Hamdy Salad*
Perdebatan sastra Indonesia mutakhir banyak dipenuhi oleh -kutuk dan pujian- yang tertuju pada dunia fiksi. Sehingga nyaris tak terdengar gema keindahan yang mengatasnamakan puisi. Bahkan tak juga menampak adanya kosa-kosa pergerakan yang memiliki aras pada kedalaman jiwa puisi. Seakan zaman menolak kehadiran puisi. Atau justru sebaliknya, puisi itu sendiri yang bunuh diri dan mati?
Sementara dunia fiksi, sebutan pengganti ragam novel dan cerita pendek, begitu cepat membengkak dalam ruang literasi terkini. Poster-poster kesusastraan, rehal pustaka dan toko buku dipenuhi karya fiksi yang ditulis oleh remaja dan orang dewasa. Para sastrawan bernama atau mereka yang sekedar bertahan untuk memenuhi pasar permintaan. Terselip juga di dalamnya, kumpulan buku-buku fiksi tanpa halaman biografi, yang sengaja mengaburkan identitas pengarangnya, lelaki atau perempuan, nama asli atau samaran. Dan tampaknya, sebagian besar dari pembacanya, tak mau direcoki persoalan serupa. Apalagi bertanya, buku-buku fiksi manakah yang dapat mengantarkan sisi intlektualitasnya ke dalam ruang apresiasi seni dan kesusastraan. Atau mungkinkah, makna fiksi itu sendiri yang telah berubah. Menjadi sarana personifikasi di tengah zaman yang resah.
Berbalik dengan fenomena di atas, bentuk-bentuk sosialisasi dan penyebaran puisi hanya bergerak dalam ruang domistik. Begitu rentan dan getas. Beragam jenis dan bentuk puisi, tak pernah lagi disentuh dan dibaca sebagai sumber inspirasi budaya. Akibatnya, ratusan ribu karya tersuruk dalam ruang hampa. Seolah puisi hanya dicipta dan disusun sebagai tumpukan benda-benda mati. Nir-dokumen yang dapat diperiksa kembali sebagai bentuk lain dari kehidupan, perjuangan dan doa manusia. Apalagi untuk menoreh prasasti dalam jiwa raga sang empunya.
Dengan sendirinya, proses-proses penciptaan dan perwujudan puisi hanya bergerak di dunia ambang. Sebagian berjalan dan menemukan nasibnya dalam ruang yang lebih menyenangkan dari kehidupan penyairnya. Sebagian besar lainya mengawang, menjadi tak terpisahkan dengan buih dan gelombang zaman. Para penyair dari berbagai tingkat budaya, popularitas dan legitimasinya, meski terus bertambah dan melimpah, tidak memiliki magnitasi untuk menarik wilayah publik ke dalam diri, ke dalam dunia puisi. Selebihnya, hanya mengembara antara ada dan tiada. Kelimpungan untuk menemu eksistensi. Memuji dan mengutuk diri sendiri di tengah realitas budaya, politik dan ekonomi yang mengelilingi.
Aku Lirik, Engkau dan Kalian
Di sisi lain, proses-proses penciptaan puisi sebagai media komunikasi estetis untuk menjangkau publik tanpa batas, telah mengisyaratkan adanya konsistensi dan intensitas yang sejajar dengan aras humanitas, keyakinan dan keteguhan penyairnya. Karena itu, meski puisi yang dihasilkan tidak mampu menjalin relasi dengan dunia di sekitarnya, setidaknya masih dapat dijalankan sebagai media ekspresi yang berperan dalam entitas budaya. Sehingga aktivitas penumpukan puisi, baik dalam konteks zaman maupun sejarah kesusastraan, tidak sepenuhnya menjelma benda-benda mati.
Sebagai tertera dalam teks-teks puisi yang dihasilkan, eksistensi penyair tak bisa dilenyapkan begitu saja dari ruang estetik, dari lingkaran zaman dan sejarah kesusastraan. Sebab penyair telah digaris untuk senantiasa menjelajahi dunia dengan sikap kritis, tanpa belenggu, untuk menggali dan menemu nilai-nilai baru dengan penuh kemerdekaan. Akan tetapi, seperti jiwa “aku lirik” yang dihidupi dalam puisi, nafas penyair seringkali terlepas dari ikatan budaya. Menyendiri, tanpa pretensi untuk mengisi ruang komunikasi. Ruang estetika yang dapat dijelmakan sebagai tempat untuk mengadu, membangun dan menyusun kekuatan spiritual yang lebih sempurna. Maka itu, ketika dunia fisik sang penyair telah kehilangan maknanya, hilang juga peluang kulturalnya untuk memasuki dunia lain yang bersifat metafisik.
Metamorfosa aku penyair dan aku lirik sebagai “kita, kami, engkau, dan kalian”, terasa kian berat untuk memanggul beban secara bersama. Dan beban berat itu tidak saja menimpa nasib aku lirik, tetapi juga menyuruk pada kenyataan-kenyataan sosial di luarnya. Rumah-rumah kenyataan, peristiwa dan kejadian, seolah beku dan membatu. Negeri dan pulau-pulau, jalan raya, stasiun, halte dan kota-kota juga ditimpa oleh bencana yang tidak mudah untuk diatasi secara bersama.
Sementara kini, eksistensi penyair dalam kehidupan sehari-hari, mengalami juga kenyataan yang sama. Terasa berat untuk menghindar, apalagi mengatasi, keterpurukan budaya, hiruk pikuk politik dan ekonomi, juga musibah dan bencana yang terus berganti. Hinga betapapun beratnya, penyair juga mesti menanggul beban yang menumpuk di dalam dan di luar dirinya. Ikut berlarat dalam rasa sakit dan nyeri yang mencengkeram jiwa bangsa di zaman ini. Namun begitu, adakah kisah sebuah zaman, betapa pun kuasanya, yang mampu memerintah penyair dan puisi untuk bunuh diri?
Melalui abstraksi di atas, setidaknya masih dapat ditunjuk bahwa penyair bukanlah sekedar - manusia yang dapat menyusun kata-kata indah. Tetapi mesti dihayati sebagai - bentuk perjuangan estetisme, untuk menemukan nilai dan makna budaya yang seharusnya ada tetapi tidak pernah menampakkan diri dalam kehidupan nyata. Dan perjuangan itu, senantiasa menuntut adanya sikap yang dapat dijadikan tauladan kemanusiaan. Landasan eksistensi kepenyairan semacam, telah menampak sebagai bagian penting dari awal pertumbuhan budaya Melayu, dengan berbagai tokoh (pujangga) yang telah disepakati validitasnya dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Chairil, Sejarah dan Puisi
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, jejak penyair dan puisi tak bisa dilenyapkan dari pertumbuhannya. Oleh karenanya, walau tidak selalu tumbuh bersama, keberhasilan penyair dan puisi akan senantiasa terberi. Untuk kemudian memperoleh kehormatan berulangkali, dihidup-hidupkan, dipuji dan diagungkan sepanjang zaman.
Seperti tersurat dalam berbagai media, buku dan catatan-catatan sastra, itu semua terjadi karena puisi telah teruji dan berhasil mengembangkan kemampuan estetiknya untuk menjalin komunikasi dengan dunia tanpa batas. Jika puisi yang dilahirkan dapat berjalan melalui asumsi-asumsi publik, lembaga sastra, teori dan kritik; atau dapat memenuhi permintaan pasar ekonomi, sosial maupun politik dan ideologi, dengan sendirinya, puisi itu akan dijaga dan dipertahankan oleh jangkauan sejarah dan komunitasnya. Begitu barangkali, segala yang telah dirupa Chairil Anwar dalam sejarah puisi Indonesia.
Namun itu tidaklah semua. Seorang penyair bisa saja lenyap dan tidak dikenal sampai akhir. Tapi tetap saja memiliki peluang sama untuk terus berlaga, mencari dan menahan eksistensi diri bersamaan dengan identitas-identitas kultural yang telah berhasil digapai. Sehingga narasi biografis penyair dan proses penciptaannya, masih dapat diturunkan unsur-unsur kreatifnya melalui logika individual, sosial maupun relegius yang menjadi landasan utamanya.
Hal serupa dapat juga ditilik sebagai kesungguhan pena penyair. Meski zaman telah mati, dan puisi hanya dianggap semata mimpi, penyair tak mesti menyerah. Tak juga berpaling dari usaha untuk memperjuangkan wacana estetik maupun kultural yang dibentang sejarah, dalam tubuh dan jiwa kesusastraan. Sebab, ketika landasan-landasan utama termaksud melenyap di tengah pergeseran dan perubahan zaman, lenyap juga eksistensi penyair dari porosnya. Maka itu, perlu kiranya bagi penyair untuk berkaca setiap waktu. Merenungi dan mempertegas kembali berbagai kemungkinan kreatif yang berhubungan dengan visi kepenyairannya.
Rupa-rupa Keindahan Kata
Dan memang, jiwa penyair telah ditakdir untuk selalu menggali dan menemu –rupa-rupa keindahan kata - yang dianggap baru. Pada setiap zaman, setiap ruang dan waktu, selalu saja ada sekelompok penyair yang menolak atau menerima terhadap segala bentuk estetika yang dikisah tubuhkan oleh angkatan sebelumnya.
Sejak Armin Pane dan kemudian Chairil membebaskan diri dari jeratan konvensi estetik para pendahulunya, sejarah sastra Indonesia dipenuhi oleh berbagai pencarian tentang bentuk bebas dari puisi. Perjuangan itu juga yang kemudian ditempuh oleh Sutardji, dan kemudian beberapa penyair setelahnya. Akan halnya perdebatan-perdebatan yang berlangsung di dalamnya, wacana dan teks-teks puisi tumbuh meninggi melebihi dunianya sendiri. Bahkan meluas dan mampu mendorong lahirnya – bentuk dan jenis puisi baru. Popularitas puisi mbeling, puisi rupa, puisi humor, puisi gelap, merupakan bagian tak terpisahkan.
Tapi kini, setelah orde reformasi bergulir di tanah air ini, pergerakan puisi nyaris berhenti. Identifikasi penyair tak bisa lagi dipertemukan dalam ruang politik, metafisikal maupun eksistensial. Posisi penyair menjadi goyah, sekaligus juga dipaksa untuk tampil dengan gagah. Dan puisi, rupa-rupa keindahan kata yang mengelilingi, tak juga bisa dicegah untuk bercampur dengan histeria masa, kecemasan dan hiburan maya. Adakah itu semua menjadi tanda, bahwa zaman telah mati bagi puisi. Sehingga bentuk kisah dan cerita menjadi berjaya, memenuhi ruang fiksi dalam sejarah kesusastraan Indonesia mutakhir. **
*) Hamdy Salad, penyair, dosen Creative Writing Fakultas bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar