Ratih Kumala
http://cetak.kompas.com/
Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya. Ketika itu jarum jam menggenapkan pukul tiga pagi. Anak perempuanku menangis berteriak memanggil-manggil nama papahnya, gema suaranya menyayat ke sudut-sudut koridor rumah sakit. Aku menangis tertahan. Sedang anak laki-lakiku menjadi bisu dan dingin.
Entah siapa yang mewartakan, tahu-tahu perempuan itu muncul di depan kamar rumah sakit ini. Wajahnya menghitam karena duka. Ia hendak masuk ke kamar ini, mendekati mayat suamiku. Tapi aku tak membiarkannya.
”Tolong…, hormati keluarga kami yang sedang berduka,” desisku. Ia menghentikan langkah, menatapku sebentar, lantas berbalik dan berlalu. Mungkin sambil menangis.
Kami segera mengurus segala hal untuk kremasi. Rumah duka kami booking. Rangkaian bunga duka cita dari kolega-kolega suamiku mulai berdatangan. Hari ini, mayatnya dirias, sebelum diistirahatkan. Tujuh belas tahun! Tujuh belas tahun! Perempuan itu mencuri tujuh belas tahun dari tiga puluh empat tahun pernikahan kami. Aku mengumpat sambil memilih jas terbaik untuk suamiku. Aku selalu tahu, suamiku suka mencicipi banyak perempuan. Seperti kesukaannya mencicip makanan di banyak restauran (kami tak punya restauran favorit keluarga, acara makan malam di luar rumah selalu berpindah lokasi). Aku tahu, dan diam-diam aku tak keberatan, dengan syarat; perempuan-perempuan itu tetap sebagai ’makanan’ dan bukan sebagai ’anjing’. Ya, sebab jika sudah menjadi ’anjing’, berarti dia dipelihara. Kadang jika ketahuan baru ’jajan’, aku akan marah-marah. Tapi toh, diam-diam aku tak keberatan, selama jajanan tak dibawa ke rumah. Aku punya alasan sendiri untuk ini. Ia biasa beralasan tugas di luar kota, atau pulang pagi karena lembur, dan sampai di kamar ini, tanpa melepaskan kemejanya ia langsung tidur mendekap guling mirip udang. Tapi ia tetap milikku, pulang ke padaku. Hingga si jalang itu datang ke kehidupan kami. Penyanyi kafe jazz bersuara berat, berusia pertengahan dua puluh, berkulit agak gelap, dan (tentu saja) lebih langsing dariku. Aku mengobrak-abrik lemari, mencari sebuah dasi sebagai pelengkap pakaian suamiku. Ada banyak dasi, tapi yang kumaksud belum juga ketemu. Dasi yang kubelikan di Singapura.
Suamiku sejak kecil berlatih saksofon. Ada masa ia ingin menjadi seorang musisi, tetapi orangtuanya tak setuju. Ia mengubur impiannya. Menahan saksofon untuk sekadar hobi. Kupandangi kotak saksofon yang ditinggal empunyanya. Kubuka, warnanya masih mengkilat. Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, suamiku sempat membersihkan saksofon ini. Kini ia teronggok bisu di dalam kotak. Jazz adalah musik sejati suamiku. Aku pun penyuka musik, tapi sungguh… sampai ajal suamiku, aku tetap tak bisa menikmati jazz. Aku lebih suka pop dengan nada-nada slow. Musik-musik orang kebanyakan. Musik yang bisa dinikmati semua orang. Musik yang tidak eksklusif. Perhatianku teralih ke lemari lagi, masih mencari dasi yang kumaksud. Mungkin, awalnya perempuan itu hanya ’makanan’, tapi ia makanan yang diramu oleh chef yang andal, jadilah suamiku ketagihan. Lama kelamaan, ’makanan’ itu menjelma jadi ’anjing’ peliharaan. Entah kenapa, aku jadi malah membongkar seisi lemari, bahkan lemari bagian pakaianku pun isinya sudah bertebaran di lantai kamar kami.
Ranjang di kamarku serasa hangat, seperti tuntas ditiduri sosok manusia malam itu. Malam ketika Bim meninggal dunia. Dari pukul sembilan aku berusaha memejamkan mata, tapi tak bisa. Sudah satu minggu Bim masuk rumah sakit, dan aku (tentu saja) tak bisa menengoknya. Siapalah aku, orang luar perusuh rumah tangga orang. Meski aku cinta setinggi langit sedalam lautan, itu tak mengubah apa pun. Apalagi statusku.
Tujuh belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku. Saat malam-malam aku masih menyanyi di sebuah kafe jazz. Dia datang bersama sekelompok teman. Salah satu dari mereka diperkenalkan sebagai istrinya, yang naga-naganya tak terlalu menikmati musik jazz. Tapi Bim kulihat sangat menghayati lagu-lagu yang kami suguhkan. Lalu, ketika ben kami istirahat sejenak, dan panggung kosong, Bim tiba-tiba maju. Dengan percaya diri ia mengeluarkan saksofon milik pribadi dan meminta ijin untuk memainkannya. Smoke Gets in Your Eyes mengalun. Aku yang tadinya hendak mengistirahatkan suara, jadi tertarik untuk bernyanyi dengan iringan tiupan saksofon Bim. Aku langsung menyambar mikrofon. Pengunjung kafe bersorak dengan penampilan kami.
Bim mulai jadi pengunjung setia kafe jazz. Awalnya, masih bergerombol dengan teman-temannya (kadang pula dengan istri). Lama kelamaan, teman yang ikut makin sedikit, dan akhirnya, ia lebih sering datang sendiri. Setelah ketujuh kalinya datang solo, ia menunggu hingga kafe tutup jam dua pagi. Lantas menawariku untuk diantar pulang. Ketika itu, aku sudah sangat tahu bahwa ia kerap datang hanya untuk melihatku. Kami tak langsung pulang, ia menawariku makan tengah malam. Satu-satunya tempat makan yang masih buka jam segitu, yang nyaman untuk ngobrol, adalah restauran di hotel berbintang. Kami berbincang tentang musik. Dari situ aku tahu, ia adalah pengagum Louis Armstrong. Betapa selera kami sama, dan itu adalah pemantik. Sebab hari itu berakhir dengan check-in.
”Istrimu…, apa dia tidak mencarimu?”
”Dia tahu, aku sering kerja sampai pagi.”
Jam lima pagi, kami check-out. Ia mengantarku pulang ke kos. Aku melanjutkan tidur dalam damai. Seks yang hebat, pikirku, habis ini ia tak akan pernah muncul lagi karena yang diinginkan sudah ia dapat. Tak pernah terpikir, bahwa malam itu hanya awal dari tujuh belas tahun hubungan kami berikutnya. Hingga ia diambil Tuhan.
Aku terbiasa tidur dengan ranjang yang dingin. Ia pulang ke tempat istrinya, dan hanya datang kalau sedang alasan tugas ke luar kota. Atau mampir ketika waktu makan siang. Tak sekadar untuk sex after lunch, lebih dari itu… ia bahkan datang hanya untuk makan masakanku. Ya, kami kucing-kucingan macam ini. Tapi malam itu, malam ketika ia diambil Tuhan, ranjangku hangat. Aku bisa mencium odornya di bantal, di selimut, di guling. Ia selalu tidur mirip keluwing, dengan guling didekap erat. Bahkan aku bisa merasakan aroma sisa percintaan kami. Kupandangi parfumnya di meja riasku, dan selembar celana pendeknya yang tergantung di pintu. Sedikit barang yang sengaja ditinggalkannya di sini. Aku tahu ia di rumah sakit mana, meski aku tak pernah mengunjunginya. Aku harus menemuinya! Harus!
Aku tak pernah menyangka bahwa suamiku akan mati terlebih dahulu. Gagal ginjal sudah lama mengancamku di sudut jalan dengan belatinya. Aku selalu bersiap ia menggorok leherku, dan mencongkel nyawaku. Bertahun-tahun aku harus menjalani cuci darah. Bertahun-tahun pula aku mencari donor ginjal. Meski kedua anakku menawarkan satu ginjal mereka untukku, aku tak mau menerimanya. Lebih baik aku cuci darah seumur hidup, ketimbang menerima ginjal itu. Sebab itu berarti aku merampas masa depan mereka. Tak sia-sia, aku menemukan ginjal di India. Malah suamiku yang tiba-tiba anfal. Maut memang suka bergurau dengan hidup. Inilah kenapa, aku diam-diam tak keberatan suamiku ’jajan’.
Rumah duka mulai penuh. Aku tak berhasil menemukan dasi yang kumaksud. Ia terlihat tampan dengan setelan jas Armani miliknya. Ah, harusnya kuminta ia dipakaikan kaos panjang model turtle neck saja. Dipadu dengan jas ini, tentu keren dan lebih terlihat muda. Kenapa pula aku harus memilih kemeja, kalau dasi yang kumaksud tak ketemu.
Perempuan itu, si jalang itu… aku tahu, ketika lama aku dirawat di rumah sakit, atau berobat ke luar negeri, pasti suamiku pergi ke rumahnya. Pembantuku yang lapor. Katanya, ”selama Nyonya pergi, Tuan juga tidak pulang.” Anak-anak lebih menjaga perasaanku, tak mau mengadukan perihal macam ini. Hal yang menyebabkan aku sedih
Aku tahu, suamiku masih sayang padaku. Cinta mungkin sudah tidak. Tapi sayang, masih. Dia terlihat sedih ketika lama aku sakit. Kadang membawakan makanan yang kusuka. Aku tak memakannya, karena dokter melarangku. Toh, aku cukup senang dengan perhatiannya. Maka ketika pembantuku lapor demikian, meski marah (dan sejatinya aku tak punya kekuatan untuk marah), diam-diam aku bersyukur; ada orang lain yang mengurus suamiku, melayaninya dengan baik. Bahkan bisa diajaknya perempuan itu bertukar pikiran tentang jazz yang tak pernah kupahami. Kupikir, masakkah perempuan itu cuma mau mengeruk harta suamiku? Sebab jika ya, tak mungkin usia hubungan mereka sampai belasan tahun.
Sehari setelah suamiku meninggal, aku baru bisa memahami air mataku. Bahwa ia mengalir untuk ’bapak dari anak-anakku’ yang kini jadi yatim (meski semua telah dewasa dan mandiri), dan bukan mengalir untuk ’suamiku’. Senyatanya aku tak merasa sekehilangan itu. Sebab meski aku memilikinya, aku tak pernah benar-benar bisa menggenggamnya. Lihat saja daftar perempuannya. Mungkin juga aku bukan istri yang baik, jika ya, tentu ia tak akan ’jajan’ di luar. Bahkan diam-diam memelihara ’anjing’.
Aku pernah menemui perempuan itu. Meminta dia untuk tak mengganggu rumah tangga kami. Untuk sejenak, memang suamiku kelihatan lebih banyak di rumah. Sehabis ngantor, langsung pulang. Tapi itu tak bertahan lama. Meski aku tak melihat dengan mata kepala sendiri, tapi aku tahu makin dekat. Malah kemudian, aku juga tahu suamiku diam-diam membelikannya rumah dan mobil. Ketika aku mencoba mencarinya di kafe jazz, hendak melabrak dengan murka, mereka bilang dia sudah tak bekerja di situ lagi.
Aku tak berhasil menemui kekasihku malam itu, malam ketika Bim dipanggil Tuhan. Aku pulang dengan hati kosong, menangis di ranjang kosong yang sudah berubah dingin. Kupeluk guling Bim, mencari sisa aroma tubuhnya di situ. Ah…, Bim… apa kau tak tahu, aku lebih kehilangan dirimu ketimbang istrimu itu? Kau milikku yang tak pernah benar-benar kugenggam. Sial kau! Gara-gara kau, aku melewati usia pernikahanku! Gara-gara kau juga, aku menahan diri untuk tidak hamil. Aku tak mau memberimu masalah, sebab kau bilang, jika aku hamil berarti itu masalah. Gara-gara kau, aku sekarang kesepian. Sial kau, Bim! Terkutuklah kau di neraka jahanam sana!
Aku pernah menuntut Bim untuk memilih, antara aku dan istrinya. Ia selalu bilang, tak akan menceraikan istrinya, sebab agamanya melarang. Mengajarinya untuk menikah satu kali, dan hanya sekali. Tak boleh bercerai. Aku pun tak mau dijadikan istri kedua, meski agamaku memperbolehkan poligami.
”Kan bisa pembatalan pernikahan!” protesku.
”Prosesnya tak gampang. Tahunan.” Alasannya. Biarpun tahunan, akan kutunggu kau! Toh Bim tak pernah mengajukan pembatalan pernikahan. Menurutku, bukan agama yang menjadi alasannya. Ia masih cinta. Ya, ia masih cinta perempuan itu. Ini terlihat jelas ketika istrinya sakit keras. Kata Bim, seminggu dua kali istrinya musti cuci darah. Aku sempat mengangankan, sebentar lagi kami akan jadi suami-istri. Sebentar lagi perempuan itu game over. Tapi aku keliru.
Meski ketika perempuan itu berobat ke luar negeri Bim tinggal di tempatku, toh ia tak berhenti membicarakan istrinya. Kenangan mereka, awal-awal pernikahan mereka dan bagaimana mereka berjuang bersama dari nol (yang tak pernah kualami), serta ketakutan karena istrinya sekarat. Aku cemburu. Sangat cemburu. Terlebih ketika tema musik jazz tak lagi menarik baginya. Lalu suatu hari, ketika telah dua minggu Bim tinggal di rumahku selama istrinya berobat, dan aku mulai merasa ia milikku sepenuhnya, tanpa harus pulang ke rumah sana, Bim menerima telepon. Ia girang bukan kepalang, dengan semangat ia bilang padaku, ”ginjalnya dapat! Ginjalnya dapat!” lalu diciumnya pipiku, saking gembiranya. Diam-diam aku menyumpah, aku marah pada Tuhan. Kenapa Ia mempermainkan perasaanku. Impian-impianku, rasa nyaman adanya Bim di rumahku, tercerabut kasar. Aku sadar lagi; Bim belum jadi milikku, dan memang tak pernah jadi milikku.
Obituari Bim muncul di koran pagi ini, memberitahuku ia disemayamkan di rumah duka mana. Dia masih kekasihku, meski sudah tak bernyawa. Dan aku merasa, meski tak satu hal mampu mengubah keadaan apa pun—apalagi statusku—aku tetap mencintai Bim. Setinggi langit sedalam lautan. Aku akan menyetir pelan-pelan, sambil mengisi penuh tangki keberanianku. Aku harus menemui Bim, memberinya penghormatan terakhir sebelum dia dibakar jadi abu.
Ia datang lagi, perempuan jalang itu. Pasti ia baca obituari di koran. Ini resikonya. Ia jadi tahu. Beberapa orang memandangi kedatangannya, beberapa berbisik-bisik. Tentu mereka tahu siapa perempuan itu dan bagaimana statusnya. Ia mendekatiku. Apa ia tak sadar, aku bisa jadi harimau yang tiba-tiba menerkam anjing buduk.
”Maaf, ini dasi kesayangan Bim. Mungkin dia mau memakainya.”
”….” Kupandangi dasi yang dilipat rapi itu. Dasi yang dua hari terakhir ini kucari-cari. Tak terpikir bahwa suamiku akan menyimpan di rumahnya. Tentu ada barang lainnya di sana. Barang-barang pribadi suamiku yang tiba-tiba hilang. Aku mengerti sekarang, rumah perempuan itu, bagi suamiku adalah rumahnya juga. Atau mungkin aku sudah tahu, tapi coba mengelak. Kuterima dasi itu.
”Bolehkan saya…,”
”Silakan.” Potongku.
”Terima kasih.”
Entah kenapa, aku seraya lega. Meski kulihat perempuan itu mencium suamiku. Suamiku yang semakin tampan dengan dasi ini.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 25 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar