan bahwa carut-marut di negeri ini akan berujung pada kedukaan yang mendalam.

Interpretasi personal yang digunakan Teater Kami seolah menjadi dua sisi mata pedang yang terkadang menjadi kelebihan, namun lain waktu dapat menjadi kekurangan. "Harris acapkali berlaku "sewenang-wenang" terhadap naskah orang lain dengan melakukan penafsiran ulang yang berlebihan," kata Nur Zen Hae.

Misalnya saja pada pertunjukan Kunang-kunang yang naskahnya ditulis oleh penulis terkemuka Jepang, Suzue Toshiro. Dalam lakon tersebut Harris melakukan perombakan cerita secara besar-besaran. Naskah asli yang terdiri dari 14 adegan dipangkas menjadi 11 adegan (dua dihilangkan dan dua dijadikan satu).

Pertunjukan juga kerap menampilkan cerita yang tidak linier bahkan cenderung melompat-lompat. Satu adegan dengan adegan lain direkatkan oleh Ide, sehingga berpindah-pindah bagai gelombang radio.

Tengok saja pada lakon Kunang-kunang, adegan pertama dibuka fragmen antara Fitri dan Yanto. Lantas disambung dengan adegan kedua yang memperlihatkan kesibukan pasangan Jean Marais dan Faudiah Sari yang tengah menyorotkan senter mencari kunang-kunang.

Zen Hae menuturkan, upaya pembongkaran yang dilakukan Harris cukup menarik, caranya memilih dan mengedit naskah sehingga menghasilkan keseluruhan alur kisah. "Harris menggunakan adegan yang dianggapnya penting dan memangkas yang dianggap tidak," ujar Zen Hae.

Pria yang sempat bekerja sama dengan Teater Kami untuk beberapa produksi ini mengatakan, penafsiran ulang yang dilakukan pewujud (penyebutan sutradara oleh Teater Kami) dapat merupakan bentuk kreativitas. Tetapi di sisi lain tindakan tersebut berisiko karena cerita yang ditampilkan tidak utuh.

Lebih lanjut Zen Hae melihat, Teater Kami sedikit terjebak dalam nada bicara robotik (dengan penekanan di akhir kalimat) yang menjadi ciri khasnya. "Memang gaya tersebut membedakan Teater Kami dengan kelompok lain, tetapi karena dilakukan secara berulang menjadi terasa membosankan," kata lelaki yang menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Naskah Asing

"Hanya orang menos (gila) yang mau bertahan di dunia teater yang serbapaceklik," kata Harris sembari terkekeh. Mungkin menertawakan diri sendiri karena dia termasuk segelintir orang yang hingga kini masih bertahan di dunia yang jauh dari gemerlap.

Tetapi tentu Harris tak ingin mati konyol. Supaya dapat bertahan ia harus pintar-pintar memutar otak. Untuk itu Harris memilih "jalan sempit" dengan melakukan pementasan-pementasan di kedutaan negara asing.

Cara yang ditempuh Harris ternyata cukup ampuh untuk mencetak rupiah guna membiayai pementasannya. "Tidak banyak, tapi setidaknya saya dapat memberikan uang lelah kepada para anggota," ujar Harris.

Budaya memberikan uang lelah ditempuh oleh lelaki berusia 43 tahun ini mengubah anggapan bahwa pekerjaan teater berbeda dengan pekerjaan formal lainnya. Menurut dia, teater bukan sekadar hobi yang dikerjakan sebagai pengisi waktu luang. "Teater sama dengan pekerjaan lain yang membutuhkan loyalitas," kata alumni Sekolah Teater dan Film (STF) angkatan 1986.

Harris juga tak keberatan bila kelompoknya dicap sebagai teater kedutaan asing karena dengan cara itulah dia bisa menyambung nafas untuk tetap menghidupkan teater. "Setidaknya setengah dari ongkos produksi bisa ditutup," ujar pria yang duduk sebagai Sekretaris Program Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta.

Dari kacamata berbeda Afrizal menilai, pemilihan naskah-naskah asing ini turut mempengaruhi cara bertutur Teater Kami. Jika pada awalnya mereka konsisten mengeksplorasi tubuh, lama-kelamaan mereka kembali terjebak pada teater naratif. "Padahal kekuatan Teater Kami terletak pada detail dan bahasa tubuh," kata penulis buku Tak Ada Anjing dalam Rahim Ibuku ini.

Pola latihan yang tertutup ia duga menjadi salah satu penyebabnya. Lelaki yang sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara ini menilai pola latihan Harris yang tertutup seolah bekerja dalam kamarnya sementara teater merupakan kerja terbuka. "Masyarakat perlu mengetahui proses sebuah telur sebelum ia menetas menjadi ayam," ujar Afrizal.

Lebih lanjut Afrizal memaparkan bahwa Teater Kami harus mengembangkan budaya diskusi maupun evaluasi dengan melibatkan orang lain di luar kelompoknya. "Ini merupakan langkah mencegah bangkrutnya kelompok teater akibat kehilangan medan kreatif," ujar Afrizal.

Sementara itu, Halim menyayangkan bongkar pasang yang terjadi dalam tubuh Teater Kami. Meski hal itu lazim terjadi pada sebuah kelompok teater, tetapi ada baiknya sebuah kelompok memiliki keanggotaan yang mapan. "Masuknya orang baru membuat kelompok harus mengulang latihan dari awal," kata Halim.

Regenerasi merupakan menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia teater. Harris mengakui sulit sekali menemukan orang yang konsisten mengabdikan dirinya untuk kesenian terutama teater. "Bongkar pasang pemain merupakan salah satu cara, sebab saya tidak memiliki banyak anggota," ujar Harris.

Rumusan bahwa teater sebagai seni dalam menjalani hidup atau teater sebagai panggilan jiwa, pada akhirnya memang terlampau sederhana untuk menggambarkan "kegilaan" sebagian orang untuk terjun bebas di dalamnya.

Semoga kerinduan Harris akan majunya dunia teater Tanah Air dapat tercapai, setidaknya seperti kunang-kunang yang menghapus kerinduan masyarakat urban dalam lakonnya.

Kamis, 18 Desember 2008

Peranan Sastra

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Dengan pembatasan yang ugal-ugalan — “sastra adalah semua bentuk ekspresi dengan bahasa sebagai basisnya” — wilayah sastra jadi merebak, merengkuh daerah yang sangat luas. Ke dalamnya sudah tercakup sastra lisan maupun tulisan.

Prosa, puisi, lakon, skenario, skripsi, risalah ilmiah, esei, kolom, berita, surat, proposal, catatan harian, laporan, pandangan mata, pidato, ceramah, transkripsi percakapan, wawancara, iklam, propaganda, doa dan sebagainya semuanya jadi termasuk sastra, karena mempergunakan bahasa.

Semua sektor kehidupan, seluruh aktivitas manusia tak bisa membebaskan diri dari bahasa. Bahkan olahraga yang jelas-jelas menitikberatkan pada aktivitas raga, tetap saja membutuhkan bahasa dalam menumbuhkan dan mengembangkan dirinya. Dengan cakupan yang begitu dahsyat, sastra tidak mungkin tidak berguna. Demikianlah mahasiswa yang sedang menekuni berbagai jurusan, akan selalu, suka tak suka berhubungan dengan sastra.

Bagaimana dengan puisi dan prosa yang merupakan bagian dari kesusastraan (baca: sastra yang indah). Apakah puisi dan prosa juga berguna bagi semua mahasiswa, sehingga bukan saja jurusan bahasa dan sastra tapi juga jurusan sosial, ekonomi dan eksakta berkepentingan mengkaji sastra? Apa seorang yang ingin menjadi insinyur, dokter, diplomat, pengusaha, perwira, pemimpin politik, ahli hukum, negarawan dan ulama, perlu membaca sastra?

Di tahun 60-an, pelajaran kesusastraan masih diajarkan di SMA di semua bagian A,B dan C (budaya, eksakta dan ekonomi). Tetapi posisinya memang hanya sebagai pendukung pelajaran Bahasa Indonesia. Tak jarang jam pelajaran kesusastraan dikanibal oleh pelajaran bahasa.

Hal tersebut dimungkinkan, karena pelajaran kesusastraan tak lebih dari hapalan bentuk-bentuk kesusastraan, riwayat hidup pengarang, judul karya dan sinopsis buku-buku wajib baca. Tak pernah ditelusuri secara mendalam (gurunya tak ada yang terdidik ke arah itu) hakekat kesusastraan itu kaitannya dengan berbagai pemikiran yang ada dalam kehidupan. Jadinya pelajaran kesusastraan - lebih popular disebut pelajaran sastra saja - hanya jadi pelajaran tak berguna. Dihapus juga tidak ada akibatnya.

Kesusastraan (prosa dan puisi) sesungguhnya terkait dengan seluruh aspek kehidupan. Hanya saja karena pemaparannya menempuh lajur rekaan imajinasi, sehingga nampak semu. Tapi dalam kesemuannya itu, sastra merefleksikan fenomena hidup beragam dengan mendalam, mengikuti cipta-rasa-karsa penulisnya.

Untuk itu memang diperlukan kesiapan: apresiasi, interpretasi dan analisis, sehingga dunia rekaan di dalam sastra jelas kaitannya dengan seluruh aspek kehidupan. Kritik sebagai perangkat penting yang sesungguhnya berfungsi menunjukkan arti kehadiran sastra, kebetulan sangat parah di Indonesia, sehingga kehadiran sastra semakin tenggelam hanya sebagai hiburan.

Sastra memang memiliki potensi yang hebat untuk menghibur. Dan karenanya sebagai barang komoditi nilainya tinggi. Kaitannya dengan bisnis dan industri juga meyakinkan. Sebuah karya sastra dapat meledak, mengalami ulang cetak setiap tahun dengan oplag raksasa dalam berbagai bahasa.

Namun sastra tidak semata-mata kelangenan, tetapi juga dokumen perjalanan pemikiran yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah. Uncle Toms’s Cabin karya Beecher Stowe yang melukiskan derita dan nestapa budak kulit hitam di Amerika Serikat, telah diakui sebagai salah satu pemicu perang Saudara di Amerika dalam rangka menghapuskan perbudakan.

Dokter Zhivago karya Boris Pasternak melukiskan hidup pelakunya yang bernama Lara yang melambangkan Ibu Rusia. Pemerintah tirai besi Uni Soviet melarang Pasternak menerima hadiah nobel, karena novel itu dianggap sebagai potret Rusia yang tidak dikehendaki oleh pemerintah komunis.

Ayat-Ayat Setan karya Salman Rusdie menimbulkan kegegeran dunia, karena dianggap penghinaan terhadap Islam, sehingga Ayatulah Khomeini menjatuhkan hukuman mati pada penulisnya yang berlindung di daratan Inggris.

Di Indonesia, Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin, menjadi perkara, sehingga HB Jassin selaku Pimpinan Redaksi majalah Horison yang memuat cerita pendek itu diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah. Sementara Iwan Simatupang, sengaja menulis drama “RT 0 - RW 0” (sekalian dipentaskan oleh para mahasiswanya), dalam rangka memberi kuliah tentang filsafat eksistensialis.

Pada 1980 saya menulis sebuah cerpen SEPI.

Sepi sudah saya bacakan di berbagai tempat: Jakarta, Denpasar, Yogya, Bandung, Leiden, New York, Columbus, Ithaca, Madison, Berlin, Tokyo, Afrika Selatan, Caribia. Kesan yang didapat oleh berbagai pendengar bermacam-macam.

Apa yang tertangkap oleh pembaca memang kadangkalam bisa melampaui dari apa yang mendorong dan ingin didapatkan ketika sastra ditulis. Artinya, sebuah karya sastra, setelah jadi dan dilepaskan kaitannya dengan penulis, menjadi sebanyak apa yang terbaca oleh pembaca.

Bahkan seorang pembaca yang membaca sebuah karya sastra berkali-kali, akan menemukan seperti karya baru karena karya itu selalu memberikan nuansa yang lain, sesuai dengan kondisi dan perasaan yang membacanya.

Boen S. Oemarjati menulis disertasi tentang sajak “Nisan” karya Chairil Anwar yang memberikan beliau gelar doktor. Padahal sajak itu amat pendek:

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu seringgi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta


Sementara HB. Jassin menulis esei panjang yang mendalam terhadap sajak Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran. Padahal sajak itu hanya terdiri dari satu baris saja.

Bulan di atas kuburan.

Karya sastra dengan demikian adalah sebuah padatan atau esensi kehidupan yang disampaikan dengan “indah” oleh penulisnya untuk mempertebal rasa kemanusiaan. Membacanya, membahasnya, memerlukan ilmu bantu dari berbagai desiplin, sehingga bila disentuhkan kepada mahasiwa, sastra menjadi semacam “starter”, pemicu pada penjelajahan pemikiran yang tak terbatas ke segala arah.

Sesuatu yang sangat diperlukan oleh para mahasiswa agar tidak terjebak seperti tikus masuk perangkap di dalam ilmu yang ditekuninya.

Sastra akan mengimbangi pematangan, pemantapan serta kedewasaan kepribadian seseorang yang tidak diberikan oleh kurikulum yang hanya ingin mencetak “Manusia Indonesia Yang Cerdas Dan Kompetitif” sebagaimana yang dicanangkan oleh “Cetak Biru” pendidikan Indonesia.

Pelajar dan mahasiswa tak cukup hanya pintar dan menguasai bidang keilmuannya, tetapi juga mesti memahami kehidupan, masyarakat dan realita di mana nanti dia bekerja setelah meninggalkan bangku pendidikan. Kalau tidak, ia bisa menjadi robot yang pintar tetapi sangat berbahaya bagi kemanusiaan.

Zen seorang kandidat doktor dari Indonesia yang sedang belajar phisika murni di Universitas Kyoto (1991) memberikan pengakuan bahwa ia sangat dekat dengan sastra. Dengan sastra ia dibelajarkan untuk melakukan penjelajahan imajinasi yang tak terbatas, sehingga baginya sastra bukan semu atau khayal, tetapi konkrit. Einstein penemu teori relativitas yang juga suka main biola pun pernah berucap:

“Imagination is more important than knowledge”.

TABUNGAN ORANG KECIL

Tien Rostini
http://republika.co.id/

Sam menimang-nimang patung macan yang tengahnya kopong. Lelaki bertubuh jangkung itu sedang mencoba menaksir jumlah recehan yang ia cemplungkan setiap mendapatkannya dari warung saat belanja.

"Mau diapakan si macan, Mas? Katanya tidak mau membolonginya kalau belum penuh." Suara Marni mengejutkan sang suami yang masih asyik dengan binatang tanahnya.

"Ah, tidak diapa-apakan. Aku cuma iseng kepingin menaksir jumlah isi perutnya."

Marni tersenyum tipis sekilas. Di dadanya mendadak ada rasa perih melintas. Suaminya berjuang keras setiap hari sebagai petugas kebersihan kota. Habis salat Subuh sudah mulai mengayunkan sapu lidi di jalan. Jika ada keramaian, pekerjaan Sam akan bertambah karena limpahan sampah akan membanjiri jalan.

Perlahan Sam meletakkan patung macan duduknya di atas bupet kepala tempat tidur kayu model lama. Ia mundur beberapa jengkal dan dengan hati-hati meletakkan pantatnya di pingir dipan.

Mata Sam berpindah pada kalender yang menempel pada dinding kamar yang catnya sudah pudar. Gambar bunga sakura dengan latar langit biru ditatapnya lekat-lekat. Namun yang ada di benak lelaki itu bukan Fujiyama, tapi hamparan hijau persawahan di desanya.

Ada ayah dan ibunya yang tua keriput dan bermata lelah di desa. Ibunya tiap hari mengangkut kayu bakar yang dikumpulkannya di hutan pinggir sawah. Punggung ayahnya pun sarat bawaan, rumput untuk makanan kambing.

"Ah! Seperti apa nasib orang tuaku sekarang? Tak ada yang mau mengirim kabar padaku. Mungkin saudara-saudaku juga sibuk atau mungkin marah dan benci padaku, karena lama tak menjenguk ayah dan ibu."

Sam merasa telah menjadi pecundang di perantauan. Ia telah menikahi seorang perempuan dan hingga belasan tahun belum pernah perempuan itu kenal mertuanya. Marni, perempuan Jawa yang nrimo, telah melahirkan dua anak. Dan, kedua itu anaknya pun belum pernah bertemu nenek dan kakeknya.

"Ada apa, Mas? Sepertinya kau sangat bersedih!" Marni yang kembali muncul di kamar melihat Sam yang sedang mematung di depan kalender.
"Tidak ada apa-apa, Marni," Kilah Sam pendek.

"Tadi Mas memegangi si macan, sekarang memandingi kalender dan tampak sangat bersedih. Ada masalah? Atau sampeyan punya hutang yang harus dilunasi?" Marni terus mendesak.

"Ya, aku punya hutang!" Sam kembali duduk di tepi dipan disusul Marni duduk di sampingnya.

"Hutang kepada siapa, Mas? Hutang untuk apa?" Marni cemas karena selama ini Sam tak pernah berhutang tanpa sepengetahuannya.
"Kepada orang tuaku."

"Kapan berhutang kepada mereka, Mas? Mengapa selama ini tak pernah mengatakannya?" Marni berbalik dan berusaha memandangi wajah keruh suaminya.

"Aku tidak berhutang uang atau materi apa pun kepada mereka. Aku tak pernah bisa menjenguk mereka bahkan tak pernah berhasil mengenalkan kalian, anak dan istri yang telah kumiliki lebih dari sepuluh tahun. Maafkan aku, Marni!" Sam menggamit pundak Marni lalu memeluknya erat.

Tanpa disadari ada tetesan air jatuh di pundak Marni. Merasakan tetesan hangat di pundaknya, Marni pun tak kuasa membendung air mata.
"Mas, jika sampeyan mau pulang untuk menjenguk orang tua, pulanglah. Mumpung mereka masih hidup. Aku dan anak-anak tak usah diajak dulu. Insya Allah, suatu waktu Tuhan memberi rezeki jika menghendaki kami bertemu dengan kedua orang tuamu."

"Tidak, Marni! Jika aku pulang harus membawa serta kalian. Kita sekeluarga, Marni."

"Tapi, untuk sekarang tidak mungkin, Mas! Uang kita tidak mencukupi untuk membiayai perjalanan pergi dan pulang. Kalau Mas Sam saja, insya Allah cukup." Marni berusaha menenangkan Sam yang masih menunduk.

"Aku tahu, Mas. Sampeyan terpengaruh orang-orang yang ingin mudik pada lebaran haji nanti. Orang-orang yang Lebaran lalu tak bisa mudik, ingin mudik pada Idul Adha besok untuk berkumpul dengan keluarga besarnya dan berkurban di kampung. Tapi, tidak semua orang dapat mewujudkan keinginannya itu, termasuk kita. Mas harus yakin juga bukan hanya kita yang tak punya kesempatan itu. Kita tak dapat berbuat banyak. Kita hanya orang kecil yang hanya mampu mencari sesuap nasi."

Sam terdiam, ia membenarkan apa yang dikatakan Marni. Ia hanya segelintir orang yang tak punya daya untuk banyak berbuat. Dunianya hanya panas matahari dan cucuran keringat.

"Meskipun aku harus pulang sendiri, tetap aku tak punya uang. Kalian di sini kan juga harus makan," kata Sam dengan suara tersekat di kerongkongan.

"Insya Allah, ada, Mas. Aku punya si macan yang lain."
Marni berdiri dan melangkah menuju lemari pakaian. Tangan kanan perempuan bertubuh kerempeng itu merogoh belakang lemari. Kemudian ia mengangkat patung macan yang sama dengan macan yang ditimang Sam tadi. Senyum Marni mengembang. Ia berjalan dan kembali duduk. Ia menyodorkan benda itu kepada Sam.

"Ini hasil penjualan kompos yang aku buat di belakang rumah, Mas. Insya Allah isinya dapat mencukupi biaya hidup kami selama ditinggal Mas pulang, dan dapat menambah ongkos mudik sampeyan."

Sam terharu. Sejurus ia menatap patung yang sudah diletakkan di atas kasur yang kempes. Ia pegang kepalanya.

"Tidak marni. Ini hasil jerih payahmu. Kaulah yang harus menikmatinya. Pergunakan untuk membeli keperluanmu. Kalau ikhlas membantuku, belikanlah anak-anak pakaian yang layak. Buatlah mereka senang."

"Mas, kita sudah terbiasa menikamati apa yang bisa kita dapatkan dan apa yang ada. Jenguklah orang tua. Belasan tahun Mas meninggalkan mereka, sudah selayaknya mereka ditengok. Aku yakin, bertemu denganmu adalah sebagian dari kebahagiaan mereka juga baktimu kepada mereka." Marni membujuk Sam dengan suara lirih. Sam diam membisu.

Sejak muncul tawaran dari sang istri untuk mudik sendiri, Sam tak henti berpikir. Berbagai pertimbangan bergelut dalam benaknya. Terkadang bulat tekadnya untuk pulang. Terkadang ia menolak mudik tanpa disertai istri dan kedua anaknya. Suara beduk di surau kecil di kampung seakan memanggil-manggilnya. Hari terus berlari melewati angka demi angka di kelender pada dinding kamar Sam. Sam tetap bimbang. Terkadang ia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Ia benar-benar merasa tolol untuk membuat suatu keputusan.

Menjelang lebaran haji anak-anak merengek pada Marni.
"Mak, kapan membeli baju? Lebaran lalu kan belum beli baju baru. Baju dan seragam sekolah Andi sudah jelek semua. Malu sama teman-teman."
"Bagaimana kalau kalian membeli baju dengan uang tabungan kalian?"
"Maksud Mak, kami memecah si jago dan si babon?" tanya Andi penuh selidik.

Marni mengangguk pelan.
"Kenapa, Mak? Celengan kami, kan belum penuh. Kami masih sayang untuk memecahnya." Santi protes.
"Tolong, kalian mengerti. Bapak ingin pulang ke Jawa menengok Mbah. Jadi kita harus menghemat uang agar Bapak bisa menengok kakek dan nenek." Marni menjelaskan dengan suara pelan setengah berbisik karena takut didengar Sam yang baru pulang kerja dan duduk di beranda.
"Jadi kita mau mudik, Mak? Kita akan naik pesawat atau kapal seperti Jaka?" Tanya Santi polos.

"Bukan kita yang mudik, tapi Bapak!" Andi memotong.
"Ya, Cuma Bapak. Enak Bapak, dong, naik kapal, naik bis besar atau kereta. Kita cuma di rumah saja." Santi kembali protes.
Marni tak enak berdebat di ruang tamu yang berdekatan dengan tempat Sam duduk. Akhirnya ia mencari alasan untuk menjauh dari sana.
"Kalian bisa membantu Mak, enggak?"

"Bantu apa, Mak?" tanya Andi.
"Kita buat keripik pisang, yuk! Nanti kita bungkusi dengan plastik dan kita jual di pasar pagi atau sama tetangga juga bisa. Siapa tahu bisa untuk menambah uang buat beli baju seragam kalian."
"Tapi, aku mau ikut ke Jawa sama Bapak!" Santi masih merengek.
"Makanya harus rajin menabung agar kita bisa menjenguk nenek bareng-bareng lebaran tahun depan, ya!" bujuk Marni sambil menggamit kedua anaknya berjalan menuju dapur.

Pembicaraan anak dan istrinya terdengar samar-samar oleh Sam. Batinnya menjerit. Ulu hatinya sesak seperti diganjal bongkahan batu gunung. Ia berdiri dan berjalan ke kamar. Di sana ia hanya mampu memandangi si macan kembar yang melambangkan tetesan keringat sepasang manusia yang hanya mampu bercita-cita.

Minggu, 07 Desember 2008

Gumam Lirih Perlawanan Puisi

Alex R. Nainggolan*
http://www.lampungpost.com/

Catatan Antologi Puisi Ahda Imran: 'Penunggang Kuda Negeri Malam'

Jika seorang penyair menulis sajak-sajak sosial, barangkali sudah biasa. Realitas telanjang tentang carut-marut kehidupan, kebobrokan, kesewenangan, penindasan, kekalahan masyarakat lemah, sudah banyak kita dapati dalam berbagai kumpulan sajak.

Di deretan penyair yang menulis sajak-sajak sosial itu, kita mencatat beberapa nama: W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Wiji Thukul, Agus R. Sarjono, dsb. Sebagian besar sajak yang ditulis para penyair tersebut dengan ligat menelantarkan kita pada potret kondisi masyarakat; potret yang memang dihadapkan pada kita secara face to face. Ibarat kita becermin, sebagian besar sajak itu memang terasa, bila kejadian-kejadian tersebut memang (sedang) berlangsung. Atau barangkali kita sendiri yang sedang mengalami.

Tapi, Ahda Imran lain. Membaca antologi puisi terbarunya Penunggang Kuda Negeri Malam (Akar Indonesia, Mei 2008), saya seperti diajak bertamasya pada sebuah fantasi "aneh". Rangkaian kata yang ditulisnya lebih "liar", dengan imajinasi tak terbendung. Mulanya, saya tak ingin terlibat lebih jauh untuk membaca, tetapi suasana yang dibangun dalam sajaknya begitu menggoda. Seperti menyeru saya tetap setia menekuni baris-baris sajak selanjutnya.

Tiba-tiba, saya teringat ucapan seorang penyair jika puisi memang ibarat sebuah setrum yang menyentak tubuh. Dengan sekejap buluh kata-kata itu menelusup ke rongga dada. Dan saya tergetar.

Apakah ini sekadar perasaan sentimental saya saja? Saya tak tahu. Mungkin, tak berlebihan jika Haidar Bagir menulis dalam kata pengantar Catatan Pinggir 6 Goenawan Mohammad--dengan mengutip sabda Heidegger-- "jika...wacana berpikir yang asli adalah puisi...melalui puisi, kita menjadi sadar bagaimana bahasa, dalam berbicara, mengimbau segenap unsur (dunia)..."

Bahasa dalam citraan puisi terasa lebih meyakinkan. Kata-kata dengan sendirinya dapat bergerak, menjangkau seluruh pengalaman penyair melalui imajinasi yang dipungutnya. Untuk itu, Ahda, saya kira memang piawai mengolahnya.

Sajak-sajak yang ditulis Ahda seperti suasana keseharian. Meskipun jalinan kalimat yang dibentuknya terlebih dahulu dibubuhi, dipermak, di-make up oleh imajinasi penuh cekam. Justru dari tali-temali itu, sajak-sajaknya lebih banyak "berbicara". Menyentuh setiap sisi purba kehidupan, yang ternyata tidak melulu baik tetapi dipenuhi muslihat. Ia membangun suasana yang baru dari realitas, berbeda dengan sajak-sajak para penyair lain yang memunyai tema kritik sosial.

Obsesi Kata
Membaca kumpulan puisi Ahda, saya seperti tergeliat, betapa puisi memang dapat menjangkau segala hal yang serba-tak niscaya, remeh-temeh, terpinggirkan, tak mungkin, juga gelap. Kata-kata dalam puisi Ahda seperti gumam lirih, yang tak pernah selesai sebenarnya. Ia membangkitkan semua energi. Rangkaian imajinasi yang terangkum, barangkali hampir sama dengan sajak-sajak yang ditulis Indra Tjahjadi; dipenuhi kecemasan sekaligus berurusan dengan ketakutan.

Bagaimana bisa membayangkan peristiwa semacam ini: Ada selalu malam ketika anakku/bertanya tentang para leluhur, dan kota/yang melayang-layang itu. Selalu tak pernah/ada yang sanggup kukisahkan, selain membakar/seluruh pohon yang tumbuh di punggungnya,/lalu membuat upacara persembahan. Menanak/air sungai bercampur sisik ular,/dan diam-diam//menuangkannya ke mulut cucuku/ (Sajak Silsilah) atau Setiap hari engkau bergerak,/menyelinap ke balik bajuku, menghisap/tulang sumsum dan kelaminku, menjadi kata-kata,/yang membuatku lebih riang dari hanya sekadar/menjadi seorang lelaki. Bahkan ketika akhirnya//engkau meninggalkanku (Sajak Setiap Hari).
***

Yang saya catat ketika membaca kumpulan puisi Ahda ialah keterpukauan dia pada suatu hal, terutama benda. Begitu kata terasa menjadi sebuah obsesi bagi dirinya; semacam rambut, angin, anjing bermata satu, handphone (telepon genggam), sisik, ular, sungai, parlemen, nama-nama, orang-orang. Pun sebagian besar sajaknya hanya ditutup dengan sebaris kalimat. Hanya beberapa sajak yang tidak.

Obsesi kata ini akhirnya menyisakan pengulangan dalam sajak-sajak selanjutnya. Yang memang jika direnungkan terkesan berhubungan. Atau memang ini merupakan ciri khas sajak-sajak Ahda?

Yang jelas, Ahda dalam sebagian besar sajaknya lebih terasa sebagai puisi gumam. Namun, ia berusaha melawan kenyataan-kenyataan yang pahit. Semua imajinasi dalam puisinya bersinggungan dengan pernyataan-pernyataan perlawanan, yang sebenarnya tak juga pernah selesai. Simak saja dalam Grande Peur: Bernapas di tengah pasar ketika harga-harga/berteriak seperti penguasa yang kejam. Koran/di tanganku terjatuh, menyimpan dirinya dalam tangisan/kata-kata tumbuh bersama peluru, juga para penculik,/penimbun minyak goreng dan slang-slang infus demam/berdarah//...yang ditutup dengan:Inilah negeri dengan keajaiban yang tak selesai,/menyimpan dirinya menjadi kenangan yang menyeramkan,/seperti gelap yang mengepung Blitar dan Kemusuk//

Rangkaian sejarah kelam yang pernah terlintas di negeri ini terasa masuk ke dalamnya. Dan itu tak luput dicatat Ahda. Ia menggenapi semua keputusasaan yang singgah di tengah masyarakat. Gumam puisinya seperti menebarkan ketakutan yang dingin. Kesendirian bergabung di setiap jalinan kalimat puisinya. Kesunyian sebagai penyaksi yang merekam segenap ketakutan tersebut. Rasa takut yang seperti menyemut dan ia seperti ditikam kesunyian yang melangut.

Namun, Ahda seperti ingin merampasnya dalam puisi. Simak saja Kutulis Lagi Sebuah Puisi: Kutulis lagi sebuah puisi/mungkin untukmu, mungkin juga bukan/dalam tubuhmu kata-kata adalah waktu, irama/yang cemas dan bimbang, janji yang tak beranjak/pergi. Tidak bersama siapapun, aku telah berada/di lubuk malam. Ingatanku padamu menjadi air/yang menetes dari jemari tangan. Banyak hari/yang tak bisa lagi kuingat sebagai apa pun/.

Hal tersebut terulang lagi pada Sajak Seharian:Pagi. Seseorang yang entah/siapa menangis di handphone, dan membuat/tulang punggungku retak. Seseorang lain/datang mengirim pesan, mengikat kedua/tangan dan kakiku, menghanyutkan/tubuhku ke sungai//

Si penyair seperti membangun dunianya sendiri. Dengan berpura-pura tak peduli pada serbuan kesendirian ketika menatap atau berhadapan dengan peristiwa. Ia menjelma jadi penyaksi yang hidup dalam sajak-sajaknya. Mengurai kesepian itu agar tidak lagi mengoyak-oyak dirinya. Satu hal yang mengingatkan saya juga pada Chairil Anwar. Ia berusaha menghardik pada kesepian tersebut: Mampus kau!

Dan aroma kesunyian itu menerawang kembali dalam Aku Menulis:Ketika malam menarik senja/dengan kasar/ketika hujan tak sampai/ke sungai/ketika ikan-ikan yang menggelepar/ditinggalkan// Aku menulis dengan tangan/yang sakit./Orang-orang terus bicara,/seperti ada tikus dalam mulutnya/setiap malam, mereka mencuri/sebatang pohon dari tubuh anakku/setiap pagi, mereka membuat/komplotan-komplotan baru// Aku menulis dengan tangan/yang sakit. Langit kering dan kaki-kaki/jembatan mengelupak. Kota penuh bendera,/suara telepon genggam, dan anak-anak muda/yang menginjak-injak potret presiden//

Hanya satu yang agak mengganggu dalam kumpulan puisi ini, sajak Di Pintu Angin tercetak dua kali, pada halaman 17 dan 34. Dan keduanya sajak itu sama isi maupun tipografinya.

Terlepas dari itu, saya kira Ahda telah menyuguhkan suatu gaya puisi yang baru dalam khazanah kita. Perasan kata-kata dalam puisinya--dengan ingar-bingar imajinasi puitiknya--seperti menghidupkan kesadaran diri kita dari lubuk yang terdalam. Jauh ke palung dada. Terasa benar, begitu "sakit" ketika penyair ini menulis puisi, bahkan untuk satu buah puisi sekalipun.

*) Penyair, tinggal di Jakarta.

Sabtu, 06 Desember 2008

PUISI-PUISI MIMBAR LAWEN NEWAL

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Lawen Newal yang kiprah kepenyairannya juga dikenal dengan nama Junewal Muchtar adalah salah seorang penyair penting Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Meski begitu, kiprah kepenyairannya telah memantapkan dirinya, bahwa sosok Lawen Newal adalah penyair yang di kawasan Riau, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, mempunyai tempat tersendiri yang kokoh—kuat. Dua karya sebelumnya, Batu Api (1999) dan Perjalanan Darah ke Kota (2003) memperlihatkan kegelisahannya dalam tarik-menarik masa lalu puak Melayu yang ditaburi puisi-puisi tradisional yang tiada henti terus mengalirkan tradisi, di satu sisi, dan perubahan sosial dalam arus perkembangan zaman pada sisi yang lain. Jadi, semangatnya kulturalnya adalah: satu kaki berada dalam ibu budaya yang melahirkan dan membesarkannya, dan satu kaki lainnya gamang menginjak Indonesia yang dalam pandangannya, mencemaskan.

Dalam serangkaian pembacaan puisinya, Lawen kerap tampil menderapkan spontanitas, kecepatan berpikir, dan improvisasi, sebagaimana yang menjadi semangat dasar berpantun, dan mabuk ekspresif sebagai representasi segala rasa dalam memandang situasi sosial di sekitarnya. Mungkin ia bermaksud memberontak, mencemooh, menyampaikan kritik sosial, mencoba memberi penyadaran atau mengungkap kecintaan. Segalanya dapat menghambur begitu saja, dengan atau tanpa kendali. Dan puisi bagi Lawen adalah ekspresi kreatif yang boleh memainkan improvisasi ketika itu dianggap menjadi tuntutan situasi.

Cara pengucapan Lawen Newal tentu saja tidak sendirian. Masih ada deretan panjang nama yang juga mempunyai kegelisahan yang sama, pengucapan yang sama atau obsesi yang sama. Tetapi, dalam sejumlah kesamaan tematik, pengucapan dan ekspresi itu, selalu ada kekhasan, unikum yang menciptakan keberbedaan. Di situlah posisi kepenyairan Lawen Newal ikut mewarnai lanskap peta perjalanan puisi Indonesia yang dalam kenyataannya memang tidak dapat menghindar dari kultur ibu, kecamuk kegelisahan batin, dan pemaknaan atas situasi sosial zamannya. Lawen dengan kesadaran kepenyairannya, sangat memahami jalan bergelombang yang menjadi pilihannya.

Dalam kumpulan puisi Topeng Makyong –Batu Api Dua— (Pustaka Panggung Melayu, 2008), pengucapan Lawen tampak lebih reflektif, simbolik—sebagaimana yang dapat kita tangkap pada dua antologi sebelumnya—metaforis, meski dalam beberapa puisinya, cara membungkus kesadaran keindonesiaannya kerap mencelat begitu saja dan menyebar dalam sejumlah pengucapan yang menggugah emosi. Permainan makna dalam balutan metafora, cukup cantik tidak sekadar sebagai ekspresi kegelisahan batin an sich, melainkan juga sebagai pantulan kesadaran diri pada alam yang sesungguhnya cermin bagi kehidupan manusia; pada negeri yang kian tak bersahabat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Lawen coba memaknai dengan latar kultur ibu yang berada di belakangnya dan segala harapan yang berada di depannya. Maka, segala benda yang diakrabinya, seperti laut—gelombang—perahu, kerap menjadi latar material yang berfungsi mendukung tema yang hendak disampaikannya. Di situlah eksotisme kultur etnik memperoleh pencerahan ketika ia digunakan sebagai upaya memaknai dan menerjemahkan situasi sosial perkembangan zaman.

Periksalah puisinya yang bertajuk “Topeng Makyong.” Meski kritiknya atas situasi kehidupan kenegaraan dan kebangsaan ini jelas dialamatkan ke mana, posisi topeng makyong dalam teks itu memaksa kita menelusuri makna topeng dalam tari makyong, sebuah tradisi berkesenian dalam kebudayaan Melayu yang makin terpinggirkan. Lawen memang mengungkap kegelisahannya pada situasi sosial zaman ini, tetapi sekaligus membawa misi kulturalnya ketika tradisi kesenian makyong dalam kebudayaan Melayu, tidak lagi mendapat apresiasi masyarakat. Dan topeng, sebagai properti penting dalam kesenian itu ditempatkan sebagai salah satu ikonnya.

Periksa juga puisinya yang berjudul “Dialog Ikan dan Para Pemancing” yang mengawali buku kumpulan puisi ini. Bukankah itu merupakan sebuah isyarat yang mewartakan dua makhluk dengan dua kepentingan? Para pemancing yang bertindak sebagai pemburu, dan ikan sebagai simbolisasi makhluk tak berdaya yang kerap dijerat tipu daya, iming-iming, janji palsu, dan omong kosong. Sebuah paradoks yang menggambarkan kuasa para penguasa—penipu dan keteraniayaan makhluk (baca: rakyat) tak berdaya. Bukankah kehidupan kemasyarakatan kita dewasa ini laksana paradoks pemancing dan ikan. Umpan pemancing adalah jerat yang membawa ikan pada kematian. Maka ketika ikan-ikan itu terbang dibawa camar, dan barangkali juga pergi menghadap tuhannya, kesadaran aku liris adalah mengembalikan kehidupan pada habibatnya; pada sunatullah, pada hukum alam yang jujur dan tak menipu. Lawen coba memberi penyadaran, betapa busuk kehidupan yang ditaburi tipu-daya dan kemufaikan.

Puisi “Rig dari Natuna” –yang mengingatkan saya pada puisi Rendra, “Rick dari Corona” jelas mewartakan kedukaan tentang kekayaan alam yang dikuras, sementara masyarakat di sekeliling tidak mendapatkan apa pun dari tanahnya sendiri, padahal tanah itu adalah warisan leluhurnya yang tetap menunjukkan jejak nenek moyang. Itulah model suara penyair (Melayu) yang kerap digemakan. Lawel bagai hendak merepresentasikan gugatan itu. Ia tak mengungkap suasana hati atau suasana peristiwa. Ia mewartakan sebuah narasi kepedihan. Gaya pengucapan ini akan mengundang efek puitik yang menggugah dan penuh pesona manakala ia disampaikan secara teaterikal dengan vokal yang menyihir. Lawen agaknya sangat menyadari kualitasnya sebagai penyair dan pembaca puisi yang piawai. Maka, sejumlah puisinya yang lain, tampak dikemas dengan kesadaran itu. Lihat juga puisinya yang berjudul “Orang-Orang Perahu,” “Perih,” atau “Orang-Orang Terbuang” dan sejumlah besar puisinya yang lain.

Dalam konteks itu, saya melihat, Lawen makin matang dalam memainkan peran kepenyairannya yang menempatkan bahasa dan pengucapan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dan secara keseluruhan, puisi-puisi dalam antologi ini adalah pengucapan kegelisahan penyair yang tidak dapat meninggallupakan tradisi kelisanannya, dan sekaligus menyadari bahwa bahasa adalah sarananya. Di sini pula keunikan—kekhasan puisi-puisi Lawen memperlihatkan eksotismenya; bagaimana ia memadukan kelisanan dan keberaksaraan dalam wujud puisi. Maka, napas yang mendominasi semangat puisi-puisi Lawen berkenaan dengan ibu budaya yang melahirkannya, bukanlah pada mantera atau pada hikayat, melainkan pada pantun dan gurindam. Pada pantun kita melihat spontanitasnya, dan bukan pada bentuk sampiran dan isinya; dan pada gurindam ada kandungan tentang fatwanya yang coba memberi penyadaran.

Lalu di mana pula kelisanan itu dilesapkan Lawen? Justru di situlah kekuatan puisi-puisi Lawen memancarkan pesonanya. Simak saja secara sembarang salah satu puisinya dalam antologi ini. Maka, puisi-puisi itu akan menjadi puisi yang enak dibaca—enak didengar. Bukanlah puisi-puisi seperti ini merupakan kekhasan puisi tradisional yang sengaja dibangun untuk dibacakan di depan publik. Itulah model kelisanan yang dalam tradisi kesusastraan Melayu dalam menciptakan komunikasi antara pembaca—pendengar; aktor—audiens.

Meskipun demikian, tentu saja pilihan itu bukan tanpa risiko. Lalu di manakah Lawen–lewat puisi-puisinya itu—hendak menciptakan jalinan komunikasi dengan pembacanya? Jelas, Lawen coba menghindar permainannya dalam pemikiran filosofis yang menjadikan puisi sebagai sebuah perenungan yang asyik-masyuk sendiri, Puisi-puisi Lawen bukanlah untuk dinikmati sendiri di dalam kamar tertutup (close reading). Puisi-puisi Lawen adalah puisi mimbar yang akan memancarkan efeknya yang mempesona ketika ia berhadapan dengan publik pendengar. Simak saja puisinya yang bertajuk “Hidung tak Mancung”. Meski ia membungkus sebuah simbolisme –hidung mancung—dan topeng makyong, sasarannya jelas menegaskan perlawanannya pada kemunafikan. Topeng makyong adalah penutup wajah yang di sana, pemain akan menjalanklan karakternya sesuai dengan fisiologi topeng itu.
***

Begitulah puisi-puisi mimbar Lawen Newal tidak sekadar mewartakan serangkaian kegelisahan penyair tentang puak dan tanah moyangnya, melainkan juga pengucapan puitik yang berada dalam tarik-menarik kelisanan dan keberaksaraan. Puisi-puisi Taufiq Ismail, Rendra, atau Hamid Jabbar berada dalam semangat yang sama dengan yang dimanifestasikan Lawen Newal. Dengan demikian, puisi disadari sebagai alat ucap yang bakal menghamburkan efeknya yang dahsyat manakala penyairnya berada di tengah publik. Itulah puisi mimbar, meski ia juga tetap tak meninggalkan sarana puitikanya sebagai karya seni yang juga mengusung keindahan puitik.

Bukankah di dalam puisi-puisi mimbar itu, kita juga masih menjumpai begitu banyak metafora, simbolisme, dan derap kesamaan bunyi yang sadar atau tidak, dapat merangsang emosi pendengarnya. Jadi, meskipun puisi-puisi Lawen berada dalam tarik-menarik kelisanan dan keberaksaraan, berada dalam jalin-kelindan tradisi puisi yang diwariskan oleh ibu budaya dan perubahan sosial zamanya, ia tidak tergelincir pada bentuk pernyataan yang artifisial. Lawen sama sekali tidak hendak mengumbar propaganda tentang kisah-kisah pedih puak Melayu dan tanah moyangnya. Ia berkisah tentang kepedihan dalam peristiwa yang menimpa masyarakat di sekitarnya, luka moyangnya, dan kecemasan pada elan kebangsaannya dalam serangkaian puisi yang tetap menyimpan daya pukau. Dan daya pukau itu akan menjelma pesona jika ia berada dalam suara pembaca puisi yang piawai.

Menikmati puisi-puisi dalam antologi ini, sungguh saya merasa berada di atas pentas yang tangkas. Dan Lawen Newal punya kualitas itu.

Lawen Newal telah melakukan pilihan atas jalur yang hendak ditempuhnya. Kekuatan itu niscaya akan menjadi monumen, jika ia punya banyak kesempatan memamerkan kualitasnya itu.
Tahniah, syabas, selamat!

Bojonggede, 27 Mei 2008

Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan

Arif Bagus Prasetyo
http://majalah.tempointeraktif.com/

Sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan dan kejuangan. Salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.

SEMANGAT kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, memang seakan melekat pada citra Chairil Anwar (1922-1949). Chairil aktif berpuisi pada zaman revolusi, sebuah kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Puisi-puisi awalnya ditulis pada masa pendudukan Jepang dan karya-karya terakhirnya diguratkan pada pengujung dasawarsa 1940-an.

Kepenyairan Chairil bersinar ketika Indonesia masih ”bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ’aku’” (Buat Gadis Rasid) sehingga masih harus berjuang keras mempertahankan diri dari berbagai kekuatan eksternal dan internal yang ingin menghapus eksistensinya. Chairil semasa hidupnya konon bergaul dengan para tokoh elite pejuang-pendiri negara-bangsa Indonesia, seperti Bung Karno dan Bung Sjahrir.

Kritikus H.B. Jassin (almarhum) menobatkan Chairil sebagai ”Pelopor Angkatan 45”, sebuah periodisasi sastra(wan) Indonesia yang dinamai dengan angka keramat tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandangkan spirit perjuangan dan kejuangan bangsa.

Itulah kiranya sebagian faktor yang membuat Chairil cenderung dinilai sebagai sosok penyair yang, lebih daripada penyair Indonesia lainnya di sepanjang sejarah, paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Banyak sudah pakar sastra Indonesia yang menyepakati bahwa nasionalisme/patriotrisme adalah bagian penting dari riwayat Chairil sang Penyair.

Sekadar contoh, dalam esai ”Chairil Anwar Kita” (Aku Ini Binatang Jalang, 1986) yang menutup buku koleksi lengkap puisi Chairil, Profesor Sapardi Djoko Damono menulis: ”Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan…. Bahkan sebenarnya... salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.”

Mendiang Dami N. Toda tegas menyatakan: ”Sehubungan dengan kelibatan sosial yang bermakna patriotisme, Chairil Anwar sepenuhnya menginsafi getar denyut dan tuntutan bangsanya. Seluruh perjuangan estetik dengan seluruh peralatan analis rasional yang tajam diabdikan kepada bangsa.” Karya Chairil Aku, Merdeka, Diponegoro, Cerita buat Dien Tamaela, Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Catetan Tahun 1946, dan Perjurit Jaga Malam, dalam pandangan Dami, ”Adalah jelas sajak-sajak patriotik.”

Pandangan khalayak awam tak berbeda dengan itu. Sampai sekarang, panggung perayaan Hari Kemerdekaan RI di kampung-kampung hampir tak pernah luput menampilkan ”sajak-sajak patriotik” Chairil yang populer, seperti Aku dan Krawang-Bekasi. Bahkan kemungkinan besar, dalam ingatan masyarakat di Indonesia, hanya ada Chairil ”sang penyair solider” yang berteriak, ”Bagimu negeri… maju. Serbu. Serang. Terjang” (Diponegoro). Barangkali tak pernah terlintas dalam benak orang ramai bahwa ada Chairil ”sang penyair soliter”, dengan puisi yang mendesahkan kesadaran humanis tragis: ”Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing” (Pemberian Tahu).

Tapi apa pendapat Chairil sendiri tentang ”sajak-sajak patriotik” yang diciptakannya? Dalam sebuah kartu pos tertanggal 10 Maret 1944 yang dikirimkan kepada Jassin, Chairil menulis: ”Begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti Diponegoro tidak lagi,” (Aku Ini Binatang Jalang, 1986). Faktanya, ”sajak-sajak patriotik”, yang tentunya dekat, bahkan lekat, dengan semangat kolektivisme, hanya mengisi sebagian kecil dari khazanah puisi Chairil. Sebagian besar puisi Chairil justru, meminjam ungkapan Sapardi, ”mencerminkan sikap individualistis”. Dan memang, analisis puisi Chairil yang dilakukan para sarjana sastra banyak yang menggarisbawahi ”ideologi” individualisme sang penyair.

Chairil lebih banyak berpuisi tentang problem eksistensial yang dihadapi dengan heroik dan tragis oleh seorang individual sejati. Sang Aku dengan perih-megap-meriang banyak bertutur tentang hubungan asmara yang jalang dan/atau getir, kesepian, kehampaan hidup, pencarian religius, maut, dan pergolakan batin lainnya yang bersifat personal.

Tentu saja ”keakuan” Chairil dalam puisi tidak mutlak harus dibaca sebagai ”sikap individualistis” pribadi, tapi bisa juga dimaknai sebagai pernyataan eksistensial dari bangsa yang baru merdeka dan ingin mandiri, sebuah ”bangsa muda menjadi” yang ”baru bisa bilang ’aku’”. Dami, misalnya, memasukkan puisi Aku dalam kelompok ”sajak-sajak patriotik”.

Sebaliknya, Sapardi mengatakan bahwa puisi yang sama mencerminkan sikap individualistis Chairil: ”Boleh dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis.” Barangkali Dami membaca aku-lirik puisi Aku sebagai personifikasi bangsa Indonesia, suatu pars pro toto dari ”kami bangsa Indonesia”, sedangkan Sapardi membacanya sebagai manifesto ego-pribadi. Kedua tafsir sama-sama boleh jadi.

Namun, pembaca yang peka tentu sulit menghilangkan kesan bahwa ”aku” dalam kebanyakan puisi Chairil cenderung muram, terkesan menjauh dari gelora semangat kolektif sebuah bangsa di tengah suasana revolusi. Kesan ini bahkan membayangi puisi dengan judul bergelora, Merdeka, yang oleh Dami juga digolongkan dalam ”sajak-sajak patriotik”. Setelah pada bait awal mengumandangkan kobar hasrat aku-lirik untuk ”bebas dari segala” dan ”merdeka”, puisi dikunci dengan bait bernada sendu-pilu-kelu: ”Ah! Jiwa yang menggapai-gapai, Mengapa kalau beranjak dari sini, Kucoba dalam mati.”

Sebagian di antara ”sajak-sajak patriotik” Chairil versi Dami ditulis pada tahun-tahun sesudah sang penyair menulis kartu pos yang menyatakan berhenti ”menulis sajak keperwiraan”: Catetan Tahun 1946 (1946), Cerita buat Dien Tamaela (1946), Persetujuan dengan Bung Karno (1948), Perjurit Jaga Malam (1948). Jika betul puisi-puisi tersebut adalah ”sajak-sajak patriotik”, berarti ”keadaan jiwa” Chairil telah berubah dari kondisi dua tahun sebelumnya, sehingga ia memutuskan untuk kembali menulis ”sajak keperwiraan”.

Tapi ada kemungkinan lain: puisi-puisi tersebut bukan ditulis dengan maksud melayani patriotisme, melainkan untuk menunjukkan betapa susahnya sang penyair mempertahankan subyektivitas individualnya di tengah suasana revolusi yang menihilkan eksistensi pribadi, menyeret dan mengubah individu jadi massa, sekadar sekrup dalam sebuah mesin kolektif revolusioner raksasa bernama ”bangsa Indonesia”.

Ambil contoh Persetujuan dengan Bung Karno, puisi bernada patriotik-nasionalistis yang dicap Sapardi sebagai ”sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang”. Dalam puisi itu cukup jelas tergambarkan transformasi ”aku” menjadi massa yang tersihir retorika Bung Karno yang terkenal mampu membius khalayak itu: setelah ”sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu”, ”aku sekarang api aku sekarang laut”.

Dengan mengoperasikan tafsir alternatif semacam ini, puisi-puisi ”individualistis” Chairil pun dapat dibaca sebagai strategi intelektualisme defensif, ketika sang penyair membina suatu kehidupan introspeksi batin di seberang aktivitas revolusioner yang melimpah-ruah. Karena gelora revolusi mengancam subyektivitas individualnya, Chairil menulis puisi sebagai suatu mekanisme pertahanan diri, yang secara spiritual melindunginya dari ancaman ”lenyap” terseret arus massa revolusioner.

Pada titik inilah, khazanah puisi Chairil kiranya dapat memberi pelajaran yang berharga bagi kita di sebuah era ketika otonomi kesadaran pribadi kian mudah terancam oleh gilasan mesin kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, budaya, agama) yang berbahan bakar massa, seperti era kita sekarang.

*) Kritikus Sastra

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi