Minggu, 31 Agustus 2008

Pencuri (Bukan) Malaikat

Teguh Winarsho AS

Asshalatu khairu minna naum...
Allahu akbar, Allhu akbar....
Laa illaha illallah....

SENYAP subuh tiba-tiba pecah oleh gema suara azan. Laki-laki itu, Hasan, hatinya bergetar. Ia harus segera menunaikan kewajibannya. Mengambil air wudu dan salat berjemaah. Tapi, ah, ada sesuatu yang membuat pikirannya resah gelisah. Kedua kakinya enggan melangkah. Tampak di atas, langit subuh meremang bertabur bintang sisa malam pekat yang nyaris pudar. Sementara di udara, kabut tipis mulai bergerak dari arah bukit melulur pepohonan, bergetar pada lampu-lampu neon di pinggir jalan.

Setelah menghimpun segenap kekuatan, Hasan memberanikan diri keluar dari balik rumpun bambu dan ilalang. Berjalan mengendap-endap menerobos semak belukar, menyembunyikan buntalan karung di antara semak tak terjamah. Di jalan depan, dalam remang pandang Hasan melihat beberapa orang tua berjalan terbungkuk-bungkuk menuju surau. Mengamit tasbih. Aroma minyak wangi meruap dari tubuh orang-orang tua itu menyentak hidung Hasan.

Hasan berjingkat keluar dari pekarangan mengikuti langkah orang-orang itu menuju surau. Jalanan tampak lengang karena memang begitulah jemaah subuh di surau, hanya berisi orang-orang tua tak pernah lebih enam orang. Dingin air yang mengucur dari padasan, terasa dingin membasuh wajah Hasan manakala ia wudu. Sejurus kemudian Hasan melangkah hati-hati menapaki undakan surau, duduk bersila di barisan depan menunggu ikamat. Geremeng suara zikir membuat Hasan hanyut, terlena, hingga mulutnya ikut bergerak melafalkan asma Allah dengan segenap rindu dan kepasrahan.

Lalu, seseorang mengumandangkan ikamah. Hasan segera berdiri dan sempat menghitung, hanya ada lima orang yang berjemaah. Hati Hasan tiba-tiba perih, seperti tertusuk beribu duri.

"Matamu merah, Hasan. Apakah semalaman kau tidak tidur?" usai salat subuh Haji Ali menghampiri, menepuk pundak Hasan.

Hasan tergeragap, menggosok-gosok mata. "Belum, Pak Haji...." Suara Hasan parau, membetulkan duduk.

"Aku kagum padamu, Hasan. Kau anak muda yang masih mau menjaga rumah Allah. Seperti kau lihat sendiri tak ada anak muda yang mau jemaah subuh di sini. Hanya orang-orang tua yang sudah bau tanah," kata Haji Ali penuh kekaguman pada Hasan. Senyumnya mengembang. "Oh, ya, kudengar kau sudah memutuskan tinggal di kampung ini. Itu baik sekali. Amalkan ilmu yang kau peroleh selama di pesantren untuk kemaslahatan umat."

"Insya Allah, Pak Haji. Selain itu, sudah lama saya punya cita-cita ingin mendirikan masjid di kampung ini."

"Masjid? Aku setuju sekali, Hasan. Surau ini sudah terlalu tua dan tak layak. Tapi apakah kau punya uang? Untuk mendirikan masjid butuh uang tidak sedikit. Kau tahu sendiri, banyak orang kaya di kampung ini, tapi mereka enggan mengeluarkan sebagian harta kekayaan mereka di jalan Allah."

Hasan mengempaskan napasnya yang sekian lama tertahan di dada. Ada perasaan perih yang menikam. "Mudah-mudahan Allah memberi saya rezeki yang banyak, sehingga saya bisa mewujudkan keinginan itu. Saya juga berharap nantinya orang-orang kampung kemudian rajin datang ke masjid."

"Amin. Amin. Memang, siapa lagi yang akan memuliakan rumah Allah, jika bukan kita umatnya? Aku sangat mendukung gagasanmu, Hasan."

Hasan mengangguk-angguk. Di Timur, di antara lengap kabut dan embun yang masih menempel di ujung dedaunan, seberkas cahaya merah perlahan merekah. Sebentar lagi terang matahari menyentuh tanah. Sebentar lagi orang-orang kampung keluar rumah. Mendadak Hasan gelisah. Ia teringat buntalan karung yang ia sembunyikan di antara semak tak terjamah di pekarangan kosong seberang jalan. Tak ingin berlama-lama, Hasan segera menyalami laki-laki tua di depannya, pamit mohon diri.

***

Azan isya baru saja berkumandang. Tapi Hasan tidak segera bergegas ke surau lantaran di rumahnya, di atas tikar pandan, kini duduk tiga anak muda. Pandangan mata mereka tegas, tajam, menyiratkan niat yang tulus dan kesungguhan. Sembari mengelus-elus jenggotnya yang mulai tumbuh, Hasan menatap satu persatu anak muda sebaya dia itu. Lalu, "Mulai sekarang, berjemaahlah kalian di sini. Sebab, masjid tak lain adalah tempat sujud. Akan kudirikan masjid di rumah ini!" Dalam senyap suara Hasan bergetar. "Banyak orang kaya di kampung ini, tapi tak ada sebuah masjid pun! Astaghfirullah...."

"Kau ingin mendirikan masjid? Apakah kau punya uang?" Seseorang bertanya ragu.

Sejenak Hasan menatap orang itu lalu tertawa pelan. Matanya sahdu, lembut dan dalam, seperti bening telaga di pegunungan. "Allah Mahakaya dan Maha Pemurah," jawab Hasan penuh kepastian.

Memutar-mutar butir tasbih, hatinya terus berzikir. "Kekayaan Lurah Santani, Juragan Gambuh, Carik Wadi, Pak Baskoro, Pak Gani, tak ada apa-apanya di hadapan Allah."

Sesaat Hasan melepaskan tasbih, menjentikkan jari kecilnya. "Ingat, Allah Penguasa dan pemilik langit dan bumi, tak akan kekurangan cara untuk membuat seseorang menjadi kaya atau tiba-tiba jatuh miskin! Kun faya kun! Jadi, maka jadilah!"

Dingin malam menerobos jendela. Disusul gerimis, tiris. Tapi, tiga anak muda itu tetap tak berpaling dari hadapan Hasan. Duduk khusyuk. Dalam hati mereka memendam kekaguman pada Hasan. Ya, Hasan, yatim piatu yang dulu teramat miskin, setelah delapan tahun lebih merantau kini pulang dengan pikiran gemilang dan mulai beranjak dari kemiskinannya. Semua orang tahu, sepetak sawah peninggalan orangtua Hasan, mustahil bisa membuat Hasan seperti sekarang ini. Apalagi musim kemarau panjang, sawah itu tak menghasilkan apa-apa, kecuali bongkah-bongkah tanah merah.

"Ketahuilah, semua yang ada di langit dan bumi ini milik Allah. Di situ melimpah rezeki Allah, asal kita mau bekerja keras dan istikamah!" Suara Hasan menjadi lirih, ditelan gerimis yang nampaknya akan menjadi hujan deras. Sesekali angin kencang meliuk, mengempas daun-daun mangga di halaman depan. Hasan beranjak menutup jendela. Selingkar tasbih masih melekat erat di genggamannya.

"Maksudmu?"

Hasan seperti terkejut mendapat pertanyaan itu. Tapi senyum yang kemudian mengembang di bibirnya mampu menghapus keterkejutannya. "Beribadah hanya kepada Allah dan bekerja giat!"

"Selama ini aku sudah bekerja giat dan tekun beribadah. Tapi aku masih tetap miskin. Seandainya aku mencuri, apakah aku berdosa?"

Kembali Hasan tersentak. Sesaat keningnya berkerut. Namun, bibirnya kembali bergerak, tersenyum. Matanya menyorot teduh. Wajahnya bercahaya. "Suatu hari para sahabat datang ke rumah Khalifah Umar mengadukan seorang pencuri yang ketahuan mengambil harta milik orang kaya. Para sahabat menginginkan agar Khalifah Umar sendiri yang memotong tangan pencuri itu. Akan tetapi, Khalifah Umar tidak tega melakukannya karena pencuri itu hidupnya miskin. Beberapa hari kemudian para sahabat datang lagi ke rumah Khalifah Umar membawa pencuri yang sama. Kembali Khalifah Umar tidak tega memotong tangan pencuri itu. Khalifah Umar justru bilang, jika dia sampai mencuri untuk yang ketiga kalinya, maka yang harus dipotong bukan tangan si orang miskin, melainkan tangan si orang kaya. Jadi...."

***

Kampung Majnun yang sebagian besar penduduknya kaya raya dilanda resah, terancam bangkrut, miskin. Setiap malam ada saja warganya yang mengaku kecurian. Bahkan di siang bolong, seekor kambing bisa hilang dari kandang. Sepeda motor yang baru diparkir di halaman rumah mendadak raib, hilang. Begitu pula televisi, tape, radio, jemuran, buah-buahan, begitu cepat lesap dari pandangan. Sedetik saja lepas dari pandangan, barang-barang itu bisa melayang.

Meskipun keamanan sudah ditingkatkan, pencuri itu selalu berhasil lolos. Malam adalah saat keresahan menebah menghantui penduduk kampung hingga mereka tak bisa tidur nyenyak. Belum pernah mereka dicekam keresahan seperti ini. Orang-orang pun kemudian sibuk menjaga harta bendanya masing-masing.

Sementara itu, Hasan dibantu tiga orang temannya sibuk merampungkan fondasi masjid di tanah pekarangan rumahnya.

"Allah menguji mereka dengan kehilangan harta benda semata-mata agar selalu ingat pada Allah. Bukankah Allah yang telah memberi mereka kemakmuran? Kelak, jika masjid ini selesai dibangun mudah-mudahan mereka sadar, kembali ke jalan Allah." Suara Hasan terdengar lantang di siang terik, mengelus-elus jenggotnya yang kian panjang dan lebat sembari mengawasi Burhan, Munaf, dan Rasyid, tiga murid setia yang terus sibuk merampungkan fondasi masjid. Terengah-engah tiga orang itu, menggotong batu, mengangkut pasir dan membuat adonan semen. Truk sesekali menderu menurunkan bahan bangunan.

"Apakah Allah akan mengutuk kampung ini?"

Termenung sesaat, Hasan menggeleng. "Mudah-mudahan Allah mengampuni mereka. Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Oya, Munaf, apakah bapakmu sekarang sudah mulai salat?"

Munaf yang ditanya mengangkat kepalanya. "Sudah. Bahkan kadang puasa Senin-Kamis."

"Bagus. Mudah-mudahan kelak bisa menjadi ahli surga. Bagaimana dengan bapakmu, Burhan?"

"Kemarin sudah rajin, tapi sekarang berhenti."

"Kenapa?" Hasan kaget, mendekat.

"Sejak sepeda motornya hilang, bapak tak mau salat!"

Mendengar jawaban itu wajah Hasan memucat bagai tersengat arus listrik. Tapi hanya sesaat. "Apakah rumahmu masih yang di dekat sungai itu, Burhan? Rumah paling megah di antara penduduk di sekitarnya?"

"Benar. Ada apa?"

"Oh...tidak apa-apa. Mungkin bapakmu lupa zakat. Suruh bapakmu kembali salat. Semoga Allah mengganti dengan rezeki yang berkah dan berlimpah."

***

Tak ingin pembangunan masjid tersendat-sendat, Hasan akhirnya menyewa tenaga kuli bangunan. Diam-diam warga kampung berdecak kagum. Di tengah kemiskinan yang terus merongrong, Hasan justru makin kaya. Meskipun lantai masih tanah, dinding belum dilapisi semen, kubah belum dipasang, tapi masjid itu sudah digunakan untuk salat berjemaah. Hasan selalu mengumandangkan azan sekaligus bertindak sebagai imam. Pada jemaah salat subuh Hasan akan memberi ceramah singkat. Tapi, hanya hari-hari pertama saja masjid itu ramai. Hari-hari berikutnya sepi. Jemaahnya tak pernah lebih sepuluh orang.

Keresahan warga kampung kian buncah lantaran sudah hampir delapan bulan pencuri yang meresahkan itu belum tertangkap. Segala upaya sudah dikerahkan, tapi selalu gagal. Memang, beberapa orang pernah melihat pencuri itu, tapi seperti siluman pencuri itu tiba-tiba lenyap dalam gelap. Tak pernah terendus jejaknya. Beberapa orang lagi pernah melihat pencuri itu mengendap-endap masuk serambi masjid, tapi begitu dilihat ke dalam, hanya kelenggangan yang ada.

Dendam yang tak tertahan membuat warga kampung terus berjaga-jaga sepanjang siang dan malam. Mereka banyak yang berhenti bekerja hanya karena ingin menangkap pencuri. Dan, entah dari mana sumbernya, kasak-kusuk itu mulai santer terdengar. Kasak-kusuk yang menyebut nama Hasan sebagai biang kerok pencurian selama ini. Begitulah, kebencian mulai tumbuh di dada setiap orang pada Hasan. Tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Orang-orang pun mulai mengintai setiap gerak-gerik Hasan.

Hingga suatu malam, ketika bulan bersinar cukup terang, misteri panjang itu mulai terungkap. Sepuluh orang lebih, tak mungkin pandangan mata mereka tertipu. Dan, laki-laki yang sembunyi di balik semak-semak dengan buntalan melekat di punggung itu, jelas tak lain kecuali Hasan! Dengan pedang terhunus dan kebencian membuncah, serentak orang-orang memburu laki-laki itu. Mereka tampak beringas, bersorak-sorai, justru karena orang yang selama ini dikenal alim dan saleh oleh masyarakat ternyata seorang pencuri ulung.

Kentongan segera dipukul, pedang diayun-ayunkan, sesekali tampak berkilat tertimpa cahaya bulan.

Pencuri itu tinggal lima belas atau dua puluh meter lagi, tapi mendadak orang-orang berhenti. Merapat. Menajamkan pendengaran. Dari masjid, suara azan subuh terdengar nyaring, menggema, menusuk-nusuk gendang telinga. Selain sudah sangat hafal, telinga sepuluh orang tak mungkin salah dengar. Jelas suara azan itu milik Hasan! Ya, suara Hasan! Dan, bukankah hanya Hasan satu-satunya orang di kampung yang sudi mengumandangkan azan?

Lalu siapa pencuri itu? Dalam diam orang-orang saling pandang. Heran.
---
Depok, 2004-2005
pernah termuat di Lampung Post 2005

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi