Sabtu, 29 November 2008

DD

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

Orang kelahiran Pasuruan itu selalu mengingatkan saya apa arti sebuah tanah air. Ia Ernest François Eugene Douwes Dekker. Ia mengingatkan apa arti Indonesia bagi saya.

Sekitar akhir Juli 1913 ia disekap di sebuah penjara di Jakarta Pusat. Waktu itu umurnya 33 tahun. Pemerintah kolonial menuduhnya telah ”membangkitkan rasa benci dan penghinaan terhadap pemerintah Belanda dan Hindia Belanda”. Tuduhan itu tak benar; tapi ia memang tak menyukai kekuasaan itu, yang, seperti dikatakannya kepada para hakim kolonial, bertakhta ”di negeri kami ini, di bumi orang-orang yang tak menikmati kebebasan”.

Dari sebuah berita acara yang bertanggal 11 Agustus kita tahu apa yang ia perbuat sebenarnya. Partai politik yang didirikannya, ”Indische Partij”, tak diakui sebagai badan hukum. Tapi Douwes Dekker terus menulis dalam surat kabar De Expres dan lain-lain sejumlah artikel yang oleh Residen Betawi, yang menginterogasinya hari itu, dianggap ”melanjutkan membuat propaganda” tentang cita-cita partai itu.

Tapi dapatkah itu dielakkan? Dalam sebuah memori pembelaan Douwes Dekker menjawab: ”Adakah kemungkinan saya tak lagi berbuat propaganda? Apakah hati seseorang ibarat jas luar yang dapat sesuka hati dipakai atau disimpan…? Tidakkah seseorang akan merupakan propaganda bagi dirinya sendiri selama ia hidup?”

”Saya tak dapat berbuat lain…. Kecuali saya dalam sebuah toko barang loakan dapat memperoleh watak yang sudah usang, semangat yang telah luntur, dan kedok yang kelihatannya tak mengerikan.”

Kalimat itu menggugah, meskipun bukan bagian sebuah prosa yang gemilang. Douwes Dekker ini bukan Douwes Dekker yang lebih termasyhur, yang terbilang masih kakeknya: penulis Max Havelaar yang memakai nama samaran Multatuli. Douwes Dekker dari Pasuruan ini bahkan agak enggan dikaitkan dengan sang kakek.

Dalam biografi yang ditulis Paul W. Van der Veur, The Lion and the Gadfly (KITLV Press, 2006)—sebuah buku yang layak dibaca orang Indonesia—dapat kita temukan rasa enggannya. ”Mengapa saya dibandingkan dengan Multatuli?” Ia merasa itu tak adil. Eduard Douwes Dekker, sang Multatuli, ”seorang sastrawan cemerlang”. Sedangkan dia, Ernest François Eugene, ”cuma seorang jurnalis rata-rata”.

Lagi pula, katanya pula, ”Multatuli seorang Belanda….”

Jika Multatuli ”orang Belanda”, orang apakah Ernest, yang oleh Van der Veur disebut ”DD”? Yang jelas, ia Indo. Ia lahir pada 8 Oktober 1879, anak ketiga dan putra kedua Auguste Henri Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Ibunya putri seorang Jerman yang kawin dengan seorang wanita Jawa.

Posisi seorang Indo cukup galau masa itu. Dalam ”negara taksonomi” (istilah Ann Laura Stoler, dalam telaahnya tentang kekuasaan dan klasifikasi sosial di Hindia Belanda) seorang Indo akhirnya tak diterima oleh mereka yang mengagungkan yang ”asli” dan ”murni”. Orang Indo, kata DD, adalah ”makhluk yang nestapa”.

Tapi justru sebab itu DD bisa berdiri memandang ”negara taksonomi” dengan hati kesal dan mata nyalang: ia tahu, taksonomi manusia adalah laku yang sewenang-wenang.

Maka ia bisa cepat merasakan ketidakadilan dengan tajam. Pada pertengahan 1898 ia selesai sekolah menengah dan bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren, di lereng selatan Gunung Semeru, Jawa Timur. Ia akrab dengan para buruh. Seorang kuli tua pernah mengatakan kepadanya, ”Tuan muda, tuan memperlakukan kami sebagai manusia.” Tapi majikannya menilai DD tak selamanya tahu bagaimana ”membuat batas”.

Ia pun berhenti bekerja. Ia pindah ke pabrik gula Padjarakan di dekat Probolinggo. Pada masa itu di Jawa selalu ada sengketa pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani di sekitarnya. Ketika DD menemukan bahwa Padjarakan merebut hak petani, ia menyatakan itu kepada atasannya. Ia diperingatkan. Dari sini ia juga berhenti.

Mungkin juga karena ibunya, yang amat dicintainya, wafat.

Dalam keadaan kehilangan, ia memutuskan meninggalkan Hindia Belanda: ia bergabung dalam sukarelawan untuk Perang Boer di Afrika Selatan, yang pecah pada awal abad ke-20 itu, ketika orang keturunan Belanda bertempur melawan ekspansi Inggris. Syahdan, Februari 1900, ia naik kapal S.S. Calédonien ke medan perang.

Pertalian dengan yang ”Belanda” tampaknya masih kuat dalam diri DD pada masa itu. Dalam perjalanan ke Afrika Selatan itu, DD berhenti di Bombay. Seperti dikutip dalam The Lion and the Gadfly, ia begitu bahagia bertemu dengan konsul Belanda, mendengar suara seseorang yang bicara dalam ”bahasa Belanda murni” di depan potret ”Ratu Belanda yang tercinta”.

Tapi dalam perang itu DD tertangkap pasukan Inggris. Ia dibuang ke Sri Lanka. Pada 1903, ia kembali ke Jawa—tapi dengan sikap yang makin berjarak, dan akhirnya sengit, menyaksikan keserakahan Belanda. Pada 1904 ia menulis: rakyat Jawa dirampok; pada 1908 ia menulis: api besar yang membakar desa-desa Aceh telah membuat terang ”kebangkrutan moral Kristiani” pemerintah kolonial.

Akhirnya kita tahu, DD bergerak. Rumahnya di Jakarta jadi tempat para mahasiswa STOVIA berkunjung—para pemuda yang di asrama mereka gemar menyanyikan lagu Revolusi Prancis: semangat untuk kemerdekaan, persamaan, persaudaraan. Ketika dua aktivis asal STOVIA, Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo, ditangkap pemerintah kolonial, DD menulis: kedua sahabatnya itu, dengan sikap perkasa yang tak bisa ”ditaklukkan di dalam penjara”, telah ”mempersatukan kita semua”.

Dari sanalah Indonesia lahir. Indonesia adalah sebuah sejarah kerja ke masa depan yang berharga bukan untuk diri sendiri—dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita. Indonesia adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang yang berbeda-beda, bagi orang yang berbeda-beda. Cipto dan Suwardi dibuang, dan DD menulis: ”Anak-anak berkulit cokelat dan putih… akan menaburkan bunga di atas jalan yang mereka berdua lalui.”

Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah

S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

“APAKAH kamu bosan hidup, anakku?” getar suara Biru Langit tahu kesedihan putranya. Dia datang tiba-tiba entah menerobos dari pintu sebelah mana.

“Tidak, Ibu. Bagiku justru sebaliknya, hidup musti bertaruh udara bersih dan air jernih. Emosi cuma tetenger kita tak bisa berpikir, dan itu berarti keblinger” Biru Langit mengumbar tegar.

“Saudaramukah yang kau maksudkan?” ibunya terpecik Biru Langit.

“Bu, telah kukatakan kebebasan itu musti memeras otak dan pikiranan, bukan emosi. Apa hendak dikata bila saudaraku tak menyerap isi ucapanku. Dari ucarannya ‘kalau begitu caramu aku kalah’ itu cukup bagiku merangkum simpul dia ingin menang sendiri. Mau unggul tanpa peduli bagaimana cara dan jalan mana. Dia tidak bicara soal kebenaran. Dia bicara tentang kepentingan sendiri. Berkali-kali ibu dengar saudaraku penganut antiintimidasi, tapi di sisi lain justru telah dia kukuhkan cara,” Biru Langit kian pedih.

Dia terpaksa mengeryitkan dahi karena ini masalah terpelik yang dihadapi—menyoal warisan saat ibundanya masih segar bugar. Kenyataan, bayangan, fakta dan ilusi saling menumbuk

“Lantas bagaimana karep-mu?”
“Kuakui aku miskin, tidak berduit, Ibu. Sisa-sia duit terpenting keluargaku sudah raib. Tapi janganlah lalu ibu menzalimi aku, mengaturku tanpa sudi kehendakku. Terus enteng saja menuntut aku untuk pasrah, nurut. Aku tidak rela. Maaf jika aku tersinggung—sesuatu yang tak boleh, tetapi masih saja ada karena Tuhan melengkapi manusia itu makhluk berhati, berjiwa dengan rasa itu, juga kecewa,” Biru Langit bulat berpegang sesuatu yang diperjuangkan.

“Ya. Tapi ibu yang punya mau kamu cepat terima warisan.”
“Justru karena perintah ibu—orang yang lebih tua, lebih lama hidup di zaman ini, zaman pagi tempe sore dele. Mustinya ibu sampaikan sesuatu yang benar. Ibunda sudah betul, tapi harusnya memahamiku, pendapatku juga sebuah kebenaran.”
“Apa maksud kamu, Biru Langit?” ibundanya mulai tak tahan gempuran emosi.

“Ibunda memaksakan kehendak padaku. Di satu sisi ibu membuka jalan bagi orang susah seperti aku, tapi di sisi lain ibu mengatur aku dengan membagi sisa warisan agar aku melunasi hutang-hutangku. Hutangku, juga terhadap saudara adalah sepenuhnya tanggungjawabku. Biar ibu cukup tahu itu. Aku harus bayar dengan tanganku sendiri, dengan uang dari manapun itu aku dapatkan, termasuk biarpun dari warisan ibu.”

Mendengar ini ibunda tak bisa berkata jelas. Kalimatnya patah-patah. Matanya merah. Lalu meleleh—sesuatu yang sebenarnya bukan keahlian dia.

“Ibu kasihan padamu, Biru Langit. Karena itu ibu carikan jalan keluar, duit ini untukmu.”
“Itulah kesalahan ibu. Bohong semata demi belas kasih. Lalu tanpa seizinku ibu memotong uang itu untuk membayar hutangku pada saudara. Ini tidak adil, tidak benar dan tidak fair.”

“Maksudmu?”
“Ada yang memanfaatkan kesusahanku. Aku susah. Tapi mencoreng mukaku tentu tak kurelakan.”

Cepat ibunda masuk kamar. Pertahanannya jebol. Tak sempat dia mendengar gemuruh dada putranya yang memecah karena menyemburkan api di mukanya. Di kamar isaknya mengiris-iris tabiat ibunda, seolah sebilah sembilu mletik dan ujungnya menusuk-nusuk tanpa ampun. Tabiat ibunda diserbunya dan memampatkan arus jalan nafas dari lubang hidungnya. Isak tangis ibunda benar-benar terserak.

Suasana diam. Saling menyumbat untuk mendebat. Terlihat lubang hidung Biru Langit kembang kempis nyaris pula nangis hanyut oleh sesengguk ibundanya. “Kalau begitu baiklah. Aku terima permintaan ibunda. Aku pasrah berapapun jumlahnya,” ucap Biru Langit tunjukkan kebesaran jiwanya.

“Ikhlas?” ujar saudara perempuan yang hendak mengganti uang Biru Langit. “Begini, saran ibu. Kamu masih terima duit satu setengah juta dari sisa keseluruhan warisan peninggalan ibu. Duit itu aku bayar lantaran aku yang menguangkan harta peninggalan ibu pada saudara-saudaramu. Tapi setelah dihitung, kamu punya hutang tujuhratus ribu pada saudara laki-laki sebagaimana permintaan ibu. Kamu harus bayar lunas. Mengerti?”
“Itu artinya karena aku sudah tak percaya lagi padamu,” sergah saudara laki-laki.
“Oh, jadi itu masalahnya. Ada yang tak percaya. Baiklah.”
Uang diterima Biru Langit Rp. 800.000,-

“Sisanya?”
“Diamlah. Itu sudah urusanku,” tegas saudara perempuan. “Yang penting kamu sudah tak punya hutang.”
“Tidak bisa. Ini soal kepercayaan. Aku juga bisa tak lagi percaya pada saudara.”
Biru Langit giliran menyerang saudara laki-laki. “Kapan kamu butuh duit?”

“Sekarang,” jawabnya.
“Kalau begitu aku bayar. Ini soal kepercayaan. Tujuh ratus ribu. Lunas.”
Biru Langit menyodorkan sejumlah itu dari uang Rp. 800.000,- yang diserahkan saudara perempuan. Ibu sudah bisa menguasai diri. Tidak jelas perwajahannya. Dia hanya memandang Biru Langit lebih lama.

“Jadi kamu cuma seratus ribu?”
“Ini sudah seperti maksudku. Dari tanganku sendiri.”
Ibunda Biru Langit heran. Barangkali terpukul tindakan dan caraku. Sesuatu yang semula dikiranya sepele ternyata rumit, berbelit, berputar dan hasilnya itu-itu juga. Jumlahnya itu-itu saja.

“Kini sudah clear, biarpun saat ini aku cuma kebagian seratus ribu rupiah, begitu bukan?”
“Ya, clear.”
“Tapi dengan kamu belum,” Biru Langit khusus bicara pada saudara perempuannya. “Kamu musti bayar aku sisanya, tujuhratus ribu itu.”

Esoknya, sebelum meninggalkan rumah, pulang ke kontrakannya, Biru Langit meninggalkan nomor rekening Zahra—istrinya. Dia tekan tombol telepon dan berpesan agar saudara perempuannya hari itu segera mentransfer uangnya. Persis jumlahnya Rp. 700.000,-. Tentu saja hitungan itu tidak persis betul. Biru Langit harus potong biaya transfer, ongkos telepon.

“Tak mengapa. Ini harga diri. Bukan seharga pulsa telepon atau karcis bis.”
Satu-satunya yang di benaknya adalah Zahra dan putranya.
“Zahra, kuberikan uang ini padamu, jangan kau minta senyuman yang penuh misteri,” gumam Biru Langit.
***

MENGINGAT istrinya—Zahra, perasaan iba sungguh terbit di benak Biru Langit menyalip kemampuannya sebagai suami. Biru Langit memang gampang iba pada siapa saja, perempuan, anak-anak, orang tua, anak yatim, orang miskin, penderita, orang kaya yang miskin jiwa, atau orang berjiwa besar yang kerdil nasibnya. Tetapi iba pada Zahra kali ini sontak membuyarkan segala isi perasaannya. Hilang sirna semua rasa, naluri, indera bahkan pikirannya, hanya lantaran cerita sepele perihal Zahra belaka.

Mula-mula oleh karena keinginan Zahra untuk pergi ke sebuah WC umum. Waktu itu malam hari. Dia hendak buang hajat, sepulang kerja lemburnya, Zahra minta Biru Langit mengantar hingga pintu WC. Sambil meremasi perutnya yang nyaris ambrol saja seluruh isi ususnya. Biru Langit pun membalap langkahnya, sebab justru Zahra terbukti dalam keadaan demikian tak lebih cepat dari merangkak. Kakinya tersendat-sendat.

Perangainya ditarik-tarik melukiskan perut melilit. Jarak pintu rumah kontrakannya dengan WC umum kurang lebih 20 meter dan harus melintasi pojok gang jorok biasa ditongkrongi anak-anak muda kampung yang pangangguran. Seperti malam itu juga, di pojok gang itu kasak-kusuk, bicara kasar mereka, derum raungan sepeda motor membuat Zahra mengurungkan niatnya untuk buang hajat. “Nggak jadi!!” katanya. Lantas ia balik kucing dan menyisakan keheranan dan tanya Biru Langit. Keheranan dan tanya yang tak pernah terjawab sampai keduanya bertengkar tanpa sebab, kecuali oleh perkara yang amat pribadi—buang hajad di WC umum itu tadi.

Biru Langit hanya menduga-duga. Bagaimana bisa Zahra cepat mengurungkan niatnya, seolah ada yang menyumbat lubang pintu keluarnya hajat hanya karena anak-anak muda yang kurang kerjaan itu? Padahal ada Biru Langit, suaminya yang siap berjaga di pintu WC dengan beberapa ember air telah dibawanya.

Lain waktu, Zahra mohon Biru Langit mendampinginya pergi menemui salah seorang kliennya, yang belum pernah sama sekali ia kunjungi. Karena itu Zahra butuh bantuan suaminya menemukan alamat yang sudah ia catat dalam buku hariannya. Sebagai suami, Biru Langit tak keberatan biarpun berkendara umum. Naik bis, naik mikrolet, becak, jalan kaki. Suatu peristiwa tak diduga terjadi.

Sepanjang perjalanan di angkatan, keduanya sama sekali tak saling bicara. Berujung Biru Langit kehilangan Zahra. Atau lebih tepatnya Zahra kehilangan jejak suaminya. Ternyata Biru Langit berjalan terlampau cepat dan terlalu jauh dari Zahra. Ketika di kendaraan umum, Biru Langit menoleh, meraba serta mendengar sekelilingnya ternyata di situ sudah tak dijumpai Zahra. Sesampai di rumah, keduanya pun kembali bertengkar. Zahra menyumpahi Biru Langit bermacam-macam. Tangannya memukul dan kakinya menendang. Dia mulai berani menghajar Biru Langit. Benar-benar Zahra berani pada suaminya.

Pasangan Zahra dan Biru Langit menikah dua tahun sesudah rezim Soeharto tumbang—hanya selisih beberapa minggu semenjak kisah airmata di muka kasir supermarket.

Waktu itu ketika pacaran Zahra mengajaknya untuk berbelanja. Sebagai calon suami, biarpun harus pura-pura bergaya belanja di supermarket, di plasa-plasa, laki-laki Biru Langitlah yang harus bayar semua kebutuhan Zahra, mulai dari pasta gigi, pembalut wanita, kue, permen, rok mini hingga supermi. Apalagi Biru Langit memang sudah bekerja. Di depan kasir, Zahra mencermati selembar uang yang hendak dibayarkan Biru Langit. Selembar limapuluh ribuan edisi khusus bergambar Soeharto senyum. Uang itu masih gres dan bukan cuma Zahra yang terpikat tapi juga kasir itu tertarik pada keindahan desain uang kertas itu dan bermaksud memilikinya.

Pada uang kertas itu ada lubang transparan yang seolah-olah bukan terbuat dari kertas atau plastik tapi dari emas. Zahra tidak rela uang itu dibayarkan. Karena itu satu-satunya yang tersisa, maka dibayarkan juga oleh Biru Langit biarpun ia bersedih hati dan membiarkan kekasihnya itu menangisi kertas Soeharto senyum itu. Zahra baru berhenti sesenggukan sesudah dikatakan Biru Langit padanya, “Sudahlah, aku masih menyimpan dua lembar lagi di rumah.” Zahra bisa menghapus airmatanya sekalipun agak ragu lantaran takut Biru Langit berbohong padanya. Begitu turun dari tangga Zahra sudah sudi menggandeng tangan kekasihnya dan bahkan menggamit pinggang calon suaminya itu.

Pernikahan antar keduanya memang dibilang tak terlalu rumit. Pacaran tak terlalu lama karena keduanya sama-sama menganggap sebagai sesuatu yang kurang penting. “Yang penting adalah cinta dan kesetiaann,” demikian ikrarnya beberapa hari menjelang pernikahan. Di pinggiran kota kecil Lamongan selatan, di kampung calon mertuanya itu, yang namanya pernikahan itu pihak laki-laki dituntut banyak keluarkan uang dalam jumlah besar untuk meminang si perempuan sebagai maskawin. Ini beberapa kali dilihat sendiri oleh Biru Langit ada dua truk yang berbaris saat ada pinangan. Kedua truk itu penuh hasil panenan dengan seekor kerbau jantan dewasa untuk calon istrinya. Memang ada pula yang cukup dengan perhiasan emas berpuluh-puluh gram. Ada juga yang sekadar maskawin berupa seperangkat alat sholat dan kita suci Al-Quran. Bahkan ada yang Cuma beberapa puluh ribu uang, itupun masih berutang. Zahra minta dinikahi cukup dengan meminta maskawin uang Rp.100.000,-. “Asalkan maskawin itu Mas bayar dengan dua lembar uang limapuluh ribuan edisi khusus bergambar Soeharto senyum yang kapan hari Mas janjikan,” pintanya.

Suatu syarat yang sama sekali tidak berat, karena dua lembar uang yang dimaksudkan itu memang masih tersimpan rapat-rapat oleh Biru Langit. Keduanya menikah sederhana. Serba sederhana. Foto-foto tidak ada, pesta juga tidak. Cuma yang istimewa soal Soeharto senyum itu tadi, biarpun tak dihadiri oleh yang terhormat beliau yang bersangkutan. Namun namanya pernikahan tetap saja disaksikan banyak orang. Seperti tontonan. Biru Langit membaca ikrar akad nikah begitu keras dan mantap menyerupai deklamasi sebuah puisi. Bedanya tidak ada tepuk tangan.

Benih pertengkaran sesungguhnya sudah dirasa Biru Langit semenjak dua peristiwa. Kali pertama, Biru Langit telah dipesan orangtuanya bahwa perempuan bertubuh pendek, seperti Zahra, apalagi yang punya weton ahad kliwon itu banyak bicara dan cepat naik darah. Berikutnya ketika malam pertama, demikian bahagianya Zahra lupa menyimpan ‘Senyum Soeharto’ itu di tempat yang aman setelah sekian lama mengaguminya. Sementara Biru Langit juga lupa menyiapkan tissue sebelum sanggama. Sampai akhirnya entah bagaimana kejadiannya uang kertas itu tersembur ceceran sperma tepat di bagian yang paling misterius—senyumnya. Itulah kali pertama dalam keluarga terjadi amarah dan perang di hari yang justru seharusnya penuh berkah.

Usai tumbangnya rezim Soeharto, uang kertas yang ramah itu jadi barang antik yang diburu banyak orang kaya, yang barangkali sudah dapat diduga sebelumnya oleh Zahra. Tapi tidak oleh Biru Langit. Saat keluarga itu kesulitan uang, seorang kolektor hendak menawar selembar senyum edisi khusus itu seharga Rp. 5.000.000,- sebelum akhirnya menaikkan senilai Rp. 6.000.000,-. Zahra menolak. “Ditawar berapapun tak bakal aku terima!” Lalu di pun menyimpannya lebih rapat di tempat yang tak seorang pun mengetahuinya, bahkan oleh Biru Langit, suaminya. “Apalagi yang ini nomor serinya berurutan. Tak seorang pun yang berhak selain aku,” tukas Zahra makin membuat ngiler Biru Langit akan jutaan uang itu.

Biru Langit membenarkan perkataan Zahra karena menurut ajaran agama, seorang suami jelas tak berhak untuk mempengaruhi apalagi bernafsu memiliki kembali maskawin yang telah diberikan pada istrinya, jika tak mau dicap laki-laki pendosa. “Aku tidak tahu sepenuhnya isi hati Zahra. Kalau aku sih, apalagi dalam kondisi serba kekurangan dan kesulitan uang, dapat menduga. Satu-satunya yang meragukan isi hatiku hanyalah dosa itu tadi. Ya, kalau bicara dosa, semua manusia pasti berdosa. Biarpun seorang presiden yang tersenyum dan gambarnya dipasang di lembaran uang itu, juga berdosa. Bahkan apakah tidak mungkin, dia lebih berdosa lagi karena itu, sebab telah beribu-ribu bahkan berjuta-juta rakyat dibuatnya berdosa lantaran uang yang ada gambar dirinya itu? Eh!!” pikirnya.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat keluarga itu sama-sama kehilangan keseimbangan. Keduanya, Zahra dan Biru Langit telah kehilangan pekerjaan. Fatalnya, malapetaka itu justru datang pada waktu Zahra sudah punya adik alias anak. Hingga tidak ada alasan (dan rasanya jikapun ada tak perlu diceritakan di sini) untuk terus menyimpan dua lembar senyum penuh misteri itu. Biru Langit pun sudah lupa bagaimana dan bagian mana saat Zahra bisa melupakan uang itu untuk kepentingan menyambung hidup. Yang dia ingat adalah saat Zahra berdoa, agar senyum di lembar kertas itu tetap apa adanya supaya laku dijual untuk kebutuhannya. Syukurlah masih ada senyum biarpun semisteri apapun. Tidak dalam rupa-rupa berjuta-juta, uang itu masih harus dipotong Rp. 2.000,- untuk ongkos jasa tukar. Nilai kotornya tinggal Rp. 88.000,- Nilai bersihnya habis untuk keperluan asap dapur. Sejenak dapat menarik nafas lega, tapi ini bukan akhir dari kesulitan, tapi awal dari kehancuran keluarga. Kehancuran yang memilukan.
***

“…SEBENARNYA aku malas untuk menulis ini, tapi aku harus melakukannya agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Aku ingin kau tahu, meski mungkin beberapa bagian sudah sering kau dengar. Hingga saat ini, aku masih tidak bisa berpikir apa-apa tentang pernikahan kita selanjutnya. Beberapa hari sudah kita mencoba untuk tak bertemu. Ini kita lakukan mungkin dengan demikian keadaan menjadi lebih baik. Aku tidak yakin.

Sebab dalam kesendirianku, di saat malam menjelang tidur atau saat aku tiba-tiba terbangun, aku tidak bisa menahan tangisku. Ada rasa sakit di dadaku setiapkali mengingat perlakuanmu. Aku tidak pernah menyangka kau tega berbuat seperti itu. Kau dengan mudah melempar kesalahan kepadaku. Aku menyesal baru mengetahuinya justru di saat kita punya adik. Setiap kali aku ingat, setiap kali itu pula hatiku mengatakan, TIDAK BISA! Aku tidak bisa hidup bersamamu lagi. Seharusnya kau tahu setelah kita menikah, kau satu-satunya orang yang menjadi tempatku bersandar. Tapi sekarang setiap kali kau di dekatku, aku merasakan sakit yang teramat sangat.

Dulu aku mencintaimu karena kau orang baik. Jika saat ini kebaikan itu tak kudapati lagi, apakah kau harus bertahan? Kau sering bilang kau sangat menyayangi aku (juga adik) tapi apa bukti dari perkataanmu? Jika kau sudah merasa melakukan yang terbaik untuk keluarga, mengapa keadaannya seperti ini? Jika kau menjadi pemimpin keluarga yang baik, mengapa kau tidak bisa mengatasi semua masalah ini? Aku hanya ingin jagan kau sia-siakan apa yang kau miliki. Anak dan istri adalah harta tak ternilai yang kau miliki. Seharusnya kau mencintai dan menyayanginya. Jika sampai terlepas tidak mudah bagimu untuk meraihnya lagi. Zahra.”

Sehabis membacanya, Biru Langit melipat kembali surat terakhir yang diterimanya dari Zahra itu. Dia tak lagi menaruhnya di bawah tikar pandan. Dimasukkannya di lipatan buku tebal terindah yang semula terbuka dan menampakkan gambar-gambar warna-warninya yang memikat. Sesuatu yang sungguh aneh pelan-pelan merasuki jiwanya. Diam-diam ia iba pada Zahra, sesuatu yang selama ini lama hilang dari perasaannya pada orang lain. Dia bicara sendiri dalam hatinya. Bahwa dia masih mencintai Zahra, biarpun hal itu dia harus tunjukkan dengan perasaan iba.

“Betapa Zahra kini sedang ketakutan untuk hidup,” piker Biru Langit.

Kini kesendirian Biru Langit begitu menyiksa. Cermin besar yang terpasang dekat pintu, membuat Biru Langit berikut nasib buruknya, hidupnya, menjadi ganda. Bila melewati sisi pintu atau sedang memikirkan sesuatu, tubuh Biru Langit menjadi dua.

Selanjutnya beranak-pinak dan di rumah kontrakan itu penuh sesak oleh tubuhnya. Berjubel sampai sedikit saja dia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Persis di tempat umum—sesuatu yang amat ditakuti Zahra. Jadilah Biru Langit terpaku dan pikirannya mengembara berloncatan seperti melompat dari satu kepala ke kepala lainnya yang sungguh serasa seperti hantu itu kehadirannya. Hanya karena sepotong kaca kemarahan menjadi tersumbat. Sebab bukankah apa yang diarasakan, bicarakan, teriakkan, pikirkan tentang kekecewaan, dendam, kegelisahannya tentang dirinya sendiri belaka?

Tidak ada bayangan apapun tentang kehidupan di situ. Aquarium tua di sebelahnya diam di situ dan tiada ikan-ikan di dalamnya. Kertas-kertas bekas dan plastik, botol dan gelas malah disumpalkan di mulut aquarium. Tidak ada binatang pagi itu. Pintu terkunci menjadikan kucing tak bisa mengetuk apalagi permisi. Lalat terbang di luar. Nyamuk sembunyi dan hanya sisa-sisa bangkainya yang belepotan darah kering di atas karpet plastik dan tikar pandan sewaktu terbunuh dalam serangan Biru Langit semalam.

Buku-buku menumpuk mati dan sebagian lagi di sebelahnya runtuh dan murung. Kesunyian. Sepi. Sendiri. Susah dan kosong. Satu-satunya kawan yang senantiasa hadir di saat-saat seperti ini adalah ibunda. Dia datang tepat waktu dan tak pernah mengetuk pintu.

“Kamu bosan untuk hidup, anakku?”
“Aku hanya ingin tidur, Ibunda. Dan banyak bermimpi,” keluh Biru Langit.
“Tidak, anakku. Kamu tak perlu mimpi itu. Seperti orang-orang kaya itu juga tak butuh mimpi. Orang yang tak punya persoalan dengan duniawi akan sulit bermimpi karena hidup itu sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV. Tapi bukan karena itu kamu tak perlu mimpi, karena kamu bukan orang kaya. Bukankah sudah kuceritakan padamu semenjak kecil orang-orang seperti kita benar-benar tak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat?” jawab ibunda Biru Langit.

“Tapi aku betul-betul perlu tidur, Ibunda. Dan dalam tidurku mustahil tanpa mimpi. Di siang bolong sekalipun.”

“Ya, yang diperlukan orang miskin macam kita hanya tidur. Tidur yang sebenar-benarnya tidur. Berapapun lamanya. Semenit, sepuluh menit, satu jam, sepuluh jam? Tidur yang terbebas dari mimpi, igauan, pikiran, terror kebutuhan hidup, mati, dunia, akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Bahkan Tuhan. Dan memang sian dan malam bukan hal yang penting, sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan kita atau tidak, toh dia juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti kita yang tidak mempedulikannya. Apakah artinya matahari atau bulan bila kita tak benar-benar mempedulikannya? Bukankah kamu juga bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu kau ceritakan pada waktu bangun?” Ibunya mengajak bicara Biru Langit tanpa kenal waktu seperti menari-nari di angkasa.

“Yang menggelisahkan aku, Zahra takut pada malam, Ibunda. Lebih parah lagi bagiku siang dan malam sama-sama menakutkan.”

“Itulah kesalahanmu. Ibu tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda-tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati.

Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup tapi penuh ketakutan, atau untuk apa mati kalau menakutkan? Hidup itu hanya beda sedikit dengan mati, sebab rupanya hanya beda waktu, tempat dan alamat. Kesalahanmu berikutnya, kamu hanya diperkenalkan matahari pada siang dan malam. Itu perasaanmu. Dan tidak diperkenalkan pada kehidupan. Sesungguhnya, Tuhanlah yang memperkenalkanmu tidak saja pada ketakutan tapi juga keberanian dan celakanya di matamu Dia selalu datang pada malam hari.

Barangkali itu karena kamu lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya kamu sering jumpai Dia dengan rupa-rupa bentuknya.* Terkadang berseragam yang membunuh orang dengan senapan dan meriam. Kadang pula Dia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Dia rela menjadikan dirinya teroris dan membawa bom ke sana-kemari meledakkan hotel-hotel, night club, pub, masjid, gereja, tempat-tempat rekreasi para pencari hidup. Tapi kamu lupa Tuhan juga pernah hadir dengan ramah, berbaik hati dan penuh senyuman, berseragam putih bersih sembari mengucapkan ‘maafkan saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin’ kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Tidakkah kamu menyadari bahwa sesungguhnya di mata ibunda, anak itu adalah kamu yang sekarang menjadi hantu?”

Biru Langit tak bisa berkata-kata. Satu-satunya yang bisa dikerjakan adalah memegang kulitnya. Lalu menyungging senyum. Begitu membuka matanya, dia tak lagi menemukan bayangannya di cermin.[]

------------
Catatan:
*) Di sini sama sekali pengarang tidak bermaksud apalagi mempertegas diri sebagai penganut paham pantheisme. Islam sama sekali tidak mengenal ajaran itu, meskipun bukan berarti tidak memberi peluang di dalamnya sebagaimana tersebut dalam ayat Al-Quran yang tersohor, “Kau lebih dekat padanya dari pada urat nadinya sendiri.” Usaha pengarang hanyalah menunjukkan adanya tokoh-tokoh yang tidak mustahil menyakini lain dari ayat itu dan secara sadar atau tidak menyebarkan ajaran ke dalam tindakan nyata dalam kehidupan masyarakat. Buktinya, makin banyak manusia yang mengkorup kekuasaan Tuhan ke dalam tangannya yang bukan haknya. Diantaranya membunuh, menggunakan kekuasaannya untuk merusak tatanan kehidupan kosmos, perang, merusak lingkungan, mendatangkan bencana dan lain sebagainya.

BELAJAR MENULIS DARI EKA KURNIAWAN

Sutejo
Ponorogo Pos

Dalam gagas utama MataBaca, edisi September 2005 (hal. 10-11), salah satu penulis muda produktif dan banyak mengolah cerpen yang berangkat dari obsesi tertentu, rajin membuat catatan perjalanan atau penelitian sederhana. Pengarang ini adalah Eka Kurniawan. Di samping itu dia berpesan kepada kita begini (a) menulislah tentang hal apa saja yang kau ketahui dan (b) naskah yang ditolak dapat kita otak atik lagi, diedit lagi, kemudian dikirimkan ke media yang lain.

MEMANDANG OMBAK DALAM GELAS

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Minggu waktu duha. SMS seperti hujan. Aku baru saja menikmati gelombang ombak dalam gelas: sebuah tanggapan dari orang tak dikenal atas tulisanku di Media Indonesia Minggu. Ia cukup lihai cari popularitas dengan memanfaatkan ide pihak lain. Tak ada informasi baru di sana. Kulihat burung pipit lahap mengisap bunga benalu. Sebuah SMS masuk lagi: “Itu pseudo!” Mungkin, pikirku sambil mengingat sejumlah artikel Lekra awal tahun 1965-an.

Telepon berdering. Anakku berteriak, “Ayah, dari Payakumbuh!”
Aku bergegas. Menarik gagang telepon. O, Gus tf Sakai! Sastrawan Minang yang sangat santun ini menanyakan kiriman karya terbarunya, Tiga Cinta, Ibu; sebuah novel tipis yang di sana-sini tersembul semangat eksperimentasi. Rupanya, Sakai masih sangat setia pada kegelisahan kulturalnya, seperti juga tampak dari sejumlah cerpennya. Minang memang sarat problem. Dan ia memanfaatkan kekayaan kulturalnya lantaran ia bernafas dan hidup di situ. Aku memahami penolakannya untuk berselingkuh dengan kultur lain. Maka, mengertilah kini jika ia, dulu, tidak ikut tergoda gadis Jawa, keturunan Madura, yang mengganggunya di Cipayung. Sakai terlalu setia pada anak-istri beserta ninik-mamak dan tanah leluhurnya.

Boleh jadi itulah representasi orang Minang. Lihat saja Darman Moenir--Bako, Yusrizal—“Sang Pengeluh” yang cintanya pada tanah leluhur dilakukan lewat ‘otokritik’, seperti yang juga diperlihatkan Navis. Setidaknya, mereka tak dapat melepaskan diri dari kegelisahan kulturalnya. Kesetiaan mengusung sesuatu yang diketahuinya benar, penting artinya agar tempatnya sebagai sastrawan yang berpribadi tak tergoyahkan. Itu pula yang terjadi pada diri Wisran Hadi—Puti Bungsu atau Chairul Harun--Warisan. Minangkabau seperti tiada habisnya melahirkan sastrawan sejak awal kesusastraan negeri ini dibangun.

Dunia Minang itu kini seolah menyeretku untuk mengenang beberapa peristiwa di Riau: Pulau Penyengat, Pekanbaru, Rempang, Batam, Karimun, dan Dumai. Darah Raja Ali Haji yang meresap pada Idrus Tintin, BM Syam, Ediruslan, Taufik Ikram Jamil, Hoesnizar Hood, Syaukani Al Karim, Samson Rambah Pasir, dan sederet panjang nama lain, kubayangkan laksana lulur penebar semangat. Juga tidak lupa Sutardji Calzoum Bachri yang membuat monumen lewat mantra. Mereka, sastrawan Melayu itu, sadar betul pada tradisi. Mereka juga tidak dapat menyembunyikan luka sejarah. Dalam Sumpah Pemuda, bahasanya diikhlaskan menjadi bahasa Indonesia. Dan mereka selama bertahun-tahun sekadar menjadi penonton saat minyak diangkuti dan pulau belukar dibuat perumahan mewah orang-orang Jakarta. Salahkah jika kini mereka mengusung sejarah masa lalunya yang terluka, kekayaan kulturnya yang telah mengurat-daging, dan coba mentransformasikan kisah-kisah lama yang tercecer? “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang,” begitu teriak Hang Jebat.
***

Seekor kecoa melintas. Ia seperti mengeluarkan nazis. Ada cipratan tengik. Dan menempel di sebuah artikel yang baru saja kubaca.

***
Seperti biasa, Hudan Hidayat datang dengan sepenggal besi di tangan kanan dan provokasi di tangan kiri. “Itu tak adil, Kang,” ujarnya, “Masa menilai cerpen dengan kira-kira.” Dalam beberapa hal, aku setuju pernyataannya. Tulisan itu cukup banyak menebar syakwasangka: saya kira. Jangan-jangan penulisnya punya kelainan. Kukatakan juga, “Orang Sakit-mu telah berganti kelamin dan ngaku-ngaku jadi pengamat.” Hudan diam. Gerahamnya gemeletuk. Sastrawan asal Palembang ini terkadang memang agak meletup-letup: temperamental. Dan sungguh, semangatnya menyita pesona. Lebih mengagumkan lagi, ia piawai mengolah problem psikologis menjadi kekuatan karakterisasi tokoh-tokoh fiksinya. Itulah argumen yang melandasi pandanganku bahwa fiksionalisasi “Orang Sakit” potensial mengangkat problem psikologis dibandingkan kecenderungan sufistik “Khidir”. Tentu itu tidak berarti ada larangan untuk memasuki wilayah lain. Kegamangan “Orang Sakit” menunjukkan arus kuat peristiwa pikiran dan trauma psikis berjalin-kelindan dengan tindakan fisik. Sementara tafsirnya mengenai keangkuhan Musa dan kesucian Khidir, terkesan sekadar mencetak rangkaian peristiwa transformatif, dan bukan simbol-simbol sufistik sebagaimana yang dibangun para sastrawan sufi.

Apa maknanya bagi Hudan? Pendalaman peristiwa merupakan keniscayaan dan pengungkapan makna di balik peristiwa mesti menjadi sasaran tematisnya. Tanpa itu, ia akan terjebak pada peristiwa artifisial. Sekadar usul, gagasan ini bisa saja menjadi bahan renungannya atau bisa pula langsung masuk keranjang sampah. Mereka yang mengaku wakil rakyat di DPR saja menyediakan begitu banyak keranjang sampah, apa salahnya sastrawan kita melakukan hal yang sama. Tokh, Tuhan pun tak melarang orang bersaran.

Kami terlibat diskusi panjang tentang peta cerpen Indonesia dan keikutsertaan dalam Jurnal Cerpen yang dirintis Joni Ariadinata. Maka, tak terhindarkan, ada semacam daftar nama yang muncul di sana. Kukatakan, Joni Ariadinata mulai berani melebarkan sayapnya pada nafas sufistik. Periksa saja Air Kaldera-nya. Di sana, ada masjid yang kosong, penduduk pemuja demit, lelaki bergamis, kopral dan serdadu palsu, Jembatan Langit sampai Tuan Presiden. Ironinya kokoh; kadangkala sangat paradoksal. Joni masih menyimpan kekuatan dahsyat lantaran persahabatannya dengan dunia gaib. Oleh karena itu, meski dalam Air Kaldera, usahanya menyemaikan simbolisme –dalam hal tertentu-- masih terfokus pada peristiwa dan bukan makna di sebaliknya, ia tidak bakal kehabisan lahan jika ia tak menghentikan eksplorasinya pada kekayaan folklor sekelilingnya. Lihat saja, betapa Arifin C. Noer –sampai akhir hayatnya-- tiada henti menggali folklor.

Sehelai daun kering jatuh. Geraknya melayang ringan. Angin seperti menyangga untuk bertahan pada tamparan sinar matahari. Aku terpesona. Mendadak ingat Danarto yang menafsir Al-Fatihah, Ayat Kursi dan dua ayat Al-Imran jadi lempengan-lempengan cahaya. Sangat inspiratif, meski polanya menyerupai “Setangkai Melati di Sayap Jibril.” Cerita dibiarkan mengalir entah ke mana, tetapi di dalamnya menyeruak makna-makna. Dalam soal makna, “Rembulan di dasar Kolam” lebih simbolik. Terasa, konsep Ibu di sana lebih hidup dan berjiwa. Simbolisme semacam ini mengingatkan pada Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Tarik-menarik pengaruh antara Kakek—Aku—Ayah—membawa tokoh Aku memandang tokoh Ibu. Tokoh-tokohnya sangat simbolik dan merepresentasikan ideologi tertentu.
***

Makna! Inilah substansi sebuah cerita. Dapatkah kita menangkapnya pada karya-karya populer atau kisah-kisah telenovela selain obral hiburan dan iming-iming hadiah? Itulah tuntutan yang di dalam kerangka cultural studies dimasukkan dalam kotak high culture untuk membedakannya dengan popular culture. Mereka yang memilih masuk ke wilayah high culture dihadapkan pada sejumlah konsekuensi. Catatan kritis terhadapnya mesti disikapi secara arif, sebab itu merupakan salah satu bentuk apresiasi, bukan caci-maki. Apresiasi memancar dari sebuah prestasi yang mampu melahirkan nilai-makna. Tanpa itu, percumalah melakukan apresiasi, sebab bakal sia-sia menemukan nilai-makna.

Makna agaknya mustahil mengkristal tanpa proses. Itulah sebabnya kukatakan, eksplorasi kultur etnik merupakan peluang. Ia menjanjikan lahan yang sangat berlimpah. Oka Rusmini (Bali), Gus tf Sakai (Minang), Taufik Ikram Jamil (Melayu), Yanusa (Jawa) adalah beberapa contoh yang telah memanfaatkan kultur etniknya dengan sangat cerdas. Ingat juga Umar Kayam, Linus Suryadi, Darman Moenir, Korrie Layun Rampan, Zawawi Imron, Tohari, dan sederet nama lain yang berlimpah. Proses persenggamaannya dengan sosio-kultural yang mengelilingnya, telah berhasil disuguhkan dalam berbagai kisah yang penuh kristal makna. Memang itu pilihan. Tetapi, begitu memilih, di depannya terhampar konsekuensi. Jadi, jika konsekuensinya menggenggam kristal makna, wajar saja mereka memilih itu. Lalu, apa yang harus dipenjara jika memilih hakikatnya sebuah kebebasan.

Tengoklah Abidah El-Khalieqy. Dalam Menari di Atas Gunting, ia telah memilih narasi-imajinatif, dan bukan narasi atas peristiwa an sich. Maka yang muncul kemudian adalah sebuah pengembaraan imajinatif yang mengingatkan kita pada Javid Namah-Iqbal. Ia memang lebih leluasa mempermainkan ruang dan waktu. Tokoh-tokoh yang merepresentasikan ideologi tertentu bisa ditarik ke masa kini, masa lalu atau masa datang. Tentu saja itupun bukan tanpa risiko. Kita dibawa pada deretan nama yang beberapa di antaranya memaksa kita membuka catatan sejarah atau lembaran ensikopledi. Dalam hal itulah, tidak jarang, sentuh estetik (aesthetic contact) kita, menghadapi hingar; terganggu.

“Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Atau ini, atau itu. Dan memilih salah satu di antaranya adalah sebuah putusan bebas. Dan putusan itu hanya akan bermakna jika ia telah melakukan pilihan.” Begitulah sebagian gagasan Kierkegaard tentang kebebasan manusia untuk memilih. Abidah telah memilih jalurnya sendiri, sama dengan Agus Noor, Shoim Anwar, Kurnia, Ratna Indraswari Ibrahim, Herlino Soleman, atau siapa pun yang namanya sering kita jumpai di hari Minggu. Keberadaan mereka itu, justru tidak sekadar membentuk warna-warna pelangi, melainkan ruh keindonesiaan yang hakikatnya bersumber dari heterogenitas. Maka, tidak dapat lain, memetakan cerpen (atau kultur) Indonesia, hendaknya tak terjerat pada satu nama.

Masih ingatkah tragedi percintaan Fuyuko dan Husen dalam Gairah untuk Hidup dan untuk Mati-Nasyah Djamin? Itulah novel Indonesia pertama yang secara mendalam menghadapkan harakiri dalam persepsi kultur Jepang dengan bunuh diri menurut konsep Islam. Sebuah konflik kultural telah disajikan Djamin dengan sangat memikat. Maka, jika kini hadir Herlino Soleman mengangkat Koinobori, tidakkah itu merupakan sumbangan penting untuk melihat kultur dan masyarakat Indonesia dalam pandangan Jepang atau sebaliknya? Tidakkah ia menyentuh persoalan kultural: konsep keberanian dan keringat dilihat dari persepsi dua kultur yang berbeda? Sebuah sentuhan kultural yang terasa sedap. Lalu, mengapa pula ia mesti dilarang? Ingat saja ketika Sitor Situmorang merasa gamang dalam Salju di Paris atau Umar Kayam dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan? Tidakkah itu juga berkaitan dengan problem kultural?
***

Hudan Hidayat pergi ke entah. Pasti aku akan rindu pada provokasi dan sepotong besi yang setia menemaninya. Kapan pula Joni datang membawa kisah-kisah gaibnya. Atau Sakai dan Jamil yang tak bakal tergoda melakukan perselingkuhan kultural. Mereka suka sekali memberi banyak PR. Sungguh aku dijerat rindu. Hanya Jamal D. Rahman yang tahu, betapa persenyawaan kultural sering sangat menggelisahkan.

Minggu yang cerah. Seorang perempuan, masih agak muda, memasuki halaman rumahku. Tangannya menenteng sebuah map kertas yang lusuh-kucel. Sesudah melepas salam, ia menerangkan bahwa dirinya diutus oleh sebuah yayasan yatim-piatu untuk mencari dana pembangunan pondokan yayasan itu. Ia juga menyodorkan secarik kertas identitas yang tak jelas. Jangan-jangan itu juga nama samaran, pikirku. Buru-buru aku membuang prasangka buruk. Ah, jika saja anak-anak yatim itu bersekolah dan dididik dengan baik, sangat mungkin –jika benar—dari yayasan itu akan lahir sastrawan besar atau minimal penulis yang baik yang tentu saja tidak sekadar ngaku-ngaku penulis.

Istriku datang menimbrung. Keduanya terlibat pembicaraan entah apa. Kemudian ia masuk, membungkus sesuatu, meraup beberapa keping recehan, dan menyerahkannya kepada perempuan itu. Sambil merapikan rambutnya yang agak kusut, ia membungkuk, menyampaikan terima kasih dan salam. Aku berharap, semoga itu bukan penipuan.

Kembali aku sibuk dengan koran-koran. Ah, kemana pula koran yang tadi kubaca. Kutanya istriku. Ia tampak menyesal. Koran itu telah dipakainya membungkus nasi untuk perempuan tadi. Baru kali ini aku tidak merasa kehilangan sesuatu. “Sudahlah,” kataku sambil mengenang ombak dalam gelas.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok)

Puisi-Puisi Bambang Kempling

...Malam Terkesiap Buat Fana

sudah cukup kiranya
kau mendekam di selembar angin
burung malam terkesiap buat fana

cobalah kau untai kembali igaumu
tentang malam yang mangambang
di perempatan jalan
ia berpendar di kurung lingkar cahaya
lampu jalan.

5 Juni 2008



Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah

merekah di antara
daun-daun berdebu
ia menangkap bulir-bulir cahaya
dari secarik kabar
tentang rahasia untuk nama-nama
yang telah diagungkan

”kau dengar siulan itu?” katanya.

Angin lembut kemudian menjentik-njentik sukma

adakah kau telah menikmati
mimpi yang telah kau curi darinya?
:mimpinya tentang jalan berayun
buat kereta pada taburnya
mimpinya tentang helai-helai warna
yang terbang saat hening

ia merambat sampai setapak jalan berbatu.

13 Juni 2008



Bertandang Kepada Angin

senja,
bertandang kepada angin
riak menepi dan singgah sebentar
melukis debur ombak

di atas hamparan pasir kelabu
jejak-jejak mengabur dalam surut
bagaikan langkah yang terhempas
menuai rintik rintih langit pualam
kepadanya,
lalu kau titipkan kabar buat laut
bahwa antara tanganmu dan derai ombak
pernah saling berebut
membelai rumah pasir itu
rumah pasir yang usai kau bangun
di bawah kerdip simpuhan mimpi

begitu petang
sunyi menangkup hari
akar-akar bakau berjuntai
menjemput azan

”hei!
ada yang berjingkat dari balik cangkang
tak bertuan,” bisikmu.
:sesosok hampa
dalam debar sunyi
menyusuri jejak memanjang
di sepanjang pantai.

Jenu-Tuban, Agustus 2008



CATATAN HARI INI

siapa yang fasih melafalkan gerimis
ketika sorban berkelebat di lidah malam?
kepakan sayap burung gagak
menyimpan kepedihan malam
sepanjang zaman

jejak bayangan bermukim
pada serpihan-serpihan
luka langit gelap
bisu di tanah sejengkal

sempat kau titipkan senyum pada diam
: ia terbenam dalam pilu sejarah

Lamongan, 2008



Gerimis Mengendap…
: hl

gerimis mengendap
bersama sisa tawa di secangkir kopi
dan kita tak kan pernah meninggalkannya begitu saja

hampir tengah malam
cahaya bulan
melukis jalan yang kau susuri menuju pulang
sungai dan pematang meremang
berkisah tentang selintas jalan

: angin malam menitipkan sesapuan jalan abadi
buat aku dan kau

November 2008

Jumat, 28 November 2008

Sastra Perlawanan

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Sejarah sastra, entah Tanah Air atau pun Barat, tidak dapat berdiri jauh dari rangka sejarah umum, terutama sejarah kekuasaan. Di Jawa, konon karya sastra terlahir dari para pujangga keraton dan pujangga liar, yang keduanya berkubang dalam tema pemerintahan para raja. Pujangga keraton dengan pengagungannya terhadap raja. Misalnya Serat Centini atau Serat Kalatida. Pujangga liar dengan karya yang mengkritisi pelaksanaan pemerintahan raja. Misalnya Serat Darmogandul karya Kalamwadi (penulis yakin ini bukan nama sebenarnya, kalam berarti ”berita” dan wadi berarti ”rahasia”).

Atas fakta sejarah itulah, kiranya berbagai tulisan mencari singgungan yang pas antara sastra dan kekuasaan. Penulis beranggapan, tulisan-tulisan tersebut dicipta bukan sebagai kebenaran paten. Artinya, telah dibuka undangan untuk bertukar pikir dan argumentasi tentang sastra, dengan pijakan karya sastra tentunya.

Tradisi karya sastra punya keterkaitan dengan tradisi kekuasaan, itu tidak dapat disanggah. Karya sastra berkualitas banyak yang menyinggung persoalan politik, juga bukan tesis yang kosong kebenaran. Hanya saja, ada beberapa kebenaran lain yang masih perlu diperdebat-tanyakan. Apakah tema perlawanan menentukan kualitas karya sastra? Apakah makna perlawanan dalam kerangka estetika karya sastra?

Perlawanan dalam Tema
Pada sebuah ingar bingar demonstrasi, seorang mahasiswa membacakan puisi ciptaannya sendiri. Sebuah puisi tentang; penghujatan pada pemerintahan yang menyengsarakan rakyat, pejabat yang korup, politikus yang tidak lebih buruk dari kadal, tuntutan untuk perubahan, dan dirinya yang tersiksa.

Tetapi, kiranya sang mahasiswa terlalu gegabah dalam kaidah-kaidah puisi, atau mungkin tidak paham sejarah puisi. Metafor tidak tajam, ilustrasi nyaris nol, imajinasi tidak terbangun, dan yang lebih parah ”puisi mahasiswa itu tidak menggoda untuk berpikir”. Yang tersisa, kata-kata penuh seruan dan hujatan.

Beberapa waktu lalu, telah terbit terjemahan novel Milan Kundera, Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Tema perlawanan tumpah ruah di sini, dan berhasil.

Kisah perilaku politik Ceko diangkat, dipertautkan dengan otobiografi Kundera. Tiap bab novel ada di-gandholi dengan kisah-kisah cinta (baca: sensualitas dan seksualitas). Tentang cinta tokoh Mirek pada Zdena dan terpenggal sebab perbedaan sikap politik, tentang Tamina yang digelibati kenangan terhadap suaminya yang mati dalam pelarian, tentang mahasiswa yang uring-uringan sebab berenang lebih lambat dibanding gadisnya, atau tentang penyair Lermontov yang menjadi sinis dan uring-uringan sebab tidak kebagian bokong. Jadilah novel tersebut sebagai jalinan sejarah Ceko, otobiografi, dan seksualitas.

Pembaca seakan diajak tamasya dalam macam-macam pusaran konflik. Pusaran dunia lebar, yaitu pemerintahan. Pusaran dunia diri, yaitu traumatik dan seksualitas. Pusaran otobiografi, yaitu kisah petualangan hidup Milan Kundera.

Ketiga pusaran tersebut menjadi menarik karena ilustrasi-ilustrasi yang disajikan bersifat subjektif, sublim, dan cerdas. Misalnya, politik Ceko cukup diwakilkan kisah tentang topi ketua partai politik. Atau diskomunikasi seksualitas yang digambarkan melalui persetubuhan Hugo dengan Tamina. Saat terjadi persetubuhan, Hugo sangat giat menusuk-nusuk tubuh pasrah Tamina, sedangkan Tamina giat mengumpulkan kenangannya pada sang suami di antara basah kuyup keringat Hugo. Atau kisah Milan Kundera yang dicekal menulis di media massa. Alternatif yang diambil, ia menulis dengan nama samaran, itupun tidak pada kolom politik tapi pada kolom perbintangan. Dasar tulisan orang kritis, analisis perbintangan pun menjadi bermuatan politis, dan mengundang kecurigaan partai, naga-naganya ia pun dapat dikenali oleh para pejabat partai.

Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang terkenal Bumi Manusia juga tidak melulu berkutat dalam perilaku politik. Ada kisah cinta yang intens dan terpenggal antara Annelis dengan Minke. Sebuah cinta tragik, menggoda, dan melankoli. Penulis curiga, justru lantaran kisah cinta inilah yang membuat novel Bumi Manusia menjadi manis dan sukses.

Tetapi, kiranya banyak novel berhasil yang bertema perlawanan seakan jauh dari peristiwa politik. Misalnya novel Gustav Fleubert yang berjudul Madame Bovary. Novel ini hanya berkisah tentang kehidupan Nonya Bovary (tentu saja dengan sedikit bumbu perilaku seksualitas) tetapi dari kisah itu dapat mengungkap (baca: kritik) bagi kelanjutan demokrasi Prancis yang ternayata mulai tampak terobsesi dengan kehidupan orang Inggris. Padahal, Inggris sangat kental dengan kehidupan yang bernuansa aristokratik.

Di dalam puisi, tema perlawanan semakin menjauh dari material perlawanan. Puisi Chairil Anwar yang dianggap menandai sikap bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan tidak lebih dari berbagai kisah cinta seorang laki-laki dengan perempuan. Misalnya puisi dengan larik-larik: aku ingin bebas merdeka, juga dari Ida; bila mau kuterima kau kembali, untukku sendiri, sedang kepada cermin aku enggan berbagi; kau kawin beranak dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros, disumpah kutuki eros.

Politik dalam karya sastra, merujuk karya-karya di atas, dapat dibuktikan, tidak mesti dibentuk oleh kegiatan-kegiatan seputar pemerintahan. Realitas-realitas kecil, misalnya perbincangan dua orang galau, dalam kapasitas tertentu adalah tindakan politik. Sebuah perlawanan terhadap tradisi. Misalnya, dialog-dialog sederhana dalam drama Menunggu Godot karya Samuel Becket sangat tepat untuk menggambarkan kemandekan kapitalistik. Pada tataran ini, kapasitas kepekaan pengarang dipertaruhkan.

Perlawanan dalam Estetika
Tetapi kebagusan tema perlawanan dalam karya sastra, bagaimapun juga sangat riskan bila dijadikan kriteria kebagusan karya sastra. Dataran lebih penting lagi, adalah bagaimana konsepsi estetika yang ditawarkan karya sastra.

Banyak karya sastra yang menyiratkan tema perlawanan secara bagus. Namun, hanya sedikit karya yang mengemasnya dengan tepat. Karya sastra, dalam hal ini, berkaitan dengan sejarah peradaban manusia dan sejarah estetika sastra.

Puisi-puisi liris Amir Hamzah berkualitas bagus. Ini kenyataan yang tidak mungkin dibantah. Tetapi dihadapkan pada tradisi sastra, Amir Hamzah hanya diakui sebagai pemuncak bangunan estetik yang sudah ada.

Lain halnya dengan puisi-puisi Chairil Anwar, padanya ada sinergi besar mencipta tradisi baru dalam estetika puisi. Pada akhirnya, ada dua tradisi yang berdiri sejajar. Inilah yang disebut sebagai kontribusi terhadap tradisi sastra. Nuansa perlawanan sangat kental di sana.

Sejarah sastra Barat pun dibentuk oleh serangkaian perlawanan terhadap tradisi sastra. Dan dari situ, mobilitas teks sastra terwujud. Ketika Abad Pertengahan menjadi kental dengan karya sastra bernuansa ritual mistik (klasik dan religius), dimunculkan jenis karya sastra Barok. Lalu muncul Renaisance, muncul lagi Romantik, lalu Realisme, dan Surealisme.

Aliran-aliran sastra tersebut dibentuk oleh motivasi perlawanan yang sama; perlawanan terhadap tradisi. Sesuatu yang lebih lengkap dibanding perlawanan satu pemerintahan an sich. Konsepsi estetikalah yang membedakannya.

Penulis teringat pada guyonan Asrul Sani dalam salah satu artikelnya pada tahun-tahun akhir 40-an. ”Kebenaran yang dikemukakan para sastrawan Pujangga Baru tidak akan tiba pada tujuan, sebab telah habis dalam nyanyian”. Artinya, perlawanan dalam karya sastra Pujangga Baru menjadi sia-sia disebabkan terjebak belenggu rima dan irama. Contoh paling parah adalah puisi-puisi dalam Lagu Gelombang karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA).

Semua orang yang sedikit saja membaca sejarah, tentu tahu, STA adalah tokoh paling getol dalam gagasan mengadopsi budaya Barat untuk diberlakukan di Tanah Air. Pada puisi Lagu Gelombang, cita-cita ini juga yang diusungnya. Ia ingin sebuah masyarakat rasional. Kegelian yang muncul, puisi-puisi STA terlalu indah untuk sebuah ajakan pemberontakan. Ia lebih mirip nyanyian rindu daripada provokasi. Lebih dekat ke hati dari pada pikiran. Kesemuanya disebabkan estetika ”mendayu-dayu” dari Pujangga Baru.

Pelajaran yang dapat dipetik dari uraian di atas adalah; Pertama, karya sastra perlawanan tidak mesti dibentuk oleh material lingkungan politik praktis. Perlawanan dapat muncul dalam ilustrasi/realitas manapun, sekecil apapun.

Kedua, tidak ada nilai perlawanan dalam karya sastra yang berbau ”booming”, misalnya pada gejala karya sastra ”Reformasi” yang satu tema dan satu gaya penulisan. Apalagi yang terang-terangan mengandalkan ”satu kata lawan”.

Ketiga, kriteria perlawanan dalam karya sastra diukur melalui sejarah sastra, yaitu kebaruan estetika.

Keempat, karya sastra tidak dapat diharapkan untuk dapat secara langsung mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan sebab karya sastra senantiasa bersifat individual (baca: sublim). Yang paling mungkin dilakukan, karya sastra memberi gagasan dan pengetahuan tentang perlawanan.

*) Penulis adalah Ketua Komunitas Sastra Epik Surabaya, alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga.

Pesona Keempat Sutardji Calzoum Bachri

Asarpin*
http://www.lampungpost.com/

SEJAUH ini, lebih dari lima puluh ulasan tentang puisi Sutardji Calzoum Bachri (selanjutnya ditulis Tardji). Namun, di antara yang banyak itu, saya melihat jarang sekali sajak-sajak Tardji pasca-O Amuk Kapak (1981) mendapat perhatian.

Mungkin karena puluhan sajak mutakhirnya itu belum dibukukan, hingga perhatian kritikus masih tetap pada sajak-sajak lama. Arif Bagus Prasetya memang sempat menyinggung puisi-puisi Tardji terbaru sedikit membandingkan dengan sajak-sajak sebelumnya hingga Arif sampai pada kesimpulan bahwa sajak-sajak lama Tardji menampilkan "sajak aksi" dan sajak-sajak terbarunya menggemakan "sajak saksi"--sebuah kesimpulan yang hemat saya masih perlu diperdebatkan.

Puluhan puisi terbaru yang ditulis Tardji sangat padat menggunakan kalimat dengan kejutan estetik yang mencengangkan. Di antara puisi terbarunya saya sempat menyimpan puisi La Nosche De Las Palabas, Tanah Air Mata, Berdepan-Depan dengan Kakbah, Idulfitri, Cermin, David Copperfield, Pemulung, Mari, Sudah Waktu, Tanah Airmata, Cari, Atlantis, Para Munafik Ismail, Doa, Gempa Kata, Ini.

Dalam sajak-sajak ini Tardji begitu intim masuk jantung kata-kata, mendayakan kata, mengembalikan harkat kata tidak lagi pada mantra. Metaforanya tampil lewat kata-kata yang menyembul bagaikan ombak yang menghunjam batu karang, menggulung pantai kesadaran tempat burung bakik melantunkan tembang lawa malam.

Puisi La Nosche De Las Palabas bertanggal Madellin Columbia 1997, menggemakan kata-kata hingga sukma mutu menikam, seperti dalam fragmen ini: "palabras palabras palabras/-/--kata kata kata kata --/semakin kental mengucap/cahaya pun memadat/sampai kami bisa buat purnama jatuh/kata-kata menjadi kami/kami menjadi kata-kata". Nada protes dengan kandungan amanat yang posesif--bahkan sejenis "dakwah"--tersirat dalam sajak Pemulung (1990): kalian bikin mesjid/kalian bikin gereja/kalian senang kami selalu wirid/kalian anjurkan kami banyak berdoa/tapi kalian juga paling banyak melahap nikmat dunia".

Tardji tidak lagi menampik arti menjadi sejenis isyarat dengaran belaka atau kembali dari kata ke fonem, sebagaima dalam O Amuk Kapak (1981). Sajak-sajak terbarunya mengusung mentalitas sajak merakit kata dengan kontemplasi dan refleksi.

Dengan kekuatan sampiran, Tardji menghancurkan larik pantun empat bait dan menyusun puisi baru dengan melebur diri dalam gulungan ombak kata-kata. Tardji pernah mengatakan menulis sajak baginya bagaikan debur ombak yang perlahan-lahan mengikis pantai jadi lautan.

Ombak selebu dan alimbubu tidak henti-hentinya datang menyerbu dan mengempas datang lagi dalam mencari kedalaman sajaknya, membentuk dan menciptakan kesadaran imaji diam. Dalam sajak Tanah Air Mata, Tardji mungkin saja tenggelam bila tidak ada air mata yang menolongnya, bila saja tumpah darah tidak menjelma tanah air mata, "mata air airmata kami, airmata tanah air kami" yang kelak tampil dalam wadak yang telanjang dalam sajak Cari kata-kata seperti pemuda kita mencari kata dalam sumpahnya.

Sajak Gempa Kata (2005) seperti datang terlambat dan menjadi penegasan yang implisit terhadap tabiat puisinya dalam O Amuk Kapak yang menolak "tergantung pada kata" (A. Teeuw) sekaligus menolak pada mulanya adalah kata yang dijadikan satu rubrik Tokoh Bicara dalam Koran Tempo. Tardji berteriak: retak/kata kata bertumbangan/runtuh/metafora porak poranda/koyak moyak kamus/makna hapus/dalam banyak tenda/para korban keruntuhan kata/menjerit tanpa kata/negara asing tak sanggup bantu/ini persoalan sendiri/mustahil nyelamatkan korban/lewat asing kata/bahkan terjemahan/pun/tak.

Dalam puisi Para Munafik Ismail (2005), Tardji memang bukan penyair sekadar, kendati puisi-puisinya belakangan ini banyak menjejalkan kalimat-kalimat pejal. Tanpa beban Tardji menohok "Ismail" sebagai yang munafik: para ismail yang munafik/bergegas menyodorkan/leher:/-- sembelihlah kami!/Ibrahim yang hanif bilang:/-- tak, kalian tak boleh mati/agar menjadi pertanda biar umat waspada/.

Ismail dalam sajak Para Munafik Ismail bisa dibaca sebagai nama metaforik dan tak berurusan dengan Ismail putra nabi Ibrahim, bahkan Ismail di situ mungkin "Taufik Ismail", kata rekan saya. Tardji mengulang nama Ismail kembali dalam sajak Doa (2005): "...ini sungguh para ismail bayi ismail renta/ismail kanak ismail pemuda/dibantai/ya Tuhan/kuatkan selamatkan bangsaku/dari derita beberapa Nabi.

Puisi-puisi pasca-O Amuk Kapak hadir bagaikan sang mualim yang diempas angin lasi dari segala daftar kecelakaan yang pernah ditenggaknya di masa lalu. Sekali lagi, inilah tabiat ombak di tengah laut rembang atau olok mulang yang bekelok-kelok, berputar dan menggulung naik dan turun. Sesekali terdengar bunyi-bunyi di pantai kesadaran laut lazuardi sebelum akhirnya bergabunglah nakhoda, mualim, dan kelasi.

Tardji telah melengkapi tiga kumpulan sajak hingga layaklah ia meraih apa yang disebut sebagai sajak obviatif atau pesona keempat, yang sebelumnya telah ditunjukkan pada pesona pertama (O), kedua (Amuk) dan ketiga (Kapak). Dengan demikian, Tardji telah sampai pada kata yang memiliki bentuk khusus, yang membedakannya dengan semua penyair di negeri ini. Dengan watak obviatif ini, Tardji telah menyejajarkan dirinya--kalau bukan malah melintasi--dengan empat pendakian menuju Yang Mahakuasa dalam tradisi irfan dan ghazal Persia.

Bila saja sajak-sajak mutakhir Tardji dibukukan, saya akan memilih lema ombak karena dengan ombak, Tardji telah menghasilkan empat metamorfosis dalam pendakian puncak yang jauh. Mula-mula Tardji mengembara dalam sunyi lewat nol mutlak (dalam atau O) menuju kerinduan yang ganas melalui sembilu kucing batinku ngiau nuju jejak tak mewariskan sampai-luka tak meninggalkan badan walau sejuta mawar kucoba penawar dengan apa mencariMu (Amuk), berlanjut dengan mengembara dari manusia ke manusia dengan kebersamaan saudara kembar aku-kita yang dipertalikan oleh nasib (Kapak) dan hubungan dalam kewargaan dengan membebaskan mahia pengucapan tradisi yang sempit dan membawanya ke lingkungan sastra dunia tentang kedalaman kemaknaan (Ombak) ujung Tanjung, sekapur sirih seulas Pinang.

*) Pencinta sastra

Kekalahan Kita terhadap 'Post-Modernism'

Hardi Hamzah
http://www.lampungpost.com/

"Ada yang tertinggal di dalam dunia post-modernism," ujar David Legman (2003). Artikel yang ditulisnya pada News Week edisi Maret tahun yang sama semakin mengingatkan kita tahu bahwa post-modernism yang diusung secara kultural oleh agamawan, politisi, dan cendekiawan ternyata melahirkan bangsa yang rendah. Indonesia-lah yang mungkin terakhir kali sebagai suatu bangsa dikoloni oleh bangsa-bangsa lain.

Hal tersebut sebagai preseden buruk dari ketidakberhasilan post-modernism dan korelasinya terhadap pemimpin di negeri ini. Setiap orang kemudian menjatahkan dirinya pada "jatah hidup" yang tidak jelas. Miskin kota bertambah 27%, di desa hampir 2 kali lipatnya. Sementara itu, pemimpin kita yang mendambakan post-modernism dengan tidak berbuat apa-apa kecuali menulis, menjadi staf pengajar, pelaku budaya, birokrat gagal, seniman tanggung, dan wartawan bodrek.

Alkisah, post-modernism lahir di Indonesia pada era non-violent movement (gerakan antikekerasan). Ia lahir dari mahasiswa yang disosialisasi oleh Amien Rais, Gus Dur, Nurcholis Madjid, Goenawan Mohamad, Jacoeb Utama, dan sederet nama personel birokrat lainnya. Inilah produk post-modernism yang paling mutakhir. Rahim yang melahirkannya kini berdarah-darah, bukan kanker, tidak juga tumor. Inilah bangsa yang dilahirkan oleh pengagum post-modernism yang dilatarbelakangi katub agama, budaya, pers, dan birokrasi. Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa kita daulat untuk para tokoh itu. Sebab, setidaknya mereka telah mempunyai ikon hidup sendiri-sendiri. Perubahan yang gradual akibat post-modernism kemudian melahirkan peran-peran abstrak.

Hampir terefleksi bahwa post-modernism agama, budaya, pers, dan para pemimpin kita tergerus oleh perilaku post-modernism, yang pada gilirannya menghadapkan kita pada dikotomi sosial dan struktural. Dikotomi sosial menunjuk pada proses apa yang dilakukan oleh setiap individu terhadap dirinya sendiri, tanpa harus berpikir ada manusia di sekitarnya (baca: konsumerisme). Pada dikotomi struktural, kita melihat dua wajah eksekutif dan legislatif yang bopeng. Dan, terkadang digarap habis oleh para pelaku yudikatif. Dikotomi itu menggiring kita berbaris dalam kata-kata, seringkali kita lahir sebagai generasi lebih banyak membangun arti daripada makna.

Makna hidup hanya dilihat sebagai suatu proses sosial biasa, sehingga kita menjadi zombi-zombi, tapi rakus dalam artian finansial. Kendati, kita tidak tahu apakah itu "rakus" atau "keharusan"? Demikianlah, kita melihat sebuah jurang besar yang menganga. Meski tetap kita pahami bersama bahwa kekuatan yang utuh hanya lewat nelangsa dan sabar. Memang, nelangsa dan sabar itulah yang masih kita miliki. Ini gejala psikis normal dari kekalahan agamawan, budayawan, dan politisi kita terhadap post-modernism.

Dalam rajutan lain, kita melihat post-modernism telah "menyembelih" dan "memerawani" seluruh kisi-kisi hidup kita. Kini kita hanya tengah menunggu residu post-modernisme di tengah kultur yang tidak menentu. Meski resminya kita masih punya martabat. Kita masih punya sejarah adi luhung, kawah candradimuka (SDA), serat-serat dan kidung-kidung yang mengharuskan kita harus menjustifikasi seluruh peradaban hidup. Pada titik inilah, kebangkitan di antara dua dikotomi di atas dapat dibangun.

Saya teringat pemikir besar seperti Al Farabi, Hasan Al Banna, Ibnu Sina, sampai Cak Nur. Sesungguhnya, orientasi mereka melebihi para futurolog, jauh di atas Nostradamus. Namun kenyataannya, masyarakat yang lemah ekonominya hanya membangun optimitis lewat berani, kilah Amien Rais ketika saya mendatangi rumahnya (2003). Berani, dalam konteks dikotomi mampu menghasilkan sesuatu, manakala ia dibangun oleh kekuatan spiritualitas, dan visi.

Sementara itu, dalam masyarakat kelaparan seperti kita, kita hanya berani karena takut dan takut karena berani. Ini yang dilukiskan oleh The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) karya Salman Rusdi. Keberanian kita hanya mampu karena diremas, ditekuk, dan dililit oleh ketakutan, dus demikian pula sebaliknya. Orang yang kemudian dimusuhi oleh hampir seluruh umat Islam itu mempersilakan kita untuk bicara bahwa post-modernism sebagaimana yang ditulis oleh Jasman Al Kindi (1979) dan beberapa tokoh Islam lainnya, bahwa kita adalah bangsa yang consumer dan tidak beradab. Kita adalah bangsa yang tidak mempunyai perilaku hidup lewat fakta.

Mungkin kita hanya mampu membuka data tanpa harus membacanya. Data hidup, sebagaimana dilukiskan oleh para filsuf dan teolog modern bahwa setiap orang harus memaknai sejarahnya, bahwa setiap orang harus memaknai hidudnya. Plato, misalnya, menggambarkan kehidupan di gua bagaikan bayang-bayang. Bahkan, Ibnu Sina telah melihat bahwa makna hidup adalah menghidupi orang lain. Namun, lipat dua (dikotomi sosial dan struktural) yang penulis singgung di muka memberi makna hidup sebagai sesuatu kekuatan semu.

Dalam proses sosial, dari rahim yang berdarah-darah itu lahir kultur sinis sedikit skeptis dan apatis. Secara struktural, dari rahimnya, lahir impulsifisme, degradasi moral, dan patung-patung (berhala) tak bermoral. Lalu, apa makna kita sebagai bangsa? Apa makna kita sebagai manusia? Dan, apa makna kita sebagai makhluk Tuhan? Kita sangat tahu bahwa Al Quran berkata, Injil dan beberapa kitab lainnya berucap tentang kesadaran terhadap makna hidup. Namun, kita sebagai bangsa tidak memaknainya secara realis.

Dalam konteks di atas, hemat saya, kita harus memperlakukan makna hidup sebagai suatu cagar budaya nilai dari berbagai dimensi. Kita adalah keturunan Adam dan Hawa, keturunan raja-raja mataram dan keturunan pounding father yang melawan kolonial.

Saya teringat apa yang ditulis oleh penulis Belanda Bernard Dahm, dalam buku biografi politik Bung Karno Bung Karno, a Political Biography (1997). Dahm mengingatkan kepada kita bahwa budaya adi luhung dalam kesejahteraan nusantara tak terlepas dari keberanian moral memaknai hidup. Dalam bangsa yang optimis, sebagai mana yang terjadi di Meksiko, Brasil, dan Amerika lainnya. Dari kemiskinan, Brazil menjual sepak bola. Dari disintegrasi, Nelson Mandela menjual kebersamaan. Seharusnya, kita memaknai hidup dengan keberanian di tengah keberanian itu sendiri, dus bukan di tengah ketakutan. Seperti yang digaungkan post-modernism.

Agaknya, kita harus disadari betul bahwa post-modernism dan anasir-anasirnya telah menguatkan molekul agama, budaya, dan politik. Inilah seharusnya yang kita tolak. Kita berani menghadapi impitan dengan leluasa. Sebagai bangsa, kita mampu mandiri karena SDA. Sebagai bangsa kita mampu memaknai realitas adalah fakta, dus bukan data yang pada gilirannya kita jauh dari personel yang antisosial. Dalam Abad Makro Kosmos yang kerap digemakan para penganut post-modernism bahwa hidup adalah individual, bahwa hidup adalah kompetisi, bahwa hidup adalah finansial. Ini bisa benar apabila kita tidak salah menyenyawakannya dengan politik, agama, dan budaya. Namun, ia akan menjadi nilai yang amburadul, manakala kita salah menerjemahkannya.

Dalam skala yang lebih mikro, post-modernism akan mengejawantahkan menjadi dua kutub, yang kalau salah arah membuka peluang untuk terjadinya revolusi sosial di negeri ini. Masya Allah.***

*) Pemerhati kebudayaan, tinggal di Bandar Lampung

Hantu, Perempuan Sundal, dan Kebohongan Bramanto

Fakhrunnas MA Jabbar
http://www.lampungpost.com/

Akulah hantu itu. Tertiup angin aku datang ke pulau yang mulai gemerlapan ini. Tersebab lupa, aku tak tahu darimana aku tiba. Aku bisa berumah di awang-awang atau berhimpun dalam gemuruh hujan dan petir. Tak usahlah aku berterus-terang ihwal asalku. Orang-orang Melayu kebanyakan agak berpantang membincangkan soal itu. Kecuali, para batin dan bomoh yang sewaktu-waktu bisa saja memanggilku tanpa surat perintah sekali pun. Aku hanya takluk pada mantera dan bacaan gaib serta bau-bauan kemenyan atau ramuan kembang para batin atau bomoh tadi.

Oleh karenanya, aku bisa diperalat oleh siapa saja yang mengimpikan suatu pengharapan dan cita-cita. Ya, aku mengalir dalam takhayul-takhayul orang kesurupan akan harta dan jabatan. Maaf, tak mungkin aku berterus-terang siapa saja yang pernah menggunakanku untuk mencapai ambisi-ambisi pribadinya. Sssttt...off the record-lah gitu...!

Seperti angin dan bau-bauan, aku pun bergentayangan begitu saja di pulau ini. Aku datang tanpa permintaan siapa pun. Tak ada batin atau bomoh yang memperalatku. Tak ada maksud-maksud khusus di balik kehadiranku. Aku hanya ingin bersaksi di sebuah kawasan baru yang selama ini tak tertera di peta. Sungguh, sebelumnya aku sudah kenal kota-kota besar yang bertumbuh bagai meteor yang melesat ke langit biru malam hari. Bahkan aku sudah beranak-pinak di kawasan-kawasan semacam itu menyebarkan ketakutan dan kecemasan di tengah kegerahan kehidupan malam.

Aku baru tahu di pulau ini ada kehidupan yang mulai asing. Dunia hiburan tanpa batas tiba-tiba menjadi ratu di kegelapan malam. Ini yang aku suka. Meski aku juga tahu kalau orang-orang Melayu penghuni asal pulau ini telah berkeringan air mata meratapi perubahan yang mengoyak-ngoyak tabir budayanya yang santun. Dentum suara musik di diskotek-diskotek sejak malam hingga pagi hari membenamkan dengung azan di menara-menara masjid yang senantiasa jadi tumpuan doa orang-orang Melayu di sini. Bar dan karaoke yang dipenuhi kepulan asap dan bau maung pil nipam, ineks, rohipnol serta cekikikan perempuan sundal tengah malam menguburkan rengek-tangis anak-anak Melayu yang hidup bersahaja di ceruk-ceruk tanjung dan selat nan jauh dari keramaian. Kesepian mereka lebih diam dari bintang di kejauhan. Aku faham....aku faham sungguh!

Malam-malam kujalani di tiap jengkal pulau harapan ini. Terang-benderang kota di luaran berbancuhan dengan ruang remang-remang yang dijejali asap dan bisingnya suara musik. Aku ikut larut dalam hentakan musik yang membuat ribuan orang terkulai dan menahan dingin di pojok-pojok diskotek dan bar. Orang-orang berpelukan semaunya. Dunia tanpa kata-kata. Orang-orang hanya mengandalkan gendang telinga untuk menikmati irama musik yang tak beraturan lagi. Itu juga yang aku suka. Aku sudah terbiasa dengan suasana-suasana seperti itu. Bagi makhluk semacam kami, ketakutan dan kecemasan adalah santapan penuh gizi. Aku datang ke pulau ini pun sebisanya menularkan ketakutan dan kecemasan itu. Orang-orang yang kesetanan adalah sahabat sejati kami.

Kucoba mengenali orang-orang di pulau ini sebisaku. Kucoba mengakrabi wajah mereka. Tak peduli apakah dia orang tempatan atau tamu yang berdatangan dari luar pulau ini. Sudah lama kudengar, banyak orang yang datang ke pulau ini setelah urusan dinasnya menikmati malam-malam panjang dan perempuan sundal yang bisa "dibeli" dengan harga lebih murah. Bahkan, perempuan semacam itu jadi bagian proses bisnis atau urusan dinas mereka. Ha ha ha... (maaf, aku jadi tertawa berlebihan).

Malam ini aku bersendirian saja. Seperti biasa aku berkelana kian-kemari. Dari tempat yang remang di luaran hingga keremangan diskotek dan karaoke. Entah bagaimana, kehidupan kami lebih dominan ditakdirkan berada di keremangan. Hanya bedanya, dulu aku hidup di keremangan rimba belantara. Tapi kini kucoba menikmati keremangan lain. Keremangan yang dijejali kerlap-kerlip lampu dan hentakan musik.

Aku melihat seorang perempuan muda yang menggigil di sudut ruangan diskotek. Aku kasihan melihat kegetiran hidupnya malam itu. Aku ingin berbicara dengannya. Tentu bukan dalam bahasa hantu. Tentu juga dalam wajah kami yang selalu berubah dan mengerikan. Seperti tabiat kami yang bisa berubah rupa, aku pun akan mendekatinya dengan wajah seorang lelaki tampan.

"Hai, manis! Kenapa sendiri?" sapaku.

Perempuan itu semula diam saja. Menatapku penuh keheranan. Tampak di wajahnya ia mulai berbagi perasaan. Satu sisi ingin menolakku karena aku masih asing baginya. Di sisi lain, ia juga sangat bersimpati padaku, tersebab aku cukup tampan malam itu.

"Hai, manis! Perlu ditemani?" sapaku mengulang.

Ia mulai tersenyum. Manis sekali.

"Boleh aku duduk di sini?" pintaku.

Ia beraksi dan menyempurnakan posisi duduknya. Pakaiannya yang berkerutan karena melampiaskan rasa kesal akhirnya dirapikan tergesa-gesa. Ia tampak berusaha melayaniku dengan prima. Tampaknya ia mulai tertarik padaku.

"Abang dari mana?" tanya perempuan itu singkat.

"Aku dari pulau ini. Aku penduduk sini. Kau, mengapa di sini sendirian saja?"

Ia mulai bercerita. Katanya, ia sedang kesal karena menunggu seorang lelaki yang menjadi tamu istimewanya. Pak Bramanto, namanya. Seorang tamu yang bertugas dan menetap di Jakarta. Persisnya pejabat di dinas atau kantor apa, perempuan yang mengaku bernama Prili itu tak pernah tahu pasti. Walaupun sebenarnya, sang lelaki sudah menjadikannya sebagai "istri piaraan" selama lebih tujuh tahun. Biasanya Pak Bram, begitu ia senang dipanggil, akan mengunjungi 3--4 kali setahun, sejalan dengan tugas dinas luarnya di pulau itu.

"Kamu suka hidup seperti ini?" desakku.

"Gimana lagi, Bang. Sebenarnya aku tak mencintainya. Apalagi bagi perempuan di tempat hiburan seperti aku, dijamin tak punya tambatan hati. Tapi Pak Bram memelas dan memohon agar aku tetap jadi isteri simpanannya. Ya, aku terima juga. Yang penting bagiku...ya duitnya. Aku sudah dihadiahinya sebuah rumah mewah lengkap dengan isinya. Lebih dari itu, pada ulang tahunku yang ke-24 tahun lalu, dia juga hadiahkan buatku sebuah sedan BMW. Tentu aku suka...," derai tawa Prili terdengar manja sambil menyandarkan wajahnya di bahuku. Sebagai hantu, tentu aku tak nafsu.

Kencan kami malam itu sampai larut malam. Meski dentuman musik house masih terus mengalir sampai pagi, tapi aku memutuskan pembicaraan sampai pukul 02.00 dini hari. Aku tak menawarinya untuk menemaninya antar pulang. Sebab, aku tak menghendaki ia sampai mengajakku tidur bersama. Aku tak biasa melakukannya.

Di malam-malam berikutnya, Prili masih mengajakku datang dan bertemu di diskotek yang sama. Di malam yang kebelasan kalinya, saat aku duduk mendampingi Prili, tiba-tiba ponsel di genggamannya berdering. Ia tampak gelagapan dan bicara berbisik. Bagai ada yang disembunyikan. Tapi aku persis tahu semua apa yang dibicarakannya. Bahwa, Pak Bramanto sebentar lagi akan datang karena pesawatnya baru mendarat agak kemalaman dari Jakarta.

"Bisa kutinggal sebentar, aku ada keperluan lain...," ujar Prili berhati-hati.

"Tak usah repot. Aku juga mau pergi. Pak Bramanto sedang ada di sini kan?" selidikku. Prili tersengak.

Tokoh Prili bagiku jadi menarik begitu kutahu hubungan gelapnya dengan Pak Bram. Oleh sebab itu, selama tiga hari pertemuan mereka, selalu tak luput dari intaianku. Aku selalu menyaksikan hari-hari kemanjaan mereka di pusat belanja, kamar tidur, restaurant sea food hingga lancongan mereka ke Singapura. Aku hanya menangkap wajah kebohongan pada kedua tubuh itu. Pak Bram menjual kebohongan-kebohongan pada anak-istrinya yang jauh. Sementara Prili membohongi Bram tentang kesetiaan dan kejujurannya.

Sebagai hantu, aku menerobos ruang dan waktu tanpa batas. Oleh karenanya, saat Pak Bram kembali ke Jakarta, aku mendahuluinya. Kumasuki ruang mimpi anak-istrinya. Kubisikkan semua yang dilakukan Pak Bram sejak tujuh tahun berlalu. Aku tak ingin kebohongan Pak Bram lestari sepanjang usianya. Mestinya ia lebih punya tanggung jawab di usia yang kian senja.

Ketika Pak Bramanto sampai di rumah, istri dan anaknya menyambut dingin. Pak Bram jadi ketar-ketir. Ia mencoba seolah tak terjadi apa-apa dengan menyuguhkan oleh-oleh yang beragam.

"Ada apa, Ma?" tanya Pak Bram saat bertemu sang istri di kamarnya.

Sang istri makin cemberut. Pak Bram jadi salah tingkah. Apalagi saat anak-anaknya yang sudah dewasa mengerumuninya.

"Saatnya, Papa berterus terang pada kami. Papa punya perempuan simpanan kan di Batam? Itu yang membuat Papa sangat senang dinas luar ke sana..." serang ketiga anaknya serempak.

Pak Bramanto terdiam.

"Bagaimana kalian tahu?" suara Pak Bram meluncur pelan.

"Kami bagai dibisikkan sesuatu. Kami menyaksikan semuanya lewat mimpi. Seolah-olah ada yang memberitahu kami akan kejadian yang sebenarnya...," tanggap sang istri berapi-api.

"Tapi, mimpi tak lebih dari bunga tidur. Bukan fakta..bukan realita. Bagaimana bisa dipercaya...?" Pak Bram masih mencoba mengelak.

Aku menyaksikan perdebatan di rumah tangga itu sambil tersenyum geli. Saat suasana hening di dalam kamar itu, aku mengubah jasadku menjadi Prili. Aku langsung mengetuk pintu. Pak Bramanto yang berdiri paling dekat ke pintu langsung menekan gerendel.

"Selamat malam... Hai, Pak Bram! Maafkan aku mengganggu...," sapaku dengan memakai jasad dan suara Prili dengan senyum ramah.

Pak Bram benar-benar tersengat dan terkejut. Dadanya berguncang hebat. Tak lama kemudian ia rubuh ke lantai karena serangan jantung. Semula nyaris tak ada yang peduli. Tapi setelah aku berterus terang dan mengenalkan diri sebagai Prili, perempuan simpanan Pak Bram, barulah anak laki-lakinya yang bungsu memberikan pertolongan pada Pak Bram. Sementara istri dan dua anak perempuannya mencoba menyeretku ke luar. Mereka tiba-tiba kesurupan ingin meremas wajahku.

"Sabar dulu, Bu. Aku datang untuk memberitahu ihwal sebenarnya agar Pak Bram tak membohongi kalian lagi. Permisi...," aku langsung gaib dan menghilang membuat semuanya tercengang.

Aku kembali ke Pulau Batam menyaksikan ribuan kebohongan para lelaki. Kuberitahu Prili bahwa Pak Bramanto tak akan datang lagi karena ia sudah meninggal dunia sejak mendapat serangan jantung dulu. Hati Prili berbunga-bunga.

Pangkalan Kerinci, Agustus, 2003

*) Fakhrunnas MA Jabbar, cerpenis tinggal di Pangkalan Kerinci, Riau.

Prosa Rumah: Referensi dan Representasi

Bandung Mawardi
http://www.lampungpost.com/

Rabindranath Tagore dalam novel The Home and The World mengisahkan politik, cinta, nasionalisme, ideologi kelas, dan kolonialisme. Tagore dalam novel itu mengonstruksi rumah dengan pandangan liris dan menegangkan. Rumah menjadi metafor untuk manusia dan negeri India yang merumuskan diri pada awal abad XX dalam kuasa kolonialisme Inggris dan modernitas.

Rumah berbeda dengan dunia (luar rumah). Rumah identik dengan runag (kurungan) yang tidak memberi kebebasan. Dunia identik dengan kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicari dan ditemukan. Tokoh Bimala berada dalam tegangan untuk lari dari rumah dan hadir di dunia atau menghidupi rumah dengan kesetiaan dan pembebasan diri yang menganut konvensi. Bimala sebagai perempuan sadar tradisi dan sadar pandangan politik-intelektual yang membebaskan dengan risiko besar. Rumah dan dunia adalah tragedi.

Rumah dan dunia dalam novel Tagore adalah kisah kekacauan dan ketertiban, politik radikal dan politik moderat, modernitas dan tradisionalis, kesetiaan dan pengkhianatan, kejujuran dan kebohongan, cinta dan kebencian, kelemahan dan kekuatan. Novel The Home and The World adalah representasi kisah kolonialisme dan modernitas. Tagore melahirkan kisah rumah sebagai seorang India tulen.

Kisah rumah lain dikisahkan V.S. Naipul. Pengarang ini lahir di Trinidad dari keluarga imigran India. Rumah dalam pemahaman Naipul adalah sesuatu yang dipikirkan dalam pemikiran seorang bocah. Rumah adalah sesuatu yang naif, fantasi, ketakutan, kebebasan, siksa, dan kemungkinan-kemungkinan tak terbatas. Rumah menjadi ruang untuk merumuskan identitas diri dan kultural.

Rumah adalah perkara gairah dan pertanyaan. Naipul mesti membedakan "rumah hidup" atau "rumah mati" dari sekian rumah yang pernah dihuni di sekian negeri. Naipul lalu mengisahkan rumah dalam teks-teks yang merepresentasikan identitas, sejarah, politik, geografi, dan peradaban. Teks penting dari Naipul mengenai rumah yakni novel A House for Mr Biswas. Naipul dalam novel itu mengisahkan rumah sebagai metafor untuk manusia yang merumuskan identitas.

Rumah adalah metafor yang kompleks untuk kisah manusia dan peradaban. Tagore dan Naipul sanggup mengisahkan rumah untuk pembaca di pelbagai negeri dalam realitas kultural yang berbeda. Bagaimana pengarang Indonesia mengisahkan rumah?

Asrul Sani lumayan intens dan representatif mengisahkan rumah dalam buku kumpulan cerpen Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat (1971). Cerpen Beri Aku Rumah dengan satir mengisahkan seorang tokoh yang mencari rumah. Rumah adalah hidup dan ruang untuk biografi manusia yang lelah dalam perjalanan intelektual dan penggelandangan hidup. Tokoh dalam cerpen Asrul Sani melakukan migrasi epistemologis dan geografis tanpa ada kepastian bahwa migrasi berhenti karena ada rumah yang ditemukan. Tokoh itu merasa rumah adalah hak manusia. Pertanyaan yang muncul adalah hak itu belum tentu ada pemenuhan dalam bentuk pemberian atau pencarian.

Metafor rumah yang liris dikisahkan Asrul Sani dalam cerpen Perumahan bagi Fadjria Novari. Rumah adalah kisah manusia dan hidup yang mesti dijalani dengan nostalgia dan utopia. Rumah adalah kepergian dan kepulangan; awal dan akhir. Inilah alinea puitis dari Asrul Sani: "Orang tidak dapat terus-menerus hidup di bawah kolong langit. Kau harus cari tempat pulang dan tempat di mana pemberian dapat diberikan dan segala dapat dimulai."

Trisno Sumardjo mengisahkan rumah dalam novel kecil berjudul Rumah Raya (1973). Rumah adalah kisah keluarga, harga diri, status sosial, pertikaian, dosa, dendam, kematian, benci, dan modernitas. Rumah Raden Mas Sumonegoro didirikan dengan kelicikan dan keserakahan untuk merebut dan menguasai tanah yang bukan hak.

Rumah besar dengan arsitektur dan peniruan perilaku hidup Eropa. Rumah didirikan untuk menghadirkan kuasa, status sosial (priyayi), dan kemodernan. Rumah itu jadi cerita orang-orang kota dengan segala yang mencengangkan dan menegangkan. Konflik terus lahir dalam rumah dan berhembus ke luar untuk menjadi gosip dan berita umum. Rumah itu perlahan menjadi kisah sedih dan tragis.

Rumah adalah metafora untuk biografi keluarga yang pecah dan kisah modernitas yang tidak terealisasikan dengan sempurna. Rumah tak mungkin jadi acuan tunggal dari harga diri dan modernitas. Kepercayaan atas peran rumah niscaya terbatasi oleh etika, kondisi zaman, dan progresivitas kultural. Rumah adalah kisah kehidupan dan kematian manusia dengan pelbagai pamrih, impian, dan tragedi.

Kisah rumah dituliskan Y.B. Mangunwijaya dalam cerpen Rumah Bambu yang ditulis pada tahun 1980. Cerpen itu identik dengan laku hidup Mangunwijaya dalam melibatkan diri dengan kehidupan rakyat kecil. Tokoh Parji adalah seroang miskin yang hidup dengan Pinuk (isteri) dan seorang bayi dalam rumah bambu. Rumah itu didirikan dan dihidupi dengan keterbatasan uang dan bantuan orang lain. Parji menginginkan rumah itu jadi ruang hidup yang harmonis. Parji menyebut rumah itu sebagai "sarang yang biar sederhana, akan tetapi bagus dan terhormat".

Rumah bambu itu tak luput dari kisah pertikaian. Pinuk ingin rumah yang tidak sekadar itu, dan Parji tak mungkin bisa lekas menuruti. Pinuk memiliki argumen bahwa rumah itu tak baik untuk pertumbuhan bayi karena lantai yang bukan ubin. Argumen itu dibantah Parji, tapi tidak bisa berterima. Parji dan Pinuk terlanjur membuat pamrih dan pemaknaan berbeda untuk hidup bersama dalam rumah bambu. Rumah dalam cerpen Mangunwijaya adalah kisah kaum miskin berhadapan dengan sesuatu atau impian yang susah direalisasikan. Kebutuhan dan keinginan menjadi suatu keputusan dengan kompromi dan pilihan sadar. Rumah adalah penerimaan menjalani lakon hidup dengan keterbatasan-keterbatasan dan mimpi yang bisa diciptakan untuk penebus realitas atau mungkin menjadi perubahan mengejutkan.

Kisah-kisah rumah dalam teks sastra memberi keterbukaan untuk interpretasi dalam konteks sejarah, antropologi, geografi, arsitektur, sosiologi, politik, dan studi kebudayaan. Rumah menjadi referensi yang representatif untuk kisah manusia dan peradaban. Begitu.

*) Kritikus sastra; peneliti Kabut Institut; redaktur buletin sastra Pawon (Solo)

Spirit Perlawanan dalam Sastra 'Post'- Kolonial

http://www.lampungpost.com/
Judul: Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra
Penulis: Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2008
Tebal: xii + 450 halaman
Peresensi: Fatkhul Anas

MEMBUKA kembali ragam file ingatan tentang zaman kolonialisme di Indonesia merupakan hal "berani". Sekali membuka berarti siap dengan kisah-kisah dramatis seputar penderitaan bangsa. Kelaparan, kerja paksa, pembodohan massal, penganiayaan, pembunuhan secara sadis adalah pemandangan yang lazim. Perbudakan, gundik, serta pemungutan pajak secara paksa tak luput pula menjadi sejarah yang memilukan. Kekalahan bangsa Indonesia memaksa mereka tunduk dalam kekejaman, menikmati kesengsaraan, dan terpenjara dalam kebodohan. Tidak sedikit pun bangsa ini dibiarkan menikmati indahnya kehidupan, kecuali segelintir orang. Orang-orang itu adalah mereka yang patuh dengan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.

Zaman kolonialisme memanglah menjadi "abad penggelapan" bagi bangsa ini. Abad ini memaksa bangsa Indonesia mengadakan pembelaan diri dengan melakukan perlawanan.

Dari aspek fisik, bangsa ini melakukan serangan balasan dengan model peperangan. Meski dengan bersenjatakan bambu runcing, nenek moyang Indonesia tak sedikit pun gentar menghadapi penjajah. Kendala apa pun diterjang. Harta, benda, bahkan nyawa menjadi taruhan. Orang-orang terdidik atau kaum intelektual mendirikan organisasi sebagai wadah penggalangan ide.

Organisasi-organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam adalah sebagian dari organisasi yang setia meneriakkan semangat antikolonialisme. Tidak ketinggalan para sastrawan Indonesia juga turut mewarnai perjuangan. Dengan karya sastra post-kolonialismenya, mereka menyulut api perlawanan secara berkobar-kobar.

Semangat sastrawan post-kolonialisme menandingi kolonialisme akan dibahas tuntas dalam buku ini. Buku dengan judul Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra karya Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, membeberkan secara rinci, serta memberikan analisis mendalam seputar karya sastra post-kolonial. Dilihat dari istilah post-kolonial, ini berarti terjadi setelah zaman kolonial. Post-kolonial atau pascakolonial, memberikan pemahaman bahwa masa ini adalah masa serangan balik terhadap kolonial. Kalau kolonial banyak mengeksploitasi Indonesia, post-kolonial memberikan umpan balik dengan melawan kolonial. Dalam kaitannya dengan sastra, sastra post-kolonial adalah sastra perlawanan terhadap kolonial.

Sastra-sastra post-kolonial di Indonesia banyak jumlahnya. Dalam buku ini, disebutkan ada dua kategori untuk mengklasifikasi karya sastra post-kolonial.

Pertama, karya sastra sebelum perang. Masa ini dibagi empat periodisasi: Sastra melayu rendah (Tionghoa), sastra Hindia Belanda, sastra Balai Pustaka, serta sastra Pujangga Baru. Kedua, masa sesudah perang (setelah Pujangga Baru). Masa ini tidak dibagi dalam periodisasi, dengan pertimbangan telah berakhirnya kolonialisme (hal 261).

Karya sastra post-kolonialisme sebelum perang, dalam buku ini berjumlah delapan. Di antaranya: Cerita Nyai Dasima (G. Francis, 1896), Cerita Nyai Paina (H. Kommer, 1900), Max Havelaar (Multatuli, 1860, 1972), Manusia Bebas (Suwarsih Djojopuspito, 1940, 1975), Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937), serta Belenggu (Armijn Pane, 1940).

Sastra post-kolonial sesudah perang berjumlah lima buah; Ateis (Achdiat Karta Miharja, 1949), Pulang (Toha Mochtar, 1958), Bumi Manusia (Promoedya Ananta Toer, 1981), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981), serta Para Priayi (Umar Kayam, 1992).

Dari keseluruhan karya sastra post-kolinialisme ini, Bumi Manusia-lah yang ditengarai memiliki citra perlawanan tinggi. Karya sastra hasil kreativitas Pram ini, memiliki banyak aspek perlawanan.

Sesuai analisis pendek Prof. Nyoman, ada banyak perlawanan yang diteriakkan Pram terhadap praktik kolonialisme lewat Bumi Manusia-nya. Pram mengkritik praktek pengucilan terhadap bangsa Indonesia. Ini disimbolkan Pram lewat tokoh Nyai Ontosoroh. Ontosoroh dalam versi Pram adalah perempuan berkualitas. Perempuan ini berhati keras, disiplin, serta pemberani. Meski ia tidak mengenyam pendidikan tapi cerdas berkat pembelajaran otodidaknya (hal 334).

Ontosoroh memiliki semangat baja, sebagai akibat perlakuan tidak pantas terhadap dirinya, sebagai gundik, bahkan dijual sebagai budak. Berkat keberaniannya, ia berhasil menyelamatkan perusahaan suaminya sehingga pada zamannya perusahaan tersebut terbesar di Surabaya.

Di sini, Pram memberikan gambaran bahwa sesuungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang berkualitas, pemberani, dan pantang menyerah. Tidak boleh bangsa ini dianggap rendah oleh bangsa penjajah. Penjajahlah yang semestinya merasa berdosa telah mengeksploitasi Indonesia secara besar-besaran.

Mengenai eksploitasi, Pram juga memberikan sindiran keras di dalam Novel Bumi Manusia-nya. Pram menulis sebuah kalimat "Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa.....Hanya kulitnya yang putih," ia mengumpat," hatinya bulu semata." (Bumi Manusia, 2006: 489--490).

Kalimat ini adalah sindiran sekaligus hinaan yang keras seorang Pram terhadap para kolonialis. Pram hendak menyampaikan bahwa praktik kolonialisme harus dihentikan. Apa yang dilakukan Pram dalam karya sastranya merupakan bentuk perlawanan nyata terhadap kolonialisme. Termasuk juga dengan karya sastra lainnya. Karya-karya Multatuli, Suwarsih Djojopuspito, Marah Rusli, Abdoel Moeis, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Achdiat Karta Miharja, Toha Mochtar, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, serta lainnya merupakan karya-karya penentangan. Karya-karya tersebut membawa misi perlawanan serta penolakan terhadap kolonialisme.

Melalui karya-karya ini, bangsa Indonesia diajari bagaimana seharusnya bersikap terhadap kolonialisme. Tak sekedar dikecam, tetapi kolonialisme harus dilawan. Dan pada akhirnya, praktik kolonialisme harus dihentikan dari bumi pertiwi maupun di seluruh dunia.

Memang saat ini praktik kolonialisme sudah lenyap, tapi jiwa-jiwa kolonialis masih bersarang di tubuh orang-orang Barat. Jiwa-jiwa itu sekarang berubah menjadi imperialisme. Praktek kolonialisme dalam bentuknya yang halus ini masih menyelimuti bumi Indonesia. Untuk mencegahnya diperlukan energi yang cukup. Tidak mungkin imperialisme dapat dicegah jika perangkat SDM bangsa masih lemah. Dengan mengambil semangat perlawanan pada postkolonialisme, semoga bangsa ini segera mampu menghentikan praktik imperialisme.

*) Peresensi adalah staf pada Hasyim Asyari Institute Yogyakarta.

Mementaskan Perlawanan

Amanda Stevi
http://mediaindonesia.com/

Jika ada yang bertanya teater itu apa, banyak jawaban yang akan muncul. Teater adalah seni peran. Teater adalah seni artistik. Teater adalah tempat menyalurkan aspirasi dalam bentuk lakon dan sebagainya. Bagi Teater UI, teater adalah perlawanan.

Sastra dan perlawanan. Dua hal tersebut tampaknya berbeda, tapi ternyata memiliki hubungan yang erat. Hubungan itu terutama tampak dalam dua abad terakhir. Beberapa karya sastra dalam kurun waktu tersebut memuat ide perlawanan penggagasnya, diilhami kondisi dan situasi sosial di sekelilingnya.

Salah satu karya sastra lama yang memuat unsur perlawanan adalah Max Havelaar karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, seorang pria berdarah Belanda. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda berkisah Max Havelaar, seorang idealis yang sempat menjadi asisten residen di Lebak. Novel tersebut begitu fenomenal sehingga mengguncang dunia saat itu. Max Havelaar pun membangunkan kesadaran manusia dan beberapa tahun kemudian menjadi alasan bagi kaum terpelajar Indonesia, salah satunya tokoh pergerakan Agus Salim, untuk bangkit dan berjuang melawan penjajahan.

Saya teringat sebuah karya lain yang juga mengusung tema perlawanan. Novel itu berjudul The Color Purple yang ditulis Alice Walker, seorang aktivis perempuan pada 1982. Novel pemenang Pulitzer untuk karya fiksi dan penghargaan buku nasional (keduanya pada 1983) tersebut telah diangkat ke layar lebar oleh Steven Spielberg pada 1985. The Color Purple berkisah Celie, seorang perempuan kulit hitam yang keceriaannya terenggut di usia yang begitu muda.

The Color Purple, seperti Max Havelaar, menunjukkan sastra merupakan media perlawanan bagi golongan tertentu, terutama kaum minoritas. Walker melukiskan hasrat perlawanannya sebagai perempuan kulit hitam yang berada di posisi minoritas dengan adegan peralihan sikap Celie.

Max Havelaar dan The Colour Purple merupakan dua contoh baik karya sastra perlawanan. Meski begitu, perlawanan dengan sastra sebagai media tidak hanya dituangkan melalui tulisan. Teater merupakan media populer lain yang menjadi sarana perlawanan rakyat terhadap isu-isu sosial, politik, budaya, maupun ekonomi yang ada.

Teater UI pun menyambut baik hal tersebut. Sebagai mahasiswa yang peka akan situasi yang beredar di sekelilingnya, warga Teater UI memiliki pemikiran dan idealisme sendiri mengenai isu-isu sosial yang ada di Indonesia. Imbasnya, sebagian besar pertunjukan Teater UI mengusung tema perlawanan.

Seperti yang disajikan dalam salah satu adegan dalam pementasan kolaborasi lima unit kegiatan mahasiswa bidang seni Universitas Indonesia yang berjudul Daun Kering di Titik Api yang diselenggarakan di Gedung Kesenian Jakarta pada 2007. Pada adegan satire, sekelompok orang yang mengenakan kemeja bertuliskan, 'Sumpah!! Ini bukan Kuning di Punggungnya' berdiri membelakangi penonton dan asyik berdemo.

Naskah lain yang bernada perlawanan, tapi bukan satire yang baru-baru ini dibawakan Teater UI adalah naskah adaptasi berjudul Perempuan di Persimpangan Abad. Pementasan yang ditulis dan disutradarai Asep Sambodja tersebut merupakan geliat ketidaknyamanan sang sutradara mengenai perempuan-perempuan yang dituduh sebagai Gerwani pascaperistiwa berdarah Gerakan 30 September 1965.

Pertunjukan-pertunjukan Teater UI merupakan bentuk keinginan untuk melawan. Karya sastra, khususnya teater, telah menjadi media pilihan yang digunakan Teater UI dengan penuh kesadaran sebagai sarana melawan dan berpendapat. Gustave Flaubert menggambarkan keadaan seperti itu dengan keperluan mengungsi ke dunia lain saat kita menemukan dunia yang kita tinggali ternyata terlalu buruk. Melalui dunia lain itulah Multatuli, Alice Walker, dan Teater UI berupaya membongkar dan mendekonstruksi pemikiran baru akan dunia yang lebih baik. Mereka memegang teguh keyakinan bahwa sastra dapat menjadi senjata perlawanan sosialis-politis tanpa mengacuhkan aspek-aspek estetika sebuah karya seni.

Selasa, 25 November 2008

Rumah Duka

Ratih Kumala
http://cetak.kompas.com/

Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya. Ketika itu jarum jam menggenapkan pukul tiga pagi. Anak perempuanku menangis berteriak memanggil-manggil nama papahnya, gema suaranya menyayat ke sudut-sudut koridor rumah sakit. Aku menangis tertahan. Sedang anak laki-lakiku menjadi bisu dan dingin.

Entah siapa yang mewartakan, tahu-tahu perempuan itu muncul di depan kamar rumah sakit ini. Wajahnya menghitam karena duka. Ia hendak masuk ke kamar ini, mendekati mayat suamiku. Tapi aku tak membiarkannya.

”Tolong…, hormati keluarga kami yang sedang berduka,” desisku. Ia menghentikan langkah, menatapku sebentar, lantas berbalik dan berlalu. Mungkin sambil menangis.

Kami segera mengurus segala hal untuk kremasi. Rumah duka kami booking. Rangkaian bunga duka cita dari kolega-kolega suamiku mulai berdatangan. Hari ini, mayatnya dirias, sebelum diistirahatkan. Tujuh belas tahun! Tujuh belas tahun! Perempuan itu mencuri tujuh belas tahun dari tiga puluh empat tahun pernikahan kami. Aku mengumpat sambil memilih jas terbaik untuk suamiku. Aku selalu tahu, suamiku suka mencicipi banyak perempuan. Seperti kesukaannya mencicip makanan di banyak restauran (kami tak punya restauran favorit keluarga, acara makan malam di luar rumah selalu berpindah lokasi). Aku tahu, dan diam-diam aku tak keberatan, dengan syarat; perempuan-perempuan itu tetap sebagai ’makanan’ dan bukan sebagai ’anjing’. Ya, sebab jika sudah menjadi ’anjing’, berarti dia dipelihara. Kadang jika ketahuan baru ’jajan’, aku akan marah-marah. Tapi toh, diam-diam aku tak keberatan, selama jajanan tak dibawa ke rumah. Aku punya alasan sendiri untuk ini. Ia biasa beralasan tugas di luar kota, atau pulang pagi karena lembur, dan sampai di kamar ini, tanpa melepaskan kemejanya ia langsung tidur mendekap guling mirip udang. Tapi ia tetap milikku, pulang ke padaku. Hingga si jalang itu datang ke kehidupan kami. Penyanyi kafe jazz bersuara berat, berusia pertengahan dua puluh, berkulit agak gelap, dan (tentu saja) lebih langsing dariku. Aku mengobrak-abrik lemari, mencari sebuah dasi sebagai pelengkap pakaian suamiku. Ada banyak dasi, tapi yang kumaksud belum juga ketemu. Dasi yang kubelikan di Singapura.

Suamiku sejak kecil berlatih saksofon. Ada masa ia ingin menjadi seorang musisi, tetapi orangtuanya tak setuju. Ia mengubur impiannya. Menahan saksofon untuk sekadar hobi. Kupandangi kotak saksofon yang ditinggal empunyanya. Kubuka, warnanya masih mengkilat. Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, suamiku sempat membersihkan saksofon ini. Kini ia teronggok bisu di dalam kotak. Jazz adalah musik sejati suamiku. Aku pun penyuka musik, tapi sungguh… sampai ajal suamiku, aku tetap tak bisa menikmati jazz. Aku lebih suka pop dengan nada-nada slow. Musik-musik orang kebanyakan. Musik yang bisa dinikmati semua orang. Musik yang tidak eksklusif. Perhatianku teralih ke lemari lagi, masih mencari dasi yang kumaksud. Mungkin, awalnya perempuan itu hanya ’makanan’, tapi ia makanan yang diramu oleh chef yang andal, jadilah suamiku ketagihan. Lama kelamaan, ’makanan’ itu menjelma jadi ’anjing’ peliharaan. Entah kenapa, aku jadi malah membongkar seisi lemari, bahkan lemari bagian pakaianku pun isinya sudah bertebaran di lantai kamar kami.

Ranjang di kamarku serasa hangat, seperti tuntas ditiduri sosok manusia malam itu. Malam ketika Bim meninggal dunia. Dari pukul sembilan aku berusaha memejamkan mata, tapi tak bisa. Sudah satu minggu Bim masuk rumah sakit, dan aku (tentu saja) tak bisa menengoknya. Siapalah aku, orang luar perusuh rumah tangga orang. Meski aku cinta setinggi langit sedalam lautan, itu tak mengubah apa pun. Apalagi statusku.

Tujuh belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku. Saat malam-malam aku masih menyanyi di sebuah kafe jazz. Dia datang bersama sekelompok teman. Salah satu dari mereka diperkenalkan sebagai istrinya, yang naga-naganya tak terlalu menikmati musik jazz. Tapi Bim kulihat sangat menghayati lagu-lagu yang kami suguhkan. Lalu, ketika ben kami istirahat sejenak, dan panggung kosong, Bim tiba-tiba maju. Dengan percaya diri ia mengeluarkan saksofon milik pribadi dan meminta ijin untuk memainkannya. Smoke Gets in Your Eyes mengalun. Aku yang tadinya hendak mengistirahatkan suara, jadi tertarik untuk bernyanyi dengan iringan tiupan saksofon Bim. Aku langsung menyambar mikrofon. Pengunjung kafe bersorak dengan penampilan kami.

Bim mulai jadi pengunjung setia kafe jazz. Awalnya, masih bergerombol dengan teman-temannya (kadang pula dengan istri). Lama kelamaan, teman yang ikut makin sedikit, dan akhirnya, ia lebih sering datang sendiri. Setelah ketujuh kalinya datang solo, ia menunggu hingga kafe tutup jam dua pagi. Lantas menawariku untuk diantar pulang. Ketika itu, aku sudah sangat tahu bahwa ia kerap datang hanya untuk melihatku. Kami tak langsung pulang, ia menawariku makan tengah malam. Satu-satunya tempat makan yang masih buka jam segitu, yang nyaman untuk ngobrol, adalah restauran di hotel berbintang. Kami berbincang tentang musik. Dari situ aku tahu, ia adalah pengagum Louis Armstrong. Betapa selera kami sama, dan itu adalah pemantik. Sebab hari itu berakhir dengan check-in.

”Istrimu…, apa dia tidak mencarimu?”
”Dia tahu, aku sering kerja sampai pagi.”

Jam lima pagi, kami check-out. Ia mengantarku pulang ke kos. Aku melanjutkan tidur dalam damai. Seks yang hebat, pikirku, habis ini ia tak akan pernah muncul lagi karena yang diinginkan sudah ia dapat. Tak pernah terpikir, bahwa malam itu hanya awal dari tujuh belas tahun hubungan kami berikutnya. Hingga ia diambil Tuhan.

Aku terbiasa tidur dengan ranjang yang dingin. Ia pulang ke tempat istrinya, dan hanya datang kalau sedang alasan tugas ke luar kota. Atau mampir ketika waktu makan siang. Tak sekadar untuk sex after lunch, lebih dari itu… ia bahkan datang hanya untuk makan masakanku. Ya, kami kucing-kucingan macam ini. Tapi malam itu, malam ketika ia diambil Tuhan, ranjangku hangat. Aku bisa mencium odornya di bantal, di selimut, di guling. Ia selalu tidur mirip keluwing, dengan guling didekap erat. Bahkan aku bisa merasakan aroma sisa percintaan kami. Kupandangi parfumnya di meja riasku, dan selembar celana pendeknya yang tergantung di pintu. Sedikit barang yang sengaja ditinggalkannya di sini. Aku tahu ia di rumah sakit mana, meski aku tak pernah mengunjunginya. Aku harus menemuinya! Harus!

Aku tak pernah menyangka bahwa suamiku akan mati terlebih dahulu. Gagal ginjal sudah lama mengancamku di sudut jalan dengan belatinya. Aku selalu bersiap ia menggorok leherku, dan mencongkel nyawaku. Bertahun-tahun aku harus menjalani cuci darah. Bertahun-tahun pula aku mencari donor ginjal. Meski kedua anakku menawarkan satu ginjal mereka untukku, aku tak mau menerimanya. Lebih baik aku cuci darah seumur hidup, ketimbang menerima ginjal itu. Sebab itu berarti aku merampas masa depan mereka. Tak sia-sia, aku menemukan ginjal di India. Malah suamiku yang tiba-tiba anfal. Maut memang suka bergurau dengan hidup. Inilah kenapa, aku diam-diam tak keberatan suamiku ’jajan’.

Rumah duka mulai penuh. Aku tak berhasil menemukan dasi yang kumaksud. Ia terlihat tampan dengan setelan jas Armani miliknya. Ah, harusnya kuminta ia dipakaikan kaos panjang model turtle neck saja. Dipadu dengan jas ini, tentu keren dan lebih terlihat muda. Kenapa pula aku harus memilih kemeja, kalau dasi yang kumaksud tak ketemu.

Perempuan itu, si jalang itu… aku tahu, ketika lama aku dirawat di rumah sakit, atau berobat ke luar negeri, pasti suamiku pergi ke rumahnya. Pembantuku yang lapor. Katanya, ”selama Nyonya pergi, Tuan juga tidak pulang.” Anak-anak lebih menjaga perasaanku, tak mau mengadukan perihal macam ini. Hal yang menyebabkan aku sedih

Aku tahu, suamiku masih sayang padaku. Cinta mungkin sudah tidak. Tapi sayang, masih. Dia terlihat sedih ketika lama aku sakit. Kadang membawakan makanan yang kusuka. Aku tak memakannya, karena dokter melarangku. Toh, aku cukup senang dengan perhatiannya. Maka ketika pembantuku lapor demikian, meski marah (dan sejatinya aku tak punya kekuatan untuk marah), diam-diam aku bersyukur; ada orang lain yang mengurus suamiku, melayaninya dengan baik. Bahkan bisa diajaknya perempuan itu bertukar pikiran tentang jazz yang tak pernah kupahami. Kupikir, masakkah perempuan itu cuma mau mengeruk harta suamiku? Sebab jika ya, tak mungkin usia hubungan mereka sampai belasan tahun.

Sehari setelah suamiku meninggal, aku baru bisa memahami air mataku. Bahwa ia mengalir untuk ’bapak dari anak-anakku’ yang kini jadi yatim (meski semua telah dewasa dan mandiri), dan bukan mengalir untuk ’suamiku’. Senyatanya aku tak merasa sekehilangan itu. Sebab meski aku memilikinya, aku tak pernah benar-benar bisa menggenggamnya. Lihat saja daftar perempuannya. Mungkin juga aku bukan istri yang baik, jika ya, tentu ia tak akan ’jajan’ di luar. Bahkan diam-diam memelihara ’anjing’.

Aku pernah menemui perempuan itu. Meminta dia untuk tak mengganggu rumah tangga kami. Untuk sejenak, memang suamiku kelihatan lebih banyak di rumah. Sehabis ngantor, langsung pulang. Tapi itu tak bertahan lama. Meski aku tak melihat dengan mata kepala sendiri, tapi aku tahu makin dekat. Malah kemudian, aku juga tahu suamiku diam-diam membelikannya rumah dan mobil. Ketika aku mencoba mencarinya di kafe jazz, hendak melabrak dengan murka, mereka bilang dia sudah tak bekerja di situ lagi.

Aku tak berhasil menemui kekasihku malam itu, malam ketika Bim dipanggil Tuhan. Aku pulang dengan hati kosong, menangis di ranjang kosong yang sudah berubah dingin. Kupeluk guling Bim, mencari sisa aroma tubuhnya di situ. Ah…, Bim… apa kau tak tahu, aku lebih kehilangan dirimu ketimbang istrimu itu? Kau milikku yang tak pernah benar-benar kugenggam. Sial kau! Gara-gara kau, aku melewati usia pernikahanku! Gara-gara kau juga, aku menahan diri untuk tidak hamil. Aku tak mau memberimu masalah, sebab kau bilang, jika aku hamil berarti itu masalah. Gara-gara kau, aku sekarang kesepian. Sial kau, Bim! Terkutuklah kau di neraka jahanam sana!

Aku pernah menuntut Bim untuk memilih, antara aku dan istrinya. Ia selalu bilang, tak akan menceraikan istrinya, sebab agamanya melarang. Mengajarinya untuk menikah satu kali, dan hanya sekali. Tak boleh bercerai. Aku pun tak mau dijadikan istri kedua, meski agamaku memperbolehkan poligami.

”Kan bisa pembatalan pernikahan!” protesku.

”Prosesnya tak gampang. Tahunan.” Alasannya. Biarpun tahunan, akan kutunggu kau! Toh Bim tak pernah mengajukan pembatalan pernikahan. Menurutku, bukan agama yang menjadi alasannya. Ia masih cinta. Ya, ia masih cinta perempuan itu. Ini terlihat jelas ketika istrinya sakit keras. Kata Bim, seminggu dua kali istrinya musti cuci darah. Aku sempat mengangankan, sebentar lagi kami akan jadi suami-istri. Sebentar lagi perempuan itu game over. Tapi aku keliru.

Meski ketika perempuan itu berobat ke luar negeri Bim tinggal di tempatku, toh ia tak berhenti membicarakan istrinya. Kenangan mereka, awal-awal pernikahan mereka dan bagaimana mereka berjuang bersama dari nol (yang tak pernah kualami), serta ketakutan karena istrinya sekarat. Aku cemburu. Sangat cemburu. Terlebih ketika tema musik jazz tak lagi menarik baginya. Lalu suatu hari, ketika telah dua minggu Bim tinggal di rumahku selama istrinya berobat, dan aku mulai merasa ia milikku sepenuhnya, tanpa harus pulang ke rumah sana, Bim menerima telepon. Ia girang bukan kepalang, dengan semangat ia bilang padaku, ”ginjalnya dapat! Ginjalnya dapat!” lalu diciumnya pipiku, saking gembiranya. Diam-diam aku menyumpah, aku marah pada Tuhan. Kenapa Ia mempermainkan perasaanku. Impian-impianku, rasa nyaman adanya Bim di rumahku, tercerabut kasar. Aku sadar lagi; Bim belum jadi milikku, dan memang tak pernah jadi milikku.

Obituari Bim muncul di koran pagi ini, memberitahuku ia disemayamkan di rumah duka mana. Dia masih kekasihku, meski sudah tak bernyawa. Dan aku merasa, meski tak satu hal mampu mengubah keadaan apa pun—apalagi statusku—aku tetap mencintai Bim. Setinggi langit sedalam lautan. Aku akan menyetir pelan-pelan, sambil mengisi penuh tangki keberanianku. Aku harus menemui Bim, memberinya penghormatan terakhir sebelum dia dibakar jadi abu.

Ia datang lagi, perempuan jalang itu. Pasti ia baca obituari di koran. Ini resikonya. Ia jadi tahu. Beberapa orang memandangi kedatangannya, beberapa berbisik-bisik. Tentu mereka tahu siapa perempuan itu dan bagaimana statusnya. Ia mendekatiku. Apa ia tak sadar, aku bisa jadi harimau yang tiba-tiba menerkam anjing buduk.

”Maaf, ini dasi kesayangan Bim. Mungkin dia mau memakainya.”

”….” Kupandangi dasi yang dilipat rapi itu. Dasi yang dua hari terakhir ini kucari-cari. Tak terpikir bahwa suamiku akan menyimpan di rumahnya. Tentu ada barang lainnya di sana. Barang-barang pribadi suamiku yang tiba-tiba hilang. Aku mengerti sekarang, rumah perempuan itu, bagi suamiku adalah rumahnya juga. Atau mungkin aku sudah tahu, tapi coba mengelak. Kuterima dasi itu.

”Bolehkan saya…,”
”Silakan.” Potongku.
”Terima kasih.”

Entah kenapa, aku seraya lega. Meski kulihat perempuan itu mencium suamiku. Suamiku yang semakin tampan dengan dasi ini.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi