Rabu, 27 Agustus 2008

Pengusaha Tikus

Haris del Hakim

Seekor tikus berlarian di antara tubuh Donggos dan keluarganya yang sedang terlelap. Kemudian puluhan dan ratusan yang lain mengikutinya. Bunyi cericitnya menggeritik telinga. Donggos membuka mata, mengangkat kepala, melirik kedua anak dan istrinya yang masih tertidur pulas, kemudian berbaring lagi.

Donggos bangun paling pagi. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mengundang dan memilih tikus yang paling gemuk untuk ditangkap. Begitu setiap hari. Kalau salah seorang dari anak atau istrinya bangun terlebih dulu darinya, ia akan menggoyang atau mencubit tubuh lelaki berusia empatpuluhan itu. Tikus-tikus itu memang sudah akrab dengan anak dan istri Donggos, tapi mereka tidak mau ditangkap oleh selain Donggos. Bahkan, mereka tidak mau dilihat orang lain bila sedang ditangkap Donggos.

Donggos berdecak. Puluhan tikus mendekat dan berkerumun di sekelilingnya. Pada saat itu tidak boleh seorang pun menyaksikan. Pernah suatu ketika istrinya memergoki, akibatnya selama tiga hari tikus-tikus itu tidak mau dipanggil lagi oleh Donggos.

Pagi harinya semua anggota keluarga bangun seperti biasa. Istri Donggos sibuk di dapur, kedua anaknya bersiap-siap sekolah, dan ia sendiri menguliti tikus yang baru ditangkapnya; setiap hari Donggos menangkap lebih dari seratus ekor tikus untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tetap pembeli daging tikusnya, yaitu penjual mie ayam dan pembuat bakso.

Kedua anak Donggos sudah berpakaian rapi. Si Sulung berlari ke arah ibunya yang sedang menanak nasi lalu bergayut di pinggang perempuan yang ramping itu. “Bu, aku mau digoreng saja tikusnya,” katanya dengan manja. Si Bungsu yang hendak langsung berangkat kembali lagi dan berlari ke dapur. Ia mendongakkan kepala ke wajah ibunya yang cantik. “Bu, bagianku disop saja.” Istri Donggos tidak memberikan jawaban dan masih meracik bumbu untuk sayur. “Ya, Bu?” tanya kedua anaknya hampir bersamaan.

Perempuan bertubuh ramping dengan wajah cantik, dulu ia pernah dinobatkan sebagai remaja tercantik tingkat kabupaten, menjawab dengan nada lembut. “Tanyakan pada bapakmu, apakah ada lebihan?”

Dua anak berseragam sekolah itu berlari ke ayahnya yang sedang duduk berjongkok di atas meja setinggi pinggang lelaki dewasa. Laki-laki yang hanya mengenakan kaos singlet, sehingga memperlihatkan pundaknya yang kekar, tidak memperhatikan kedatangan keduanya. Matanya tidak lepas dari tangan kanannya yang sedang memegang pisau dan tangan kiri yang mencengkeram badan tikus yang tinggal separuh. Sementara di samping kirinya teronggok puluhan tubuh tikus yang baru dikuliti. Dagingnya merah merona dengan ekor dan kepala yang saling bersilang tindih. Di samping kanan teronggok irisan daging tikus. Sedangkan di depannya terkumpul ekor dan kepala tikus yang telah diambil dagingnya.

“Bapak, apakah ada lebihan? Aku ingin sop,” tanya si Bungsu.
“Aku ingin goreng tikus,” tambah yang Sulung.
Donggos tidak berkata apa-apa. Ia melepaskan tikus di cengkeraman tangan kirinya, memilih tikus yang terkuliti di samping kirinya, mencengkiwing bagian ekornya, dan mengulurkannya pada si Bungsu. Tikus gemuk itu bergelantung di tangan Donggos. Matanya yang hitam masih terbuka. Keempat kakinya yang sengaja tidak dikuliti terlihat seperti congolan cakar dari perut yang terbelah. Si Bungsu itu tertawa kesenangan. Tangan kecilnya menyambar pemberian ayahnya, memegang bagian perutnya, dan membawanya berlari ke dapur. Kemudian Donggos mencengkiwing seekor lagi dan mengulurkannya pada si Sulung. Bocah itu kegirangan, “Besar sekali, Ayah?!”

Donggos tersenyum dan membiarkan anaknya pergi. Ia kembali meneruskan pekerjaannya setelah menoleh ke bak hitam besar di bawah meja. Ia mendengus. Di dalam bak itu masih ada puluhan tikus yang belum diapa-apakan. Ia menjawab lirih ketika kedua anaknya berpamitan, “Ayah, kami berangkat ke sekolah.” Ia telah cukup diwakili oleh istrinya yang berpesan kepada anaknya. “Hati-hati dan belajar yang rajin.”

Istri Donggos segera ke belakang setelah selesai di dapur. Donggos memberikan pisau kepada perempuan cantik itu. Ia sendiri mengambil pisau lain di dalam rumah, kembali ke meja kerjanya, menggeret bak besar berisi tikus yang belum diapa-apakan, dan duduk dengan satu kaki jongkok di atas meja. Sedangkan istrinya duduk di kursi sambil mengiris-iris badan tikus. Donggos membungkukkan badan, mengambil seekor wirok, mencantolkannya dengan menusukkan lehernya ke kawat yang dibentuk menyerupai mata kail, setelah itu tangan kanannya meraih pisau dan mulai mengulitinya mulai dari kepala. Ia mengerati kulit di bawah leher, di atas kaki, dan di atas ekornya terlebih dulu. Tangannya bekerja sangat cepat sehingga dalam lima menit saja ia telah berhasil menguliti seekor. Ia lemparkan tikus terkuliti itu ke hadapan istrinya. Kemudian ia bungkukkan badannya dan mengambil tikus di dalam bak hitam besar.

Setiap hari Donggos harus menghasilkan sepuluh kilo daging tikus yang sudah dipotong-potong sebelum pukul 08.00, sepuluh kilo lagi pukul 09.00, dan tigapuluh kilo saat siang hari. Ia tidak perlu susah mengantarkannya, sebab para pelanggannya akan datang sendiri.

“Mas,” kata istrinya. “Pak Renggo panen besar. Sawahnya di desa sebelah menghasilkan padi sepuluh ton.”
“Syukurlah!” jawab Donggos pendek.
“Kemarin istrinya mengatakan kalau akan dibelikan kalung dan gelang. Begitu juga dengan anak-anaknya,” tambah istrinya tanpa menoleh sedikit pun.

“Bohong! Kembali modal saja dia sudah untung.” Donggos membentak.
“Istrinya sendiri yang bilang begitu,” kata istri Donggos meyakinkan.
“Jangan percaya. Dia tidak tahu berapa modal mulai tanam sampai panen. Pak Renggo setiap hari mengeluh di warung. Harga pupuk makin tinggi, biaya air tidak sedikit, upah pekerja juga sangat mahal, sedangkan harga padi tidak bisa bersaing.” Donggos orang yang tidak banyak bicara bila tidak memahami persoalan dengan terperinci, tetapi sedapat mungkin ia mempertahankan pengetahuan yang dikuasainya. Karena itu, ia dikenal sebagai orang keras kepala.

Ia diam sejenak, melemparkan tikus yang telah dikuliti, membungkuk, mengambil seekor tikus besar, dan mencantolkannya di kawat. Kemudian ia melanjutkan bicaranya. “Siapa pun yang panen, kita yang paling beruntung. Tikus-tikus kita gemuk dan pekerjaan bertambah ringan.”

Istri Donggos tidak menimpali ungkapan suaminya itu. Ia mendengar bunyi klakson sepeda motor dari halaman rumah dan bergegas keluar. Tidak lama kemudian ia kembali.

“Pak Warsono,” kata istrinya sambil duduk di kursi dan melanjutkan pekerjaannya.
Donggos menghentikan pekerjaannya. Ia mencuci tangan, melewati ruang tengah, dan ke ruang tamu. Ia memutar kincir di atas meja belajar anaknya. Bunyi gemerincing terdengar seirama putaran kincir. Suara itu cukup mengganggu gendang telinga. Dan Donggos selalu membunyikannya bila ada tamu di rumahnya. Kawanan tikus akan berlarian ke liangnya begitu mendengar bunyi yang memekakkan telinganya. Dengan begitu, Donggos tidak perlu kuatir bila tikusnya akan menyerobot pembicaraan mereka. Meskipun semua orang tahu bila ia memelihara tikus, ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan mempertontonkan binatang piaraannya kepada semua orang. Ia telah mengatur rumahnya sedemikian rapi; sebuah bungker besar, lantai ruang tengah yang selalu dibersihkan oleh air, ruang tamu yang dikelilingi kabel alarm sehingga bila terinjak tikus akan mengeluarkan dering panjang dan mengusir mereka seketika, tidak lupa ac ruangan yang mengeluarkan aroma wangi. Donggos mempelajari semua tehnik mengembangkan tikus itu dari para pemelihara tikus yang terkenal.

Warsono pulang setengah jam kemudian. Donggos ke belakang dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hanya melirik istrinya yang sedang memasukkan irisan daging tikus ke dalam plastik dan menimbangnya. Ia melongok ke bak besar dan dibuat tergesa-gesa, karena sadar sebentar lagi seorang pelanggan akan datang mengambil bagiannya.

“Ada perlu apa, Pak Warsono?” tanya istrinya.
“Urusan pajak,” jawab Donggos sambil menguliti tikus. “Dia katakan kita adalah pengusaha tikus yang sukses dan harus membayar pajak usaha.”
“Apakah ada peraturan tentang usaha tikus?”
“Tidak ada. Tapi, Pak Warsono bilang sama-sama tahu saja.”
“Apa maksudnya?”

“Tidak tahu. Dia mengatakan uang kas, uang administratif, atau uang apa tadi. Aku tidak tahu urusan Pak Warsono.”

Donggos tidak berkedip mengelupasi lapisan kulit berwarna coklat kehitaman dari badan yang kemerahan itu. Ia menarik kulit itu hati-hati, kuatir sobek, dan berkali-kali memutar badan tikus yang baru seperempat bagian tanpa kulit. Ia menggunakan pisau saat kulit itu terlalu rekat dengan daging kemudian perlahan-lahan dibesetnya.

“Pak Warsono juga cerita. Di desa kita akan dibangun gudang beras untuk pegawai negeri sekabupaten. Ini kabar bagus. Usaha kita pasti berkembang pesat. Tikus-tikus kita semakin cepat beranak dan gemuk-gemuk. Bagaimana kalau salah satu adik atau keponakanmu bekerja di sini?” tanya Donggos. Ia sudah menguliti seekor tikus.

“Mengapa harus keluargaku?” tanya istri Donggos yang mulai memotong daging tikus kembali. Ia terlebih dulu memotong bagian kepala, keempat kakinya, kemudian memutuskan ekornya. Setelah itu ia membelah perut tikus tanpa kepala, tanpa kaki, dan tanpa ekor itu. Ia mengeluarkan ususnya dan melemparkannya ke pot bekas cat yang diletakkan di samping kaki kirinya.

“Keluargaku sudah pergi ke luar negeri semua,” jawab Donggos. “Mereka tentu menjaga harga diri berdagang tikus kecil-kecilan seperti kita. Lima tahun lagi, saat kita sudah mampu membangun pabrik sarden tikus, baru kita memerlukan mereka.”

Perempuan cantik itu berkata lirih. “Ya, nanti aku telpon mereka. Mudah-mudahan ada yang mau.”
Seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 08.00, 09.00, dan 12.00, ada seseorang yang mengambil jatahnya. Donggos berpesan agar mereka menambah jumlah pesanannya, sebab ia akan meningkatkan produksinya dan meyakinkan mereka bahwa besok tikusnya lebih gemuk dari yang mereka bawa selama ini.

Sore hari adalah waktu yang menyenangkan bagi Donggos dan keluarganya. Ia sudah selesai bekerja. Anak-anaknya sudah pulang dari sekolah. Istrinya juga sudah tidak mengerjakan apa-apa. Mereka biasa menghabiskan sore dengan jalan-jalan bersama keluarga keliling desa atau di depan televisi menonton acara hiburan anak-anak. Kali ini mereka menghabiskan sore di rumah saja. Donggos duduk di kursi panjang bersama istrinya, sementara kedua anaknya duduk di lantai yang dialasi kasur tipis berwarna biru. Selama itu tikus-tikus berkeliaran di sekeliling tubuh keduanya. Rupanya mereka sudah bangun dan keluar dari liangnya. Seekor yang besar menabrak kaki si Bungsu. Anak kecil itu menarik kakinya. Matanya belum lepas dari kaca televisi. Satu lagi menabrak pantat si sulung yang ditanggapi dengan bergeser sedikit. Hampir menjelang senja tikus-tikus semakin banyak. Hampir semua lantai dari keramik itu berwarna hitam kecoklatan. Baunya pun menyengat di hidung.

Ketika layar televisi menampilkan iklan, si Bungsu naik ke kursi di antara ayah dan ibunya. Ia berdiri sambil menunjuk salah seekor tikus paling besar seukuran kucing. “Pak, tangkap yang itu. Tentu dagingnya sangat lezat.”

“Mana?” tanya Donggos melongok ke arah yang ditunjuk anaknya.
Donggos melihat si Bungsu yang kecewa tikusnya menyelinap ke balik almari. Ia menghiburnya. Mata anaknya terus mencari-cari barangkali tikus itu akan kembali lagi. Mata kecil itu berbinar-binar dan hendak mengucapkan sesuatu ketika si Sulung berteriak, “Aku yang itu, Ayah.”
“Ya,” jawab Donggos sambil mengusap rambut si Bungsu.

November-maret 2006

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi